Perlambatan
Pertumbuhan Kredit, Bank Main Aman?
Anung Herlianto ; EC Kepala Departemen Pengawasan Bank 3-OJK
|
MEDIA
INDONESIA, 03 April 2018
DALAM pertemuan dengan
industri perbankan beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi menyampaikan concern
terkait dengan lambatnya pertumbuhan kredit perbankan 2017 yang hanya 8,24%
atau lebih rendah bila dibandingkan dengan target rencana bisnis bank rentang
9%-12%.
Presiden sepertinya berharap
banyak pada sektor perbankan untuk lebih berperan sebagai mesin pertumbuhan
ekonomi melalui kredit yang disalurkan. Menurut Presiden, bank-bank cenderung
memilih membatasi risiko dan terlalu konservatif dalam menjalankan bisnisnya.
Komentar beragam bermunculan
menanggapi sentilan Presiden itu. Sebagai industri yang diberi amanat
mengelola dana masyarakat, bank-bank memang harus terukur dalam menjalankan
bisnis. Selalu ada trade-off antara pertumbuhan bisnis dan profitabilitas di
satu sisi dengan risiko di sisi lain.
Prinsip kehati-hatian
kelihatannya lebih diutamakan perbankan dalam menyikapi kondisi perekonomian
global yang sedang lesu dalam tiga tahun terakhir ini. Namun, Presiden juga
tidak sepenuhnya salah. Wajar bila kita berharap banyak pada perbankan yang
merupakan pemain dominan di sektor keuangan untuk lebih agresif mendorong
sektor riil bergerak lebih cepat. Terlebih seluruh indikator ekonomi telah
membaik dan ekspektasi terhadap prospek ekonomi Indonesia cukup tinggi.
Hal itu juga didukung dengan
penilaian berbagai lembaga rating yang menempatkan RI sebagai negara layak
investasi. Hal senada juga terlihat pada assessment IMF, bahwa perekonomian
RI akan tumbuh positif, didukung permintaan domestik yang solid. Bank Dunia
juga menempatkan RI sebagai salah satu top improvers karena peringkat
kemudahan investasi 2018 melonjak 34 peringkat dalam 2 tahun terakhir menjadi
posisi 72.
US News mengidentifikasi
Indonesia sebagai negara tujuan investasi terbaik nomor 2 di dunia.
Mencermati berbagai persepsi positif itu, tidak mengherankan kalau Presiden
meminta perbankan untuk juga lebih optimistis memberi dukungan pada
pertumbuhan ekonomi.
Secara umum manajemen bank
sepakat dalam hal ini. Mereka percaya bahwa tren perkembangan ekonomi global
dan domestik akan membaik di 2018 ini. Buktinya? Akhir tahun lalu bank-bank
telah menyampaikan rencana bisnis 2018 kepada OJK. Dari rencana bisnis
tersebut proyeksi pertumbuhan kredit bank-bank telah memancarkan optimisme
sekaligus gairah untuk ekspansi.
Secara industri, kredit
perbankan diproyeksikan akan tumbuh di kisaran 12% atau sejalan outlook OJK
yang memperkirakan ekspansi kredit perbankan 2018 pada rentang 10%-12%. Dari
sisi skala usaha, bank umum kegiatan usaha (BUKU) 1 dan 2 mematok pertumbuhan
kredit pada kisaran 15%-17%, sedangkan bank BUKU 3 dan 4 pada rentang
11%-12%.
Semua mengarah pada gairah
yang sama dan memandang fondasi ekonomi yang dibangun pemerintah telah mulai
berbuah tahun ini.
Dari sisi kategori
kepemilikan, gabungan bank-bank BUMN menargetkan pertumbuhan tertinggi pada
kisaran 14%, bank-bank swasta domestik pada kisaran 12%, bank pembangunan
daerah sekitar 11%, dan yang masih perlu didorong ialah kantor cabang bank
asing dan bank yang dimiliki asing yang memproyeksikan pertumbuhan kredit
pada kisaran 9%.
Apabila proyeksi ekspansi
kredit itu benar-benar terealisasi, ekspansi bersih kredit perbankan akan
mencapai sekitar Rp554 triliun. Pertumbuhan kredit itu akan dibiayai
pertumbuhan dana pihak ketiga yang diproyeksikan akan tumbuh pada kisaran
11,3% atau secara nominal sebesar Rp561 triliun.
Pertumbuhan DPK ini
relatif sama dengan jumlah yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kredit. Apabila
roda perekonomian berputar lebih cepat, bukan tidak mungkin target
pertumbuhan kredit di atas target. Kapasitas bank tumbuh lebih besar pada
dasarnya masih ada. Excess reserve perbankan akhir Desember 2017 masih Rp685
triliun.
Proyeksi pertumbuhan yang
optimistis sebagaimana tertuang dalam rencana bisnis bank-bank ini tentunya
sudah melalui kajian dan didasarkan pada analisis yang matang. Dalam konteks
ini, tugas OJK ialah menyeimbangkan antara pertumbuhan bisnis yang menjadi
komitmen manajemen perbankan dengan aspek kehati-hatian.
Dalam perspektif
prudential, yang terpenting bukan pertumbuhan yang tinggi (high growth),
melainkan pertumbuhan berkesinambungan (sustainable growth). Kalau ini
terjadi, kemampuan bank untuk terus mendukung pertumbuhan ekonomi akan
berkelanjutan juga. Bukan seperti yoyo sebagaimana kita saksikan dalam
perjalanan krisis selama dua dekade ini. Tumbuh tinggi, tenggelam, recovery,
tumbuh tinggi kembali dan seterusnya mengikuti pergerakan ekonomi, sangat
prosiklis. Perbankan belajar banyak dengan pengalaman itu dan seharusnya
sudah mulai pintar.
Lantas siapkah perbankan
merespons 'lecutan' Presiden? Dari sisi kelembagaan dan kinerja keuangan,
perbankan pada dasarnya telah sangat siap. Konsolidasi dan penguatan internal
selama dua tahun terakhir ini telah dilakukan. Tumpukan kolesterol berupa
kredit bermasalah telah dibersihkan secara bertahap. NPL gross telah turun
pada level 2,59%, sedangkan NPL nett pada level lebih rendah sebesar 1,11%.
Hal itu dibarengi dengan
perbaikan internal governance dan penguatan modal oleh pemegang saham.
Puluhan triliun tambahan modal disetor telah mengalir dalam industri
perbankan dalam 2-3 tahun terakhir ini. Tidak mengherankan CAR Bank pada
akhir 2017 mencapai 23,36% atau tertinggi dalam sejarah. Rasio modal ini
sangat memadai untuk mendukung ekspansi dan sebagai bantalan risiko bisnis
perbankan.
OJK tentunya tidak akan
membiarkan bank-bank melakukan ekspansi secara agresif dengan modal cekak dan
mengabaikan prinsip kehati-hatian. Sekali lagi, yang ingin dituju adalah
sustainable growth demi kontinuitas industri ini dalam mendukung
perekonomian, dan bukan high growth. Kita tidak ingin sektor keuangan dipacu,
akhirnya bermasalah dan jadi beban negara.
Dengan demikian, sinergi
antara ekspansi kredit yang tinggi, stabilitas sektor keuangan yang terjaga,
dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dapat diwujudkan, dan bukan lagi
suatu impossible trinity. Tentunya ini yang diharapkan kepala negara, insan
perbankan dan masyarakat yang mendambakan terbukanya lapangan kerja,
berkurangnya kemiskinan, dan meningkatnya kesejahteraan. Semoga ini bukan
utopia.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar