Di tengah kemacetan lalu-lintas dan asap knalpot, ada perempuan-perempuan cantik pekerja kantor yang bermasker atraktif. Mereka berupaya mencegah polutan masuk ke paru-paru, tetapi tetap trendi. Sadar atau tidak, dengan bermasker mereka sebenarnya tengah ”melawan” ketidakadilan pemerintah kota yang membiarkan udara kota tercemar. 

Jakarta memang darurat polusi udara. Air Visual, situs penyedia peta polusi harian di kota-kota besar dunia, lagi-lagi menempatkan Jakarta (25/6) pada tingkat polusi tertinggi dengan nilai Indeks Kualitas Udara (Air Quality Index/AQI) 240 (sangat tidak sehat).
Sepanjang 2018, Jakarta hanya memiliki kualitas udara baik 34 hari, udara sedang 135 hari, dan tidak sehat 196 hari (Greenpeace Indonesia, 2019). Polusi udara telah menjadi pembunuh senyap (WHO, 2018) dan masuk peringkat pertama penyebab kematian global (Global Environment Outlook, 2019).
Kita sudah lama lupa bahwa udara kota yang bersih, segar, dan sehat adalah hak kita, warga kota. Kita memang sudah (sengaja) dilupakan terhadap hal-hal yang seyogianya merupakan hak dasar warga, seperti air bersih, rasa aman bepergian, atau berjalan kaki, bersepeda, bermain di taman dengan udara bersih. Tetapi siapa peduli?
Warga sudah lama dibiarkan tak tahu hak-hak mereka, termasuk hak mengetahui apa yang tengah terjadi di kotanya dengan polusi udara buruk. Kita perlu membangun kota yang lestari.
Kota lestari adalah kota yang dibangun dengan menjaga dan memupuk aset-aset kota-wilayah, seperti aset manusia dan warga yang terorganisasi, lingkungan terbangun, keunikan, dan kehidupan budaya, kreativitas dan intelektual, karunia sumber daya alam, serta lingkungan dan kualitas prasarana.
Hal ini selaras dengan amanat UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Angkutan Jalan dan Lalu Lintas, dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Mengembangkan kota lestari berarti pembangunan manusia kota yang berinisiatif, partisipasif, dan bergerak bersama membangun perubahan. Penataan kota yang partisipatif dan mengadaptasi modal dan relasi sosial masyarakat akan menghasilkan penataan kota lestari dengan kriminalitas dan pengangguran yang minimal.
Kota lestari mendorong pengembangan jaringan kerja pemerintah daerah dengan para pemangku kepentingan perkotaan, menciptakan reformasi birokrasi dalam kegiataan penataan kota yang mengakomodasi inisiatif warga.
Proses partisipasi bukan sekadar soal sudah atau belum, tetapi juga keterjangkauan: apakah sudah sampai ke tingkat keberadaan dan aktivitas keseharian warga?
Caranya adalah dengan membekali warga peta dasar pengembangan kota mulai tingkat lingkungan RT/RW, kelurahan, kecamatan, hingga kota. Peta dalam bahasa yang mudah dimengerti masyarakat luas dengan desain menarik.
Dengan demikian, warga, misalnya, dapat mengembangkan peta rute jalur pejalan kaki dan pesepeda ke sekolah, pasar, kantor, taman, atau tempat ibadah. Berbekal peta itu warga dapat menuntut pemerintah kota menyediakan trotoar yang aman dan nyaman, serta infrastruktur sepeda meliputi rambu dan marka, parkir, dan sebagainya.
Kawasan kota dikembangkan berbasis pergerakan manusia (transit oriented communities/TOC). Pengembangan TOC berdasarkan 6D yakni destination (tujuan), distance (jarak), design (rancangan), density (kepadatan), diversity (keberagaman), serta demand management (mengelola kebutuhan).
Penerapan pembatasan kendaraan bermotor dalam kawasan dengan tujuan menekan emisi karbon dan polusi udara perlu disertai ketersediaan angkutan internal ramah lingkungan (bertenaga listrik, biogas) dan penghijauan. Warga tidak seharusnya dibiarkan berjuang sendiri melawan polusi udara. ***