Stigma Mooi Indie
Aminudin TH Siregar ; Dosen Seni Rupa Institut Teknologi Bandung
|
KOMPAS, 07 April 2018
Mooi Indie adalah stigma dalam historiografi seni rupa Indonesia yang masih terperangkap di balik ”tempurung Indonesia-sentris”. Bermula dari S Sudjojono, makna Mooi Indie dikerdilkan penulis-penulis seni selanjutnya. Pada 1939 S Sudjojono memaknainya sebagai gambaran yang selalu ”serba bagus, tenang, damai, enak, dan romantis bagaikan di surga dengan trimurti gunung, kelapa, dan sawah”.
Manifesto itu memukau, dianggap pas lalu dikemas sebagai instrumen untuk melawan dominasi seni lukis kolonial. Buku resmi Sejarah Seni Rupa Indonesia terbitan Pemerintah Republik Indonesia pada 1979 ikut mengerdilkan dan melestarikan stigma tersebut. Sudarmadji, dalam Dari Saleh Sampai Aming (1974-1975), mendramatisasi keburukan Mooi Indie sebagai lukisan yang ingin mengelu-elukan kedatangan Cornelis de Houtman.
Generasi penulis sejarah setelah Sudarmadji mulai kritis menilai Mooi Indie. Pada akhir 1990-an pameran ”From Mooi Indie to Persagi” mengangkat isu, misalnya: ”siapa yang pertama kali melontarkan istilah Mooi Indie? Alih-alih menjernihkan, tulisan di katalog pameran cenderung mengaburkan. Para penulisnya malah ”menjebakkan diri” ke dalam perspektif S Sudjojono, kecuali dua judul tulisan kritis yang menggugat mereka yang suka mengolok-olok lukisan Mooi Indie tanpa melihat fakta. Lalu muncul buku Agus Burhan, Perkembangan Seni Lukis Mooi Indie sampai Persagi di Batavia (1900-1942) sebagai hasil riset akademik. Buku pertama yang mengkaji ”Periode Mooi Indie dan Persagi” ini sebenarnya berpeluang besar. Akan tetapi, pada titik-titik tertentu, kajian Burhan juga terjebak.
Puncak gugatan terhadap stigma Mooi Indie mengemuka pada awal tahun 2018 ini melalui pameran ”Menghadapi Stigma Mooi Indie” yang ditulis Jim Supangkat. Menurut dia, S Sudjojono terlalu menyederhanakan seni lukis pemandangan dan mengabaikan fakta bahwa beberapa kecenderungan lukisan pada awal abad ke-20 di Hindia Belanda sebenarnya sudah keluar dari eksotisme Timur. Supangkat juga menyesalkan sejarawan yang ikut-ikutan melabelkan Mooi Indie kepada pelukis-pelukis pemandangan terkemuka Indonesia, seperti Abdullah Suryosubroto, Mas Pirngadie, dan Wakidi. ”Ini merusak citra lukisan pemandangan alam dan menjadi stigma dalam sejarah seni rupa Indonesia. Sampai sekarang,” demikian Supangkat. Kendati demikian, baik Burhan maupun Supangkat tidak menerangkan lebih jauh perihal ”historiografi stigma tersebut”, misalnya bagaimana dan oleh siapa istilah itu disahkan sebagai periode sejarah?
Tulisan ini tentu terlalu singkat sebagai jawaban, tetapi sekurangnya menawarkan sedikit bahan untuk historiografi seni rupa Indonesia.
Mooi Indie
Meski sering dihubungkan, sebenarnya tak ada bukti langsung antara Mooi Indie-nya S Sudjojono dan album cat air Fredericus Jacobus van Rossum du Chattel berjudul Mooi Indie yang terbit pada 1913. S Sudjojono tidak memberi tahu kita dari mana ia memperoleh ide untuk menghitamkan istilah itu. Kalau ditelusuri, sejak diterbitkan, album yang memuat 12 bentang alam di Jawa dan Sumatera itu memang beredar luas dan diperjualbelikan di Hindia Belanda. Sebuah petunjuk yang kemudian bisa dihubungkan adalah bahwa Du Chattel bergaul dan menginspirasi Mas Pirngadie—yang kemudian menjadi guru S Sudjojono.
Sebenarnya cat air Du Chattel tidak terlalu istimewa jika dibandingkan dengan karya para pelukis garda depan Hindia Belanda, seperti Charles Sayers, Piet Ouborg, Jan Frank, Adolf Bretveelt, dan beberapa pelukis ”Indies School” lainnya. Kendati demikian, penyebaran album Mooi Indie itu berhasil merangkum persepsi orang tentang sebuah kawasan yang mandi cahaya sepanjang tahun. Beberapa tahun setelah album itu terbit, sejumlah surat kabar di Hindia Belanda dan negeri Belanda aktif memanfaatkan istilah Mooi Indie untuk mempromosikan keindahan sebuah kota melalui foto atau promo sebuah produk kalender. Pada dasawarsa 1920-an iklan pameran seni lukis juga mulai memanfaatkan istilah tersebut. Namun, apabila dilacak agak lebih jauh ke belakang, surat kabar yang terbit pada 1899 di Hindia Belanda ternyata sudah menggunakan kata Indisch Mooi. Fakta-fakta ini membantah pendapat yang mengatakan bahwa istilah Mooi Indie mulai digunakan ”secara formal pada 1910 melalui buku Du Chattel” atau mereka yang bahkan keliru menyebut album itu terbit pada 1930.
Bukan S Sudjojono
Kritik terhadap pelukis yang memperindah-indah alam Hindia Belanda sebenarnya tidak hanya dikeluhkan S Sudjojono. Sebelum diterbitkan, cat-cat air Du Chattel dipamerkan di beberapa kota besar Indonesia. Dalam ulasannya di Op de Hoogte (1910), JE Jasper (juga berkawan dengan Mas Pirngadie) ”menyindir” Du Chattel dengan kalimat ”De opzet verraadt het gevoel voor Indisch mooi”. Di masa itu, Piet Ouborg mengeluhkan rendahnya selera masyarakat Hindia Belanda yang gemar lukisan keindahan alam. Dan bahkan sebelum S Sudjojono mengasosiasikan Mooi Indie sebagai ”cendera mata turis”, pada 1930 Johannes Tielrooy mengecam habis-habisan situasi seni lukis di Hindia Belanda. Dalam artikel ”Indie in De Schilder-en Teekenkunst”, ia memunculkan istilah Souvenirs van Indië. Menurut dia, melukis cendera mata itu menjadi satu-satunya cara seseorang menjadi pelukis: ”Mata mereka memang tajam, tetapi tidak ada perbedaan antara satu dan lainnya, tangan mereka bagaikan industri yang hanya tahu mengopi, tanpa interpretasi.”
Mitos Persagi
Para pelukis Persagi kepalang dimitoskan sebagai seteru Mooi Indie (baca: pelukis-pelukis Eropa). Padahal, imbauan S Sudjojono untuk memotret petani kurus meringkuk di gubuk reyot tidak gamblang muncul di kanvas pelukis Persagi. S Sudjojono sendiri ketika itu masih ”mencari bentuk”. Lihatlah Di Depan Kelambu Terbuka (1939), Spel (1938), dan Kinderen met Kat (sekitar 1938) yang jauh dari gelora antikolonial. Gambaran cerobong asap pabrik justru muncul pada abad sebelumnya sebagaimana diperlihatkan Abraham Salm. Seperti mengungkap kisah eksploitasi, buruh-buruh dengan latar pabrik di lukisan Salm tampak bekerja keras. Litografi JC Rappard merekam berbagai potret kehidupan masyarakat jelata Hindia Belanda. Di balik kelembutan warnanya, karya Rappard menawarkan ide terselubung tentang hierarki kelas. Cat air Ernest Hardouin juga mengungkap gejala yang sama melalui pose-pose manusia di Hindia Belanda yang ganjil, sendu, dan pasif bagaikan maneken tropis.
Kita harus mengkaji ulang secara kritis penempatan Mooi Indie sebagai periode sejarah seni rupa Indonesia apalagi menilainya hanya dari tempurung Indonesia-sentris. Dan sikap pertama yang dibutuhkan adalah keberanian untuk keluar dari tempurung itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar