Untuk mempertahankan profil politik luar negeri yang berdaulat, mandiri dan berwibawa, Rizal Sukma, dalam tulisannya, menawarkan 7 Jalan Internasional (road map) yang perlu dilalui Indonesia dalam 5-10 tahun ke depan (Kompas, 20/6/2019). 

Tujuh Jalan Internasional itu perlu, tetapi tak mencukupi (necessary but not sufficient) sebagai pedoman politik luar negeri dan diplomasi Indonesia. Sebab, ia hanya menarasikan konsep politik luar negeri dan diplomasi Indonesia dalam aras praktikal-strategis, bukan konseptual-ideologis.
Menjadi pertanyaan: atas dasar nilai apakah pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi itu harus dijalankan? Laksana kehidupan politik suatu bangsa, nilai dasar (basic values) yang menjadi pedoman kebijakan politiknya adalah ideologi bangsa itu sendiri. Dalam konteks 7 Jalan Internasional Rizal Sukma, analogi pertanyaannya menjadi:  di atas nilai dasar (baca: idealisme/ideologi) apa tujuh jalan itu harus diterapkan?
Visi-misi Jokowi-Ma’ruf
Seperti Pilpres 2014, visi-misi Jokowi-Ma’ruf Amin untuk Pilpres 2019 juga memuat frasa ”berdaulat, mandiri, dan berkepribadian”. Ketiga kata itu dikenal sebagai ”Trisakti”: ajaran Bung Karno yang dicanangkan pada 1963, berintikan nilai-nilai dasar bagaimana membangun bangsa (nation character building), yaitu berdaulat di bidang politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam sosial budaya.
Mengingat Trisakti dijadikan panduan ideologis bagi pelaksanaan visi-misi Jokowi-Ma’ruf Amin 2019-2024, selayaknya jika 7 Jalan Internasional Rizal Sukma itu diterapkan dengan mengacu pada nilai-nilai dasar Trisakti. Manakala diresapi, ajaran Trisakti Bung Karno itu mengerucut pada satu titik makna: kemandirian (self-reliance)Kemandirian itulah yang harus dimanifestasikan dalam politik luar negeri Indonesia.
Yang menjadi pertanyaan kemudian: bagaimana menafsirkan Trisakti yang berintikan kemandirian itu dalam pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi?
Pertama, berdaulat dalam politik. Suatu bangsa dikatakan berdaulat dalam politik luar negerinya jika ia mandiri dalam pengambilan keputusan. Jika keputusan politik luar negeri dibuat bukan atas tekanan negara lain, tetapi semata-mata didikte oleh kepentingan nasional, baik dalam tataran strategis maupun taktis, maka Indonesia mandiri dan berdaulat.
Dengan segala potensi yang dimilikinya, baik sumber daya manusia maupun alamnya, Indonesia terlalu besar dan tangguh untuk tergantung pada satu kekuatan politik dunia.
Sebagai pelopor konsep politik bebas-aktif dalam persaingan hegemoni politik internasional, Indonesia sudah teruji oleh sejarah: tidak mudah untuk tunduk pada satu kekuatan politik dunia. Justru Indonesia mampu ”bermain” di antara tarikan kekuatan negara adidaya.
Satu contoh sikap mandiri politik luar negeri Indonesia terlihat ketika AS meminta Indonesia untuk ikut koalisi Barat guna menginvasi Afghanistan dan Irak memerangi teroris. Indonesia dengan tegas mengatakan tidak karena memperhitungkan konstituen Islam di dalam negeri. Dan ternyata, sikap tegas dan berbeda yang ditunjukkan Indonesia ini tidak mengganggu hubungan Indonesia-AS.
Sikap berbeda dalam menyikapi  isu terorisme menjadi contoh kemandirian dan kedaulatan diplomasi dan politik luar negeri Indonesia. Nilai kedaulatan dan kemandirian Trisakti politik luar negeri Indonesia juga terlihat ketika harus berurusan dengan China soal kapal pencuri ikan di Laut Natuna Utara. Kurang dekat apa hubungan Indonesia dan China dalam bidang ekonomi?
Akan tetapi, jika sudah menyangkut kedaulatan teritorial, Indonesia tak segan menunjukkan sikap tegas terhadap kapal pencuri ikan China. Sikap tegas terhadap siapa saja yang mencoba mencederai kedaulatan, teman baik sekalipun, mencerminkan dipegang-teguhnya nilai kemandirian dan kedaulatan seperti dititahkan Trisakti.
Kedua, berdikari dalam ekonomi. Ekonomi berdikari menitahkan pembangunan ekonomi yang bertumpu pada potensi nasional. Dirunut balik dari jejak sejarah, konsep berdikari ini bermuasal dari paham marhaenisme Bung Karno yang mengamanatkan pemberdayaan wong cilik yang memiliki alat produksi sendiri.
Ditarik dalam konteks kekiniannya, marhaenisme dan berdikari mestinya berpihak kepada usaha kecil-menengah, petani dan nelayan. Akan tetapi, ada masalah persepsi politik warisan sejarah di sini. Keberpihakan pada usaha kecil dan potensi nasional acap kali dituduh sebagai nasionalisme ekonomi yang  anti-asing.
Namun, bukankah marhaenisme Bung Karno juga mengajarkan sosio-nasionalisme: nasionalisme yang dikembangkan dalam pergaulan sosial internasionalisme? Pada konteks ini, nasionalisme ekonomi harus beradaptasi dengan kaidah-kaidah pergaulan internasional dan karena itu tidak menegasikan modal asing.
Alhasil, nasionalisme ekonomi dalam ekonomi berdikari bertumpu pada kekuatan nasional dengan memanfaatkan berbagai sumber, termasuk modal asing. Pemanfaatan modal asing haruslah diletakkan dalam bingkai martabat sebagai bangsa bebas yang menentukan kebutuhannya sesuai dengan kepentingan nasional.
Kebijakan ekonomi Trisakti mestinya berpihak pada pengusaha kecil-menengah, petani dan nelayan, karena terbukti kelompok inilah yang relatif stabil menghadapi guncangan ekonomi global. Ketangguhan menghadapi guncangan itulah esensi dari kemandirian.
Pemberdayaan nelayan dan infrastruktur laut menjadi krusial apabila pemerintahan Jokowi-Ma’ruf tetap ingin merealisasikan konsep Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
Diplomasi kebudayaan
Ketiga, berkepribadian dalam sosial budaya. Pilar ketiga Trisakti ini didasarkan pada kesadaran bahwa Indonesia memiliki budaya (baik dalam pengertian nilai maupun produk) yang khas dan beragam. Dalam pelaksanaan diplomasi dan kebijakan politik luar negeri, budaya selama ini dijadikan instrumen diplomasi. Akan tetapi, pertunjukan budaya mestinya bukan untuk kepentingan budaya dan pertunjukan budaya itu sendiri.
Diplomasi kebudayaan tidak harus selalu dimaksudkan sebagai diplomasi pencitraan negara yang kaya budaya, tetapi harus diartikulasikan dalam narasi besar: Indonesia yang menghargai perbedaan dan keberagaman. Diplomasi kebudayaan Indonesia di luar negeri harus menarasikan kesatuan dan keutuhan bangsa yang tetap eksis justru karena adanya sikap saling menghargai perbedaan adat, tradisi, budaya dan agama.
Inilah profil diplomasi kebudayaan yang mengandung nilai strategis: mencitrakan Indonesia yang bersatu, moderat dan toleran. Itulah sejatinya kepribadian budaya Indonesia yang disabdakan oleh Trisakti.
Ketiga citra yang diproyeksikan melalui diplomasi kebudayaan itu membuat manuver diplomasi Indonesia menjadi luwes, yang pada gilirannya memperluas ruang jelajah diplomasi Indonesia untuk kepentingan terkait politik dan ekonomi. Diplomasi melalui pertunjukan budaya Indonesia yang khas, unik, tetapi beraneka itu harus mampu menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia terbiasa menghargai keberagaman/pluralisme.
Sikap menghargai keberagaman ini menempatkan Indonesia selalu dalam arus utama pergaulan dunia. Diplomasi budaya yang mencitrakan Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya, utuh sebagai bangsa, karena nilai-nilai moderat dan toleran adalah ciri dari diplomasi dan politik luar negeri yang berkepribadian, seperti dititahkah oleh Trisakti.
Tujuh Jalan Internasional yang ditawarkan Rizal Sukma sungguh relevan dijadikan acuan dan peta jalan dalam pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi Indonesia 5-10 tahun ke depan. Ia dapat dijadikan pedoman dalam tataran praktikal-strategis politik luar negeri dan diplomasi Indonesia.
Namun, akan lebih lengkap jika peta jalan itu diletakkan di atas  konseptual-ideologisnya, yang memuat nilai-nilai dasar seperti termaktub dalam butir-butir Trisakti Bung Karno, sedemikian sehingga politik luar negeri dan diplomasi Indonesia benar-benar berdaulat, mandiri dan berkepribadian.
Darmansjah Djumala  ; Duta Besar RI untuk Austria dan PBB di Vienna; Dosen S-3 Hubungan Internasional Fisip, Universitas Padjadjaran,  Bandung