“Bohirkrasi”
dan Politik Uang
Luthfi Assyaukanie ; Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC),
Jakarta
|
KOMPAS,
04 April
2018
Tulisan Zainal Arifin Mochtar
(Kompas, 29/3) layak jadi perhatian. Bukan hanya karena tahun ini (juga 2019)
adalah tahun politik, tapi juga karena isu korupsi dan kaitannya dengan
pilihan raya (pemilu pilkada) merupakan tema abadi yang mengganggu hari-hari
kita.
Apa yang diungkapkan Zainal dalam
tulisannya berjudul “Korupsi Membayangi Pilkada” itu kita tahu semua. Begitu
eratnya kaitan antara pilihan raya dan politik uang. Pilkada adalah ajang
menggelar dosa, dosa publik berupa permainan uang, baik itu berbentuk suap
maupun transaksi politik antara calon kepala daerah dan para pemilik modal.
Kita tahu semua bahwa uang dan
jabatan bisa dipertukarkan. Calon-calon kepala daerah butuh dukungan dana
agar dipilih, sementara para pengusaha yang sudah kehabisan akal bagaimana
mengembangkan usahanya mencium peluang bisnis besar dari APBN/APBD. Para
pengusaha atau pemodal itu menaruh investasi dengan cara mendanai calon-calon
kepala daerah. Imbalannya akan didapat nanti ketika kepala daerah itu
terpilih, mereka akan menangguk uang berupa proyek-proyek APBD.
Kolaborasi antara calon kepala
daerah dan pengusaha sebetulnya bukanlah fenomena unik di Indonesia saja. Di
berbagai negara, transaksi-transaksi di balik layar seperti ini selalu
terjadi, termasuk di AS, Eropa, dan di negara-negara manapun yang menerapkan
demokrasi. Ada istilah terkenal untuk menggambarkan fenomena menyedihkan ini:
“donokrasi.”
Donokrasi menjelaskan keterkaitan
erat antara pemberi dana kampanye (donor) dengan calon kepala daerah yang
akan bertarung dalam suatu pilihan raya. Di Amerika, donokrasi dilakukan
secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi. Perusahaan-perusahaan besar
memberikan dukungan (pledge) pada calon tertentu untuk mendapatkan kemudahan
(atau proyek) jika sang kandidat memenangkan pilihan.
Di Indonesia, kita biasa mengenal
istilah “bohir” yang berarti “pemilik modal.” Dalam bahasa aslinya (Belanda),
bouwheer berarti “kontraktor”, berasal dari bouwen (membangun) dan heer
(tuan). Dalam bahasa Indonesia, khususnya percakapan politik sehari-hari,
istilah “bohir” merujuk pada pemberi modal politik. Umumnya, istilah ini
digunakan secara negatif. Bohir adalah rentenir politik yang “meminjamkan”
uang ke calon-calon yang akan berlaga dalam pilihan raya.
Begitu vitalnya peran bohir,
banyak orang yang percaya bohir adalah penentu keberhasilan seorang kandidat
dalam pilkada. Orang yang tak punya bohir bisa dipastikan akan mengalami
kesulitan. Jika dia bisa memenangkan pertarungan politik tanpa bohir, itu
adalah mukjizat, yang hanya terjadi pada para nabi.
Tak berlebihan kalau kita katakan
demokrasi yang kita jalani di Indonesia adalah “bohirkrasi.” Pemegang saham
terbesar dalam suatu pilihan raya bukanlah rakyat (demos), tapi bohir yang
berada di balik setiap kontestan. Rakyat hanya pelengkap saja dari pesta yang
mengatasnamakan diri mereka itu. Mungkin bagus juga kalau kita ganti istilah
“pesta rakyat” menjadi “pesta bohir.”
Jalan keluar
Bagaimana jalan keluarnya? Seperti
saya singgung di atas, ini bukan masalah di Indonesia saja. Di negara-negara
maju, donokrasi telah melahirkan pemimpin-pemimpin yang tak (atau kurang)
ideal. Mekanisme pemilihan yang sarat campur-tangan donor menyulitkan
demokrasi berjalan secara alamiah. Selalu ada kepentingan bisnis di belakang
setiap pemilihan politik.
Dampak langsung donokrasi adalah
munculnya pemimpin-pemimpin medioker yang kurang pandai bekerja (inkompeten)
atau kurang memenuhi ekspektasi publik. Kandidat-kandidat yang terpilih
adalah mereka yang bisa meyakinkan sebagian besar pemilih abai (ignorant
voters). Dalam berbagai temuan studi mutakhir, sebagian besar pemilih dalam
demokrasi adalah kaum ignorant.
Di AS, kombinasi pemilih ignorant
dan kepentingan bohir melahirkan kepala daerah yang mengecewakan. Menurut
sebuah survei kepuasan publik (approval rating) atas gubernur-gubernur di AS,
dari 50 gubernur terpilih, hanya tujuh yang dapat nilai (tingkat kepuasan) di
atas 60 persen. Rata-rata gubernur dapat approval rating di bawah 50 persen
(Morning Consult, Q4/2017).
Hal sama sebetulnya juga terjadi
di Indonesia. Dari 500 lebih pilkada, berapa gubernur atau bupati/walikota
yang berhasil menyita perhatian masyarakat karena performa kerjanya? Coba
hitung!
Kita lebih sering mendengar kepala
daerah yang tertangkap tangan oleh KPK ketimbang mereka yang dapat
penghargaan atau pemberitaan karena berbagai prestasinya.
Para ilmuwan politik berusaha
mencari jalan keluar dari kebuntuan demokrasi modern. Secara umum, ada dua
solusi. Yang pertama bersifat radikal seperti diusulkan Jason Brennan dalam
bukunya Against Democracy. Menurutnya, tidak ada cara lain untuk memperbaiki
kualitas demokrasi kecuali dengan melakukan “sortifikasi” terhadap pemilih.
Sortifikasi adalah proses
penyortiran atau pembatasan jumlah pemilih, misalnya hanya orang-orang
tertentu yang benar-benar melek dan peduli politik yang berhak datang ke
bilik suara. Mereka yang tak punya pengetahuan atau kepedulian politik tak
layak diajak ikut pemilu.
Mekanisme penyortiran bisa berdasarkan jenjang
pendidikan, bisa juga berdasarkan perilaku informasi/pengetahuan yang
dikonsumsi seseorang. Brennan menyebutnya “epistokrasi.”
Yang kedua, solusi bersifat
struktural yang ditawarkan Ilya Somin dalam bukunya Democracy and Political
Ignorance. Sortifikasi bukanlah alternatif ideal buat demokrasi. Selain
mekanisme penyortiran yang tak mudah, semangat sortifikasi cenderung
diskriminatif. Ignorance (abai) bukanlah sebuah kondisi yang tak masuk akal,
tapi justru pilihan rasional pemilih. Di tengah banyaknya pilihan, memilih
atau mengabaikan adalah keputusan yang sepenuhnya rasional.
Akar masalah dari buruknya hasil
demokrasi adalah karena banyaknya pemilih yang abai. Mengapa para pemilih
abai? Menurut Somin karena mereka disuguhi begitu banyak pilihan yang tak
mungkin mereka kaji secara mendalam. Cara mengatasinya: mengurangi pilihan,
mengurangi jabatan publik, mengurangi posisi-posisi yang tidak penting.
Dengan kata lain: merampingkan pemerintahan.
Penggalangan dana
Ada cara ketiga yang menurut saya
belum banyak dipercakapkan orang, khususnya di kalangan akademis. Jika
masalah demokrasi terkait keterlibatan (emosional) pemilih dan juga
pendanaan, memikirkan solusi yang bisa mengombinasikan keduanya adalah jalan
keluar terbaik. Saya membayangkan ada sebuah sistem atau platform yang
memungkinkan pemilih dalam demokrasi lebih terlibat dengan pilihan-pilihan
politik mereka. Misalnya, mendorong mereka agar lebih besar lagi berperan
dalam proses pemilihan, bukan hanya datang ke bilik suara, tapi aktif
berkampanye dan melakukan penggalangan dana.
Penggalangan dana adalah unsur
penting yang bisa menggabungkan emosi pemilih dengan isu pendanaan yang jadi
akar persoalan demokrasi. Orang yang mengeluarkan uang (seberapapun
jumlahnya), pasti punya ikatan emosional lebih besar ketimbang pemilih
minimalis (yang tak menyumbang). Dia akan memantau calon yang didukung.
Dampak positif lain adalah kandidat yang didanai oleh uang masyarakat (hasil
dari penggalangan dana) akan merasa lebih bertanggung jawab kepada publik
ketimbang kepada seseorang (bohir). Penggalangan dana bukan hanya mengatasi
masalah biaya politik yang selama ini sangat rawan, tapi juga mendorong
seorang kandidat lebih bertanggung jawab kepada pemilihnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar