Novel
yang Tak Enak Dibaca
Budi Hatees ; Pengamat Kepolisian dan Pemolisian;
Menulis buku “Ulat di Kebun Polri”
|
KORAN
SINDO, 18 April 2018
Kita membaca Novel
Baswedan. Perlahan-lahan dan sangat tekun. Kita membaca sambil berharap
menemukan kejutan di pengujung kisah yang jadi sorotan publik selama
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dipimpin Kapolri Jenderal Pol Tito
Karnavian.
Seorang pembaca mendapatkan
kepuasan bila ujung cerita tak bisa ditebak. Kejutan demi kejutan selama proses
membaca, kemudian ditutup dengan kejutan lebih mengentakkan. Tapi, saat kita
sampai di bab ketika Polri yang mengerahkan para penyidik profesionalnya,
menyatakan si penyerang sebagai “orang tak dikenal”, dengan seketika kita
merasa sedang membaca sebuah kisah humor. Kita tergelak karena simpul Polri
itu bernuansa kocak. Tapi kita percaya polisi memiliki kemampuan mengungkap
kasus-kasus kriminal, pun punya kemampuan membuka selubung atau kedok orang
yang tak dikenal itu. Sebab soal buka tutup kedok para pelaku kejahatan sudah
jadi “makanan” polisi sejak dulu, apa lagi setelah lembaga ini mereformasi
diri nya.
Bukankah pula polisi kita
selalu meningkatkan kemampuan setiap anggota Korps Bhayangkara dalam me
nangani pelaku tindak kriminal? Polri sudah sangat pro fesional. Lembaga yang
bertugas dan bertanggung jawab men ja ga keamanan dan ketertiban masya rakat
serta menegakkan hu - kum ini, melatih dan men didik anggota Korps Bha yang
kara untuk bisa menyesuaikan diri de - ngan segala jenis ke ja hatan.
Meskipun polisi di ne gara lain selalu berada se lang kah di belakang pela ku
ke ja hatan, polisi kita mi ni mal ber ada dalam langkah sama de ngan pelaku
kejahatan. Setidaknya polisi kita pasti tahu siapa yang menjadi pelaku
penyerangan terhadap Novel Baswedan, karena polisi dan pelaku berada dalam
langkah yang sama.
Namun, kenapa belum ada
juga pelaku yang ditangkap hing ga hari ini, setelah ber bilang bulan? Di
sinilah persoalannya, hal membuat kegiatan membaca Novel Baswedan menjadi sa
ngat menarik sekaligus mem bo sankan. Menarik karena polisi jelas kesulitan
meng ung kap siapa pelaku penyerang. Atau polisi harus mem per tim bangkan
banyak hal untuk mengungkapkan pe laku pe nye rangan. Itu mem bosankan, ka
rena polisi terkesan sengaja melingkar-lingkar pada hal yang sama.
Berputar-putar se - rupa gasing pada satu titik tumpu. Wajar bila masyarakat
memper tanyakan kinerja Kapolri Jenderal Pol Tito Karnivian. Di luar segala
puji-puji atas pre s tasi di rinya sebagai Kapolri “ter lama” di negeri ini,
kasus Novel Bas we dan menjadi batu san dung an.
Benar, semua orang punya
sisi buruk. Bahkan, se se orang seperti Kapolri Jenderal Pol Tito Kar nivian
yang selalu dibicarakan sisi baiknya, ternyata punya ke le mah an, yakni
dalam meng ung kap pelaku penyerangan Novel Baswedan. Daftarnya semakin ber
tam bah ketika Tito Karnavian m e nolak tawaran banyak ka lang - an agar
membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) untuk meng ung kap kasus Novel Bas
we dan. Misalnya saran dari Ko-misi Nasional Hak Asasi Ma nu sia (Komnas
HAM). Na mun, Polri merasa masih sanggup me - nyelesaikan ka sus itu tanpa
TGPF, mes ki pun kita menilai Polri jauh dari kata sanggup. Secara sederhana,
kamus mendefinisikan kata “sanggup” sebagai “mampu”.
Kita memahamkan kata
“mampu” sebagai bisa. Definisi itu jelas tidak se suai dengan kinerja Polri
dalam mengungkap kasus penye rang an Novel Baswedan. Polri jelas “tidak
sanggup”, “tidak bisa”, dan “tidak mampu”, lantaran sa tu dan lain hal yang
kita tidak pahami. Pemahaman kita terhadap keterlambatan pengungkapan kasus
penyerangan Novel Bas wedan lebih banyak didasarkan pada logika-logika umum
ter kait riwayat hidup penyidik KPK itu. Dalam banyak biografi Novel Baswedan
yang dirilis media massa, disebutkan kalau man tan anggota Korps Bha yang
kara ini sudah sering men dapat ancaman pembunuhan dan telah berkalikali jadi
sa sar an para penyerang. Namun, dia tetap teguh sebagai penyidik
profesional.
Dia ungkap kasus-kasus
korupsi yang di si diknya dan dia seret tokoh-tokoh yang melakukan korupsi.
Dia tidak pandang bulu. Siapa pun pelaku tindak kriminal korupsi pasti
ditangkapnya. Bahkan, bekas pemimpinnya di Mabes Polri ditangkapnya. Kita tak
akan lupa ketika No vel Baswedan memimpin penyi di kan kasus korupsi di Ko or
lan tas Mabes Polri dengan ter sang ka Mayjen Pol Djoko Susilo. Ke
beraniannya telah membuat gusar Kaba res - krim Mabes Polri, saat itu dijabat
Komjen Pol Su tarman beberapa bulan kemu dian dia diangkat Presiden Su silo Bambang
Yu dhoyono men jadi Kapolri meng gan tikan Jen deral Pol Timur Pradopo.
Sutarman mengecam Novel
Baswe dan, dan kecam mengecam itu membuat lembaga Polri ber tarung dengan
Komisi Pem be rantasan Korupsi (KPK). Pertarungan Polri versus KPK adalah buntut
dari aksi Novel Baswedan mengacakacak Kantor Koor lan tas Mabes Polri. Per ta
rungan itu seru, jauh lebih seru daripada per ta rung an antara KPK di masa
awal de ngan Polri yang waktu itu di pimpin Kapolri Jenderal Pol Bambang
Hendarso Danuri. Akibat pertarungan itu, Polri versus KPK, Presiden Susilo
Bam bang Yudhoyono harus turun tangan dan mendukung KPK. Sentuhan Presiden
SBY membuat Irjen Pol Djoko Susilo yang merupakan rising start Akademi
Kepolisian (Akpol) jadi tersangka korupsi, lalu jadi terpidana korupsi yang
dimis kin kan. Tapi, akibat lain jauh lebih parah.
Pertarungan Polri versus
KPK meninggalkan den dam berkarat, karena Novel Bas wedan dipo si sikan
sebagai musuh dari para koruptor. Kita tak tahu siapa koruptor itu, tapi
semua pelaku korupsi yang tertangkap berasal dari ke lompok berpengaruh.
Tersangka megakorupsi e- KTP adalah orang berpengaruh di DPR RI, partai
politik, biro krasi negara, dan pengusaha. Novel Baswedan salah seorang
penyidik yang dilibatkan meng ungkap kasus itu. Dia juga dilibatkan dalam
penangkapan sejumlah kepala daerah yang korup. Dia melakukan tugasnya sebagai
seorang profesional, tapi karena korupsi mendarah dan men daging dalam
sendi-sendi ke hi dupan, maka semua penyidik pro fesional KPK men jadi musuh
ber sama para ko ruptor.
Mabes Polri jelas
kesulitan menentukan siapakah dari sekian banyak orang yang tidak menyukai
Novel Baswedan ber - potensi menyerang penyidik KPK itu dengan air keras? Ke
sulitan Polri karena lembaga ini harus melacak satu per satu dari orang yang
pernah ditangkap Novel Baswedan, yang kemung kinan besar menyimpan ke su mat
membara untuk meng ha bisi Novel Baswedan. Namun, karena terlalu banyak
koruptor yang ditangkap dan terlalu banyak lembaga terlibat, Polri mungkin
khawatir pengungkap an itu akan mengganggu ke amanan dan ketertiban mas
yarakat. Untuk itu, usulan banyak kalangan termasuk usulan Kom nas HAM
tentang pem ben tukan TGPF menja di re le van.
Jadi atau tidak, TGPF ter
gantung kepada Polri. Pasalnya, Presiden Joko Widodo menga - takan, akan
mengambil langkah lain apabila Polri menyatakan tidak sanggup mengungkap
kasus Novel Bas we dan. Per soal an muncul karena Polri tidak akan pernah
mengeluarkan per nyataan itu se hingga Polri yang harus mengambil inisiatif
me nyi kapi perlunya TGPF. Setelah lebih setahun kerja Polri tidak membawa
hasil, se harusnya Polri lebih me mi kir kan rasa keadilan publik. Novel
Baswedan dibaca banyak orang, kisahnya diikuti terus menerus, dan setiap
orang berharap penyidik KPK itu mendapatkan keadilan.
Negara hukum ini harus
menghormati rasa keadilan semua warga bangsanya. Jika cara-cara yang ditempuh
belum bisa memberi rasa keadilan, maka perlu mencari cara alternatif seperti
membentuk TGPF. Mari berharap. Semoga Polri mampu memberi rasa keadilan hukum
bagi semua warga bangsa. Tapi tentu, kerelaan Polri membentuk TGPF juga berarti
kerelaan Polri mengakui ketidaksanggupannya. Sangat wajar, bila Polri akan
menolak TGPF sehingga kita tetap membaca Novel Baswedan dan membayangkan
seperti apa ending dari cerita thriller ini. ●
|
sekarang kalian bisa memainkan permainan seru
BalasHapusMainkan Poker Online di agens128
dengan minimal deposit hanya 10rb untuk Poker Online
dengan pelayanan cepat dan ramah dari cs kami :)
tunggu apa lagi segera bergabung bersama kami sekarang !!
Contact Kami :
BBM : D8B84EE1 / AGENS128
Line id : agens1288
WhatsApp : 085222555128