Kemitraan
dengan PT Asing
Jonathan Pincus ; Presiden Rajawali Foundation dan
Penasihat Pusat Transformasi
Kebijakan Publik
|
KOMPAS,
06 April
2018
Pada bulan Desember lalu, Wakil Presiden
Jusuf Kalla mengumumkan rencana pemerintah untuk melonggarkan pembatasan
universitas asing dalam pendidikan tinggi di Indonesia (“Kompas”,
21/12/2017).
Meski belum ada rincian apa pun,
kabar ini mengundang reaksi dari sejumlah kalangan akademisi Indonesia.
Hampir setiap hari muncul artikel yang memperingatkan konsekuensi buruk
bagi universitas dan mahasiswa
nasional jika negara mengizinkan universitas asing masuk ke dalam sistem
pendidikan tinggi di Indonesia.
Reaksi berlebihan ini sulit
dipahami, sebab usulan pemerintah sebenarnya sangat moderat dan masuk akal.
Menurut Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, usulan yang
sedang dikaji ini akan membatasi partisipasi perguruan tinggi asing (PTA)
hanya dalam bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM), dan
mewajibkan PTA bermitra dengan perguruan tinggi lokal (PTL). Sampai sekarang,
belum ada rencana untuk mengizinkan PTA membuka kampus cabang atau melakukan
investasi langsung luar negeri (FDI) di Indonesia.
Reformasi
komprehensif
Mengapa ada sekelompok akademisi
Indonesia yang begitu meragukan manfaat kemitraan dengan PTA? Salah satu
fakta yang menjadi alasan jelas adalah proteksionisme akademisi yang
berlangsung di Indonesia selama ini, yang menghambat kerja sama internasional
antara PTA dan PTL di negeri ini. Hambatan tersebut membuat kualitas
mahasiswa, dosen dan universitas kita tidak kompetitif secara global.
Menurut Survei Keterampilan Orang
Dewasa dari Organization for Economic Cooperation and Development (OECD,
2016), kemampuan matematika dan literasi lulusan universitas di Jakarta tak
jauh berbeda dengan siswa setingkat SMP di Eropa. Selain itu, belum satu pun universitas nasional masuk dalam
daftar Times Higher World University Top 800 tahun ini. Hanya tiga universitas
kita yang masuk dalam QS World
University Ranking Top 500. Indonesia
akan sangat sulit bersaing dalam kompetisi global di dalam ekonomi baru yang
bertumpu pada iptek apabila negara ini tidak mampu meningkatkan kualitas
pendidikan tingginya.
Meningkatkan kualitas pendidikan
tinggi bukan pekerjaan mudah. Diperlukan upaya reformasi komprehensif, antara
lain meningkatkan tata kelola, mendorong transparansi, memberikan informasi
yang lebih rinci dan terbaru mengenai hasil pembelajaran siswa, memberikan
insentif kepada guru besar dan dosen untuk meningkatkan keluaran riset dan
mengintegrasikan kemajuan ilmiah ke dalam pengajaran mereka, memperketat
kriteria akreditasi, serta memperkuat peran dunia usaha dan masyarakat sipil
dalam menaikkan standar yang ada.
Apakah PTA dapat berperan dalam
proses reformasi pendidikan tinggi nasional? Berdasarkan sejarah dan praktik,
baik di Indonesia serta di negara Asia lainnya, ada banyak contoh di mana
PTA dapat memainkan peran yang relatif
kecil tetapi efektif dalam meningkatkan kualitas PTL di negara-negara
tersebut.
PTA tidak akan mendirikan kampus
cabang. Selain karena tidak diperbolehkan pemerintah, tetapi juga karena PTA
tidak punya minat akan hal tersebut. hal ini mengingat membuka kampus cabang
memerlukan investasi awal yang sangat besar. Jarang ada PTA yang berani
melakukannya tanpa subsidi pemerintah setempat.
Perlu
membuka diri
Kita bisa melihat pengalaman
Pemerintah Qatar yang telah memberikan dukungan besar kepada 15 PTA membuka
cabang di negerinya, termasuk institusi terkenal seperti Georgetown
University dan University College London. Dubai International Academic City,
misalnya, telah menarik lebih dari 20
mitra internasional sejak pertama kali dibuka di tahun 2007. Pendanaan
Pemerintah Singapura juga berperan vital dalam pembentukan Yale-NUS, sebuah
kampus “liberal arts” di bawah National University of Singapore.
Jadi dapat disimpulkan,
berdasarkan alasan politik dan ekonomi, kampus cabang bukan merupakan pilihan
tepat untuk PTA beroperasi di Indonesia. Jika pembatasan terhadap partisipasi
PTA dapat dilonggarkan, kemungkinan besar PTL dan PTA dapat merespons dengan
pembentukan kemitraan mengajar dan riset dalam bidang akademis yang dianggap
paling penting bagi Indonesia.
Mengacu pada prioritas pemerintah,
bidang yang kemungkinan besar akan mendapat peluang kemitraan tersebut adalah
sains dan teknik.
Satu contoh yang menarik di ASEAN
adalah Higher Engineering Education Alliance Program (HEEAP) di Vietnam,
suatu program kemitraan antara Kementerian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Vietnam, Arizona State University di Amerika Serikat, USAID, dan Intel
Corporation. HEEAP melatih lebih dari 1.000 dosen teknik Vietnam dan membantu
peningkatan kurikulum di universitas nasional Vietnam untuk memperoleh akreditasi
internasional. Program tersebut berhasil meningkatkan kualitas pengajaran dan
riset di universitas Vietnam dan memperkuat profil internasional Arizona
State University, yang diakui sebagai salah satu universitas paling inovatif
di Amerika Serikat.
PTA dan PTL dapat juga
berkolaborasi dalam mengembangkan materi kursus daring dalam bahasa
Indonesia, terutama di bidang matematika dan iptek. Kursus matematika daring,
misalnya, membuat siswa dapat belajar sesuai kecepatan mereka masing-masing,
dan memberikan informasi bagi pengajar atas perkembangan siswa yang detail.
Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa program pendidikan digital yang
dirancang dengan baik dapat menjadi lebih efektif daripada pembelajaran
dengan tatap muka.
Di era perubahan teknologi yang
cepat ini, tidaklah masuk akal bagi Indonesia untuk menutup diri dari inovasi
pengetahuan global. Kemitraan dengan PTA tidak akan memecahkan seluruh
masalah yang dihadapi oleh pendidikan tinggi di Indonesia, akan tetapi
kemitraan tersebut berpotensi membantu PTL mencapai standar pengajaran dan
riset yang lebih baik dan memperbaiki kualitas lulusan perguruan tinggi di
Indonesia. ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Hk
BalasHapus