Caleg
Berintegritas
Emerson Yuntho ; Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
|
KOMPAS,
07 April
2018
Komisi Pemilihan Umum mengusulkan,
bekas narapidana perkara korupsi dilarang mencalonkan diri pada Pemilihan
Umum Legislatif 2019. Selain itu, KPU juga mengusulkan agar mereka yang ingin
jadi calon anggota legislatif harus menyerahkan laporan harta kekayaan
penyelenggara negara (LHKPN).
Kedua usulan ini nantinya akan
ditambahkan sebagai ketentuan baru dalam peraturan KPU (PKPU) tentang
pencalonan anggota legislatif. KPU beralasan bahwa pengaturan ini bertujuan
agar masyarakat dapat memilih calon anggota parlemen yang bersih dan punya
rekam jejak yang baik.
Rencana KPU melarang narapidana
korupsi mendaftar sebagai caleg dan keharusan pelaporan kekayaan sebagai
syarat pencalonan dalam Pemilu 2019 layak diapresiasi. Regulasi ini
diharapkan dapat mendorong Pemilu 2019 yang lebih demokratis dan
berintegritas.
Larangan mengenai bekas narapidana
korupsi jadi caleg dan pelaporan kekayaan dapat dikatakan sebuah terobosan
karena ketentuan tersebut tidak diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum.
Pasal 240 Huruf g UU Pemilu hanya
mensyaratkan caleg tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali secara terbuka
dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan bekas terpidana.
Aturan ini tentunya berbeda dengan periode sebelumnya, yaitu tahun 2013, di
mana KPU membolehkan bekas narapidana perkara korupsi ikut dalam Pemilu 2014.
Akibatnya, sejumlah eks narapidana korupsi kemudian mendaftarkan diri jadi
caleg. Sungguh ironis, ternyata masih ada bekas terpidana korupsi yang
akhirnya terpilih menjadi wakil rakyat.
Keberadaan caleg tidak
berintegritas tentu saja akan menambah masalah bagi parlemen—baik di pusat
maupun di daerah—di kemudian hari. Muncul kekhawatiran keberadaan bekas
koruptor dalam parlemen hanya akan menularkan bibit korupsi kepada anggota
legislatif lainnya atau bahkan mengulang praktik korupsi yang pernah ia
lakukan.
Tidak dapat dimungkiri citra
parlemen selama ini tercoreng akibat sejumlah perkara korupsi yang melibatkan
anggotanya. Pada 2014, Indonesia Corruption Wacth (ICW) menemukan sedikitnya
59 anggota dewan terpilih (DPR, DPRD, DPD) periode 2014-2019 yang tersangkut
perkara korupsi. Data Kementerian Dalam Negeri tahun 2014 menyebutkan,
terdapat 3.169 anggota DPRD se- Indonesia pernah tersangkut perkara korupsi
selama kurun 2004-2014. Peristiwa terbaru adalah ketika KPK menetapkan
tersangka korupsi secara massal terhadap 38 anggota DPRD Sumatera Utara dan
19 anggota DPRD Kota Malang. Masuknya eks koruptor sebagai anggota legislatif
tentu saja akan semakin menguatkan ketidakpercayaan rakyat terhadap parlemen.
Pelaporan
kekayaan
Pada sisi lain, keharusan
menyerahkan laporan kekayaan pada awal pencalonan juga diharapkan dapat
meminimalkan rendahnya pelaporan kekayaan para anggota legislatif yang kelak
terpilih. Sudah rahasia umum jika sudah terpilih biasanya banyak anggota
legislatif yang malas bahkan tak mau melaporkan kekayaannya kepada KPK.
Hal ini dibuktikan dari data KPK
tahun 2016 yang menyebutkan baru 62,75 persen dari 545 anggota DPR periode
2014-2019 yang menyerahkan LHKPN. Selebihnya, 37,25 persen atau 203 wakil
rakyat belum melaporkan kekayaan mereka. Tidak hanya DPR, sebanyak 9.676
anggota DPRD di seluruh Indonesia juga belum menyetorkan LHKPN.
Padahal, pelaporan kekayaan
merupakan salah satu bentuk komitmen antikorupsi setiap pejabat publik,
termasuk anggota legislatif. Apalagi kewajiban pelaporan kekayaan anggota
Dewan merupakan mandat dari UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam Pasal
5 Ayat 3 regulasi tersebut menegaskan, anggota DPR/DPRD selaku penyelenggara
negara wajib melaporkan kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat.
Hanya saja, jadi atau tidaknya
aturan melarang eks narapidana korupsi mendaftar dan pelaporan kekayaan dapat
diakomodasi dalam peraturan KPU sangat bergantung pada keberanian KPU
sendiri. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU berhak membuat aturan pelaksanaan
pemilu sepanjang tidak bertentangan dengan UU Pemilu. Dalam kondisi tertentu
terobosan hukum bisa saja dilakukan KPU untuk memastikan bahwa pemilu dapat
berjalan secara demokratis dan berintegritas.
Untuk memastikan caleg yang ikut
pemilu adalah figur berintegritas, akan sangat baik jika dalam PKPU juga
diperluas larangan mendaftarkan diri sebagai caleg tidak saja bagi bekas
narapidana korupsi, tetapi juga terhadap tersangka, terdakwa, dan terpidana
perkara korupsi. Bahkan, untuk mencegah figur bermasalah mendaftar, KPU dapat
menambahkan syarat pencalonan berupa adanya Surat Keterangan Catatan
Kepolisian (SKCK) dan Surat Pernyataan Tidak Pernah Dijatuhi Pidana yang
dikeluarkan oleh pengadilan negeri setempat. Kedua syarat ini lazim digunakan
dalam seleksi calon pegawai negeri sipil dan calon pejabat publik lainnya.
Menghadirkan caleg berintegritas
seharusnya juga didukung partai politik (parpol) peserta Pemilu 2019 sebagai
bentuk komitmen mereka terhadap upaya pemberantasan korupsi. Selama ini
parpol sering mengabaikan aspek integritas kader-kadernya yang akan
mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Mereka lebih mengutamakan caleg
yang loyal dan punya kemampuan finansial daripada figur yang punya rekam
jejak dan integritas yang baik.
Jika Pemilu 2019 diikuti oleh
caleg yang berintegritas atau minim masalah hukum, tentu saja publik akan
punya harapan bahwa anggota legislatif yang terpilih nantinya mau bekerja
sungguh-sungguh dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Jika semua caleg
yang terpilih tidak lagi diragukan integritasnya, tentu saja citra parlemen
akan semakin baik di mata publik. ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Hk
BalasHapus