Politik
Agraria Jokowi-JK
Syaiful Bahari ; Pemerhati Masalah Agrarian;
Ketua DPP Petani NasDem
|
MEDIA
INDONESIA, 07 April 2018
POLITIK
agraria diartikan sebagai arah dan kebijakan negara dalam mengubah dan menata
kembali struktur penguasaan tanah dan sumber daya alam untuk kepentingan
pemerataan pembangunan.
Politik
agraria bagi negara-negara eks kolonial memainkan peranan yang sangat penting
dan menentukan dalam membangun struktur sosial-ekonomi masyarakat di
negara-negara yang baru merdeka karena hambatan terbesar bagi negara-negara
pascakolonial setelah merdeka seperti Indonesia ialah warisan ketimpangan
struktur agraria yang menyebabkan kemiskinan di perdesaan dan keterbelakangan
industri nasional.
Indonesia
termasuk negara yang terlambat melakukan perombakan dan penataan kembali
struktur agraria yang timpang sebagai warisan kolonial Belanda. Lima belas
tahun setelah kemerdekaan barulah pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) Tahun 1960 sebagai dasar politik hukum agraria baru
menggantikan hukum agraria Belanda.
Namun,
jalan politik agraria nasional yang baru ini pun tidak berlangsung lama. Lima
tahun kemudian (1965) setelah UUPA 1960 disahkan, ketika haluan
politik-ideologi negara berubah di bawah Orde Baru, nasib UUPA 1960 semakin
tidak pasti dan tidak lagi dijadikan sumber kebijakan negara dalam mengelola
dan menata sumber daya agraria nasional.
Itulah
sebabnya selama 54 tahun sejak kemerdekaan sampai reformasi wacana dan agenda
'reforma agraria' tidak muncul dalam politik pembangunan nasional. Meskipun
MPR-RI setelah reformasi mengeluarkan Tap MPR No IX Tahun 2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam, produk politik hukum tersebut
hanya berjalan di tempat dan tidak tersambung dengan praktik kebijakan
pemerintah baik pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati, maupun SBY.
Bahkan
setelah reformasi terjadi kemunduran dari sisi kelembagaan yang kementerian
untuk urusan agraria dihapus dan sepenuhnya diserahkan ke BPN yang sebenarnya
lebih banyak mengurus administrasi pertanahan. Dapat dikatakan dalam Orde
Reformasi pun agenda reforma agraria belum ditempatkan sebagai bagian dari
program strategis pembangunan nasional.
Reforma agraria di era Jokowi-JK
Agenda
reforma agraria kembali menguat ketika Jokowi-JK memenangi Pilpres 2014.
Dalam program prioritas Jokowi-JK yang dikenal dengan nama Nawa Cita, agenda
land reform atau reforma agraria masuk Nawa Cita kelima. Tidak hanya berhenti
di Nawa Cita, struktur kabinet yang dibentuk memulihkan kembali Kementerian
Agraria sebagai lembaga negara yang tidak terbatas pada administrasi
pertanahan, tetapi mencakup juga redistribusi lahan kepada petani kecil.
Kabinet
Jokowi-JK membuka diri dan melibatkan pegiat reforma agraria baik dari LSM
maupun organisasi tani untuk menyamakan persepsi dan mendesain program
reforma agraria yang akan dijalankan. Setelah dalam periode sebelumnya antara
pegiat reforma agraria dan pemerintah masih berjarak, di masa Jokowi mereka
diberikan tempat di lingkaran istana kepresidenan (KSP). Keterbukaan ini
belum pernah terjadi di periode sebelumnya. Meskipun begitu, masih ada
beberapa LSM dan organisasi tani yang merasa tidak puas dengan implementasi
kebijakan reforma agraria Jokowi-JK.
Apa
yang membedakan reforma agraria Jokowi-JK dengan periode sebelumnya? Jokowi
sangat paham, menuntaskan reforma agraria di Indonesia tidak mudah dan tidak
bisa menempuh jalan pintas, apalagi dengan gaya penuh retorika revolusioner.
Karena karakter Jokowi yang lebih suka kerja konkret berdasarkan prioritas
dan terukur, program reforma agraria yang begitu kompleks dan sarat dengan
kepentingan korporasi besar dan elite politik yang melindunginya dijalankan
agar tidak menimbulkan konflik politik nasional seperti sejarah kelam
pelaksanaan land reform 1960-an.
Upaya
terpenting yang dilakukan Jokowi-JK ialah menyamakan persepsi di kabinet dan
menyinergikan antarkementerian agar pelaksanaan reforma agraria berjalan
dengan baik. Sebelum periode Jokowi-JK sektoralisme antarkementerian sangat
kuat, sedangkan di era sekarang sektoralisme tersebut mulai mencair. Sebagai
contoh dulu kawasan kehutanan hampir tidak tersentuh sama sekali, tapi kini
melalui program perhutanan sosial lahan kehutanan masuk dalam objek reforma
agraria.
Demikian
juga dengan Kementerian BUMN mengerahkan sumber daya mereka baik melalui bank
pemerintah maupun badan layanan umum (BLU) untuk memberikan kredit usaha
rakyat (KUR) agar pascapembagian tanah atau pemberian hak pengelolaan hutan,
para petani bisa memperoleh modal usaha untuk mengelola lahannya menjadi
lebih produktif. Access reform yang menjadi bagian penting dari reforma
agraria sudah mulai terlihat meskipun masih banyak yang perlu diperbaiki.
Ketidakpahaman para pengkritik
Pelaksanaan
reforma agraria Jokowi-JK baru berjalan empat tahun dengan prioritas
legalisasi hak milik masyarakat melalui program sertifikasi tanah,
redistribusi lahan telantar dan pemberian hak pengelolaan atas kawasan hutan
baik di Jawa maupun luar Jawa. Program yang paling terlihat dan terekspos di
media ialah pemberian sertifikat hak milik (SHM) dan sertifikat hak kelola
hutan (IPHPS, HKM, dan kulin KK).
Jokowi
menargetkan kepada Kementerian ATR/BPN 160 juta bidang tanah untuk
disertifikatkan dan baru tercapai 46 juta bidang pada 2016, masih ada 80 juta
bidang lagi yang harus diselesaikan. Padahal, periode sebelumnya, BPN hanya
mampu menerbitkan sertifikat tanah 500 ribu per tahun. Untuk kawasan hutan
Jokowi memerintahkan Kementerian LHK untuk mendistribusikan 12,7 juta ha
untuk diberikan hak pengelolaannya kepada rakyat.
Para
pengkritik Jokowi mengatakan bagi-bagi sertifikat (BBS) bukan substansi dari
reforma agraria, bahkan Amien Rais menyebutkan program BBS merupakan
pengelabuan masyarakat. Sebagian lagi mengatakan reforma agraria versi
Jokowi-JK tidak menyentuh persoalan ketimpangan dan monopoli penguasaan tanah
oleh korporasi.
Tentu
saja inti reforma agraria ialah merombak struktur agraria yang timpang dan
memberikan lahan pertanian yang cukup untuk petani. Namun, perlu diingat
Jokowi-JK mewarisi ketimpangan penguasaan tanah dari periode sebelumnya.
Sistem administrasi pertanahan di masa lalu masih belum tertata baik
akibatnya banyak hak tanah yang tumpang-tindih sehingga menciptakan konflik
atau sengketa pertanahan.
Di
samping masih banyak petani guram atau buruh tani yang tidak memiliki tanah,
sebagian besar tanah milik masyarakat belum terdaftar atau tesertifikasi.
Akibatnya tidak ada perlindungan hak kepemilikan tanah masyarakat oleh negara.
Dengan demikian, program reforma agraria Jokowi-JK menyasar pada dua hal di
atas: legalisasi hak milik dan redistribusi tanah kepada petani.
Para
pengkritik Jokowi-JK, oleh karena ketidakpahaman mereka mengenai reforma
agraria, hanya melihat dari satu sisi, yakni sertifikasi tanah. Seperti
dikatakan sebelumnya program reforma agraria Jokowi baru berjalan empat
tahun, sedangkan reforma agraria memerlukan waktu yang cukup panjang.
Sebagai
contoh pelaksanaan reforma agraria di Jepang dilakukan dua tahap, pertama
pada masa Restorasi Meiji dan tahap kedua setelah Perang Dunia II di bawah
kepemimpinan Jenderal Douglas MacArthur ketika Jepang di bawah kekuasaan
Amerika Serikat. Di India, Filipina, dan sebagian Amerika Latin sampai saat
ini reforma agraria masih berjalan meskipun berganti-ganti presiden.
Dengan
demikian, menjadi sangat tidak realistis jika menilai reforma agraria
Jokowi-JK berjalan di tempat, apalagi disebut sebagai kebohongan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar