Kamis, 05 April 2018

Perlambatan Pertumbuhan Kredit, Bank Main Aman?

Perlambatan Pertumbuhan Kredit, Bank Main Aman?
Anung Herlianto  ;   EC Kepala Departemen Pengawasan Bank 3-OJK
                                              MEDIA INDONESIA, 03 April 2018



                                                           
DALAM pertemuan dengan industri perbankan beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi menyampaikan concern terkait dengan lambatnya pertumbuhan kredit perbankan 2017 yang hanya 8,24% atau lebih rendah bila dibandingkan dengan target rencana bisnis bank rentang 9%-12%.

Presiden sepertinya berharap banyak pada sektor perbankan untuk lebih berperan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi melalui kredit yang disalurkan. Menurut Presiden, bank-bank cenderung memilih membatasi risiko dan terlalu konservatif dalam menjalankan bisnisnya.

Komentar beragam bermunculan menanggapi sentilan Presiden itu. Sebagai industri yang diberi amanat mengelola dana masyarakat, bank-bank memang harus terukur dalam menjalankan bisnis. Selalu ada trade-off antara pertumbuhan bisnis dan profitabilitas di satu sisi dengan risiko di sisi lain.

Prinsip kehati-hatian kelihatannya lebih diutamakan perbankan dalam menyikapi kondisi perekonomian global yang sedang lesu dalam tiga tahun terakhir ini. Namun, Presiden juga tidak sepenuhnya salah. Wajar bila kita berharap banyak pada perbankan yang merupakan pemain dominan di sektor keuangan untuk lebih agresif mendorong sektor riil bergerak lebih cepat. Terlebih seluruh indikator ekonomi telah membaik dan ekspektasi terhadap prospek ekonomi Indonesia cukup tinggi.

Hal itu juga didukung dengan penilaian berbagai lembaga rating yang menempatkan RI sebagai negara layak investasi. Hal senada juga terlihat pada assessment IMF, bahwa perekonomian RI akan tumbuh positif, didukung permintaan domestik yang solid. Bank Dunia juga menempatkan RI sebagai salah satu top improvers karena peringkat kemudahan investasi 2018 melonjak 34 peringkat dalam 2 tahun terakhir menjadi posisi 72.

US News mengidentifikasi Indonesia sebagai negara tujuan investasi terbaik nomor 2 di dunia. Mencermati berbagai persepsi positif itu, tidak mengherankan kalau Presiden meminta perbankan untuk juga lebih optimistis memberi dukungan pada pertumbuhan ekonomi.

Secara umum manajemen bank sepakat dalam hal ini. Mereka percaya bahwa tren perkembangan ekonomi global dan domestik akan membaik di 2018 ini. Buktinya? Akhir tahun lalu bank-bank telah menyampaikan rencana bisnis 2018 kepada OJK. Dari rencana bisnis tersebut proyeksi pertumbuhan kredit bank-bank telah memancarkan optimisme sekaligus gairah untuk ekspansi.

Secara industri, kredit perbankan diproyeksikan akan tumbuh di kisaran 12% atau sejalan outlook OJK yang memperkirakan ekspansi kredit perbankan 2018 pada rentang 10%-12%. Dari sisi skala usaha, bank umum kegiatan usaha (BUKU) 1 dan 2 mematok pertumbuhan kredit pada kisaran 15%-17%, sedangkan bank BUKU 3 dan 4 pada rentang 11%-12%.

Semua mengarah pada gairah yang sama dan memandang fondasi ekonomi yang dibangun pemerintah telah mulai berbuah tahun ini.

Dari sisi kategori kepemilikan, gabungan bank-bank BUMN menargetkan pertumbuhan tertinggi pada kisaran 14%, bank-bank swasta domestik pada kisaran 12%, bank pembangunan daerah sekitar 11%, dan yang masih perlu didorong ialah kantor cabang bank asing dan bank yang dimiliki asing yang memproyeksikan pertumbuhan kredit pada kisaran 9%.

Apabila proyeksi ekspansi kredit itu benar-benar terealisasi, ekspansi bersih kredit perbankan akan mencapai sekitar Rp554 triliun. Pertumbuhan kredit itu akan dibiayai pertumbuhan dana pihak ketiga yang diproyeksikan akan tumbuh pada kisaran 11,3% atau secara nominal sebesar Rp561 triliun.

Pertumbuhan DPK ini relatif sama dengan jumlah yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kredit. Apabila roda perekonomian berputar lebih cepat, bukan tidak mungkin target pertumbuhan kredit di atas target. Kapasitas bank tumbuh lebih besar pada dasarnya masih ada. Excess reserve perbankan akhir Desember 2017 masih Rp685 triliun.

Proyeksi pertumbuhan yang optimistis sebagaimana tertuang dalam rencana bisnis bank-bank ini tentunya sudah melalui kajian dan didasarkan pada analisis yang matang. Dalam konteks ini, tugas OJK ialah menyeimbangkan antara pertumbuhan bisnis yang menjadi komitmen manajemen perbankan dengan aspek kehati-hatian.

Dalam perspektif prudential, yang terpenting bukan pertumbuhan yang tinggi (high growth), melainkan pertumbuhan berkesinambungan (sustainable growth). Kalau ini terjadi, kemampuan bank untuk terus mendukung pertumbuhan ekonomi akan berkelanjutan juga. Bukan seperti yoyo sebagaimana kita saksikan dalam perjalanan krisis selama dua dekade ini. Tumbuh tinggi, tenggelam, recovery, tumbuh tinggi kembali dan seterusnya mengikuti pergerakan ekonomi, sangat prosiklis. Perbankan belajar banyak dengan pengalaman itu dan seharusnya sudah mulai pintar.

Lantas siapkah perbankan merespons 'lecutan' Presiden? Dari sisi kelembagaan dan kinerja keuangan, perbankan pada dasarnya telah sangat siap. Konsolidasi dan penguatan internal selama dua tahun terakhir ini telah dilakukan. Tumpukan kolesterol berupa kredit bermasalah telah dibersihkan secara bertahap. NPL gross telah turun pada level 2,59%, sedangkan NPL nett pada level lebih rendah sebesar 1,11%.

Hal itu dibarengi dengan perbaikan internal governance dan penguatan modal oleh pemegang saham. Puluhan triliun tambahan modal disetor telah mengalir dalam industri perbankan dalam 2-3 tahun terakhir ini. Tidak mengherankan CAR Bank pada akhir 2017 mencapai 23,36% atau tertinggi dalam sejarah. Rasio modal ini sangat memadai untuk mendukung ekspansi dan sebagai bantalan risiko bisnis perbankan.

OJK tentunya tidak akan membiarkan bank-bank melakukan ekspansi secara agresif dengan modal cekak dan mengabaikan prinsip kehati-hatian. Sekali lagi, yang ingin dituju adalah sustainable growth demi kontinuitas industri ini dalam mendukung perekonomian, dan bukan high growth. Kita tidak ingin sektor keuangan dipacu, akhirnya bermasalah dan jadi beban negara.

Dengan demikian, sinergi antara ekspansi kredit yang tinggi, stabilitas sektor keuangan yang terjaga, dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dapat diwujudkan, dan bukan lagi suatu impossible trinity. Tentunya ini yang diharapkan kepala negara, insan perbankan dan masyarakat yang mendambakan terbukanya lapangan kerja, berkurangnya kemiskinan, dan meningkatnya kesejahteraan. Semoga ini bukan utopia.... ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar