Eksploitasi
Privasi Pengguna Medsos
Agus Sudibyo ; Direktur Indonesia New Media Watch
|
KOMPAS,
04 April
2018
Facebook, platform media
sosial terpopuler sejagat, seperti tak pernah putus dirundung prahara.
Skandal mobilisasi akun-akun Facebook palsu oleh Rusia untuk menyebarkan
ribuan ujaran kebencian dan berita bohong dalam pilpres AS tahun 2016 masih
dalam proses penyelidikan, kini muncul skandal tak kalah menggemparkan.
Seorang ”peniup peluit”
(whistle blower) bernama Christopher Wylie mengungkapkan, data pribadi lebih
dari 50 juta pengguna Facebook diam-diam digunakan perusahaan bernama
Cambridge Analytica untuk mendukung kampanye Donald Trump pada pilpres AS di
2016. Cambridge Analytica mengolah data itu untuk memprediksi kecenderungan
politik para pemilih dalam pilpres AS, untuk kemudian menjadikan mereka
sasaran iklan politik yang sesuai.
Kegeraman dan kepanikan
pun terjadi di mana-mana. Tak hanya Pemerintah AS yang kelabakan, tetapi juga
Pemerintah Inggris, Uni Eropa, Israel, India, dan lain-lain. Muncul
kekhawatiran praktik penyalahgunaan data pengguna medsos untuk memobilisasi
opini publik juga terjadi di negara lain. Keluarnya Inggris dari UE
diperkirakan juga tak terlepas dari kejahatan itu. Untuk Indonesia yang
sedang menyongsong tahun politik dan sedang didera histeria hoaks, kejahatan
itu jelas sangat relevan dan kontekstual.
Dalam buku Marx in Age of
Digital Capitalism (2016), Vincent Mosco menjelaskan, mediamedia baru,
seperti medsos, mesin pencari, dan e-commerce telah menciptakan ekosistem
baru yang sangat rawan manipulasi dan kejahatan. Kerawanan setidaknya
disebabkan empat hal: 1) ketidaktahuan pengguna internet akan risiko-risiko
keaktifan mereka di ranah digital; 2) kemampuan perusahaan media digital
mengakses privasi penggunanya nyaris tanpa batas; 3) ketidakmampuan atau
ketidakmauan perusahaan media digital menjamin keamanan data penggunanya; 4)
belum adanya pranata hukum untuk menangani berbagai manipulasi, penyelewengan
dan kejahatan pada aras itu. Dalam konteks ini, menjadi jelas bahwa yang kita
hadapi terkait dengan medsos bukan hanya ujaran kebencian dan hoaks,
melainkan juga campur tangan dan pengendalian atas kehidupan pribadi pengguna
medsos.
Infiltrasi
ranah personal
Para pengguna medsos
umumnya tak menyadari campur tangan
dan pengendalian itu. Mereka terus-menerus mengumbar data pribadi, aktivitas,
sikap politik dan orientasi ideologis di medsos. Kata sosial dalam media
sosial begitu hegemonik sehingga masyarakat umumnya mengira medsos murni
ruang diskusi dan interaksi sosial. Mereka tak sadar medsos juga instrumen pengawasan dan
pengendalian yang sistemik dan eksesif oleh perusahaan-perusahaan media
digital. Dalam kaitan inilah, pada 2015, Shoshanna Zuboff mengenalkan konsep
surveillance capitalism.
Jenis kapitalisme yang
senantiasa mengawasi dan merekam aktivitas pengguna internet untuk
menghasilkan data perilaku (behavioral data) yang akan digunakan untuk
menunjang kepentingan bisnis perusahaan media digital. Melalui penghitungan
algoritma dan penerapan kecerdasan artifisial, perusahaan medsos, e-commerce,
atau mesin pencari mengolah data perilaku pengguna untuk menghasilkan
prediksi pola konsumsi, keputusan, dan interaksi sosial mereka.
Data perilaku ini lalu
bertransformasi menjadi surplus perilaku (behavioral surplus) ketika dikemas
sedemikan rupa dan dijual kepada pelanggan perorangan, organisasi dan
perusahaan yang akan membayar tarif layanan data sesuai permintaan. Surplus
perilaku inilah instrumen utama bisnis perusahaan media digital. Pada tataran
global, surplus perilaku itu secara oligopolis dikuasai sedikit perusahaan,
seperti Google, Facebook, dan Amazon.
Lebih dari itu, yang juga
terjadi menurut Mosco adalah infiltrasi atas ranah personal pengguna
internet. Google diam-diam dapat membaca surat elektronik pengguna layanan
Gmail untuk menentukan iklan apa yang tepat untuk dikirimkan ke pengguna.
Facebook dapat
memanipulasi lini masa penggunanya untuk mendongkrak jumlah waktu yang dihabiskan
setiap orang untuk berselancar di medsos. Data durasi penggunaan medsos
ini kemudian digunakan untuk menarik
minat pengiklan. Facebook juga dapat memasok iklan-iklan daftar impian
(bucket list) kepada penggunanya karena Facebook telah memetakan terlebih
dahulu masalah dan kebutuhan mereka.
Eksploitasi data pengguna
internet juga lazim terjadi pada ranah politik. Tahun 2012, Amazon
menyediakan layanan berbasis analisis big data untuk tim kampanye Barack
Obama. Keberhasilan Amazon mengidentifikasi dan mengarahkan pemilih AS pada
Obama mirip kemampuan Amazon menggiring pengguna internet ke arah iklan
digital tertentu. Keberhasilan itu dianggap sebagai salah satu penyebab
kesuksesan Obama terpilih sebagai presiden untuk kedua kali.
Berkat keberhasilan ini,
Amazon dapat imbalan kontrak 600 juta dollar AS guna menyediakan layanan
cloud dan big data untuk CIA. Menurut Mosco, Amazon bukan hanya sukses
mendominasi bisnis media digital, melainkan juga mendemonstrasikan tendensi
usang kapitalisme: kemampuan menggunakan akses politik demi keuntungan
ekonomi.
Peretasan privasi pengguna
internet secara terus-menerus dan pengawasan atas pengguna internet yang kian
menyeluruh merupakan elemen penting dari model bisnis yang dikembangkan
perusahaan media digital seperti Facebook dan Google. Mereka memaksimalkan
pengolahan dan penggunaan data pengguna internet yang tersimpan dalam server
raksasa mereka, lalu mengemas dan menawarkan data itu kepada klien bisnis dan
politik yang akan membayar layanan data sesuai dengan permintaan.
Pertanggungjawaban
Pertanyaannya, bagaimana
etika penggunaan data pribadi pengguna internet secara sepihak oleh
perusahaan media digital? Apakah perusahaan media digital pernah meminta izin
menggunakan data itu? Atas dasar apa perusahaan media digital merasa
berhak memonetisasi data pribadi
pengguna? Apakah ini bukan manipulasi atau penyalahgunaan?
Dalam konteks inilah
permintaan maaf bos Facebook, Mark Zuckerberg, ke publik AS atas skandal
Cambridge Analytica menarik dicermati. Di satu sisi, dia menyatakan tak
seharusnya data pribadi pengguna Facebook digunakan secara sepihak.
Namun, bukankah selama ini
model bisnis perusahaan medsos memang berdasarkan pada pemanfaatan sepihak
data pengguna? Di satu sisi, dia mengakui adanya kesalahan dan meminta maaf,
tetapi di sisi lain dia secara implisit menyatakan kesalahan bukan pada
Facebook, melainkan Cambridge Analytica.
Ketiadaan hukum yang
mengatur keamanan data pengguna internet memberi efek impunitas bagi
perusahaan media digital. Impunitas juga tecermin dari bagaimana peretasan
data pengguna internet diselesaikan. Kasus peretasan 10 lembaga keuangan di
AS yang berdampak pada keselamatan data 83 juta pelanggan layanan cloud
September 2014, menurut Mosco, menunjukkan Pemerintah AS dan perusahaan media
digital hanya fokus menangani peretasan sebagai murni tindakan kriminal
pelanggaran privasi dan peretasan. Padahal, ada dua perkara di sini. Pertama,
ketakmampuan perusahaan media digital melindungi data pelaku pengguna
internet yang mereka kelola. Kedua, tindakan peretasan oleh individu atau
kelompok.
Namun, yang dianggap
tindakan kriminal perkara kedua saja. Padahal, secara kausalitas, masalah
kedua tak akan terjadi jika masalah pertama tak terjadi. Masalah pertama
semestinya juga kesalahan yang mengandung konsekuensi bagi yang bertanggung
jawab atasnya. Perusahaan media digital merekam data perilaku pengguna
internet dan memanfaatkan tanpa izin untuk keuntungan ekonomi atau politik.
Perusahaan tak merasa
perlu bertanggung jawab meski pengguna internet dirugikan. Peretasan dianggap
semata-mata tanggung jawab peretas. Impunitas perusahaan media digital dalam
kasus ini paralel dengan impunitas perusahaan medsos dalam kasus persebaran
hoaks. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar