Antilingkungan
dan Sungai Citarum
Arisetiarso Soemodinoto ; Pekerja Konservasi pada Wildlife Conservation Society (WCS)
Indonesia Program, Bogor
|
KOMPAS,
10 April
2018
Pernyataan Presiden Jokowi tentang
rencana revitalisasi Sungai Citarum meniupkan angin segar, membawa peluang
menyelesaikan salah satu persoalan lingkungan pelik berskala besar di
Indonesia.
Upaya dan saran telah diberikan:
pengurangan sampah yang langsung dibuang ke sungai di Bandung (Kompas,
15/1/18, hlm 22); penampungan limbah cair rumah tangga yang disarankan
walikota Bandung (regional.kompas.com, 16/1/18); penguatan dan implementasi
regulasi terkait sampah (H Asrul Hoesein, Kompasiana, 16/1/18); menindak
pencemar (Kompas, 18/1/18, hlm 22); dan perlunya kerja bersama para pihak
mengelola S Citarum (Suhardi Suryadi, Kompas, 19/1/18).
Bank Pembangunan Asia atas
permintaan pemerintah Indonesia sudah memberi bantuan teknis dan dana bagi
pengelolaan terpadu S Citarum sejak 2003. Semua ini menunjukkan perhatian
dan dukungan besar revitalisasi S Citarum dari hulu ke hilir.
Sayangnya, aspek perilaku manusia
belum masuk daftar yang juga harus ditangani. Padahal, perilaku manusia
merupakan sumber segala sumber yang membuat kondisi S Citarum seperti
sekarang. Perilaku yang dikenal sebagai antilingkungan ini harus dihadapi dan
saksama ditangani. Sukses mengembalikan S Citarum ke sediakala tentu preseden
sangat baik bagi penyelesaian beragam soal lingkungan skala besar lain yang
telah mendera negeri ini puluhan tahun.
Perilaku antilingkungan
Kollmuss dan Agyeman (2002)
mendefinisikan perilaku prolingkungan sebagai “perilaku yang secara
sadar dilakukan seseorang meminimalkan dampak negatif atas lingkungan alami
dan binaan”. Orang berperilaku pro- lingkungan akan selalu berusaha agar yang
dilakukannya tak menimbulkan atau meningkatkan tekanan atas lingkungan dan
sumber daya alam.
Contoh sederhananya menghemat air bersih, mengguna-ulang
kertas, dan buang sampah di tempatnya. Orang yang berperilaku antilingkungan
berbuat sebaliknya.
Perilaku antilingkungan awalnya di
tingkat individu, tapi bila tiada penghalang seperti kemampuan pengendalian
diri, teguran, atau hukuman konstruktif, ia dengan mudah “menular” dan meluas
memengaruhi banyak orang. Lihatlah pengendara mobil atau motor yang tak
merasa bersalah sedikit pun membuang kertas tisu atau puntung rokok ke jalan.
Semula satu-dua melakukannya. Karena tiada kendali diri pada se- bagian
orang, dan diperburuk ketiadaan penegakan hukum/aturan tegas dan konsisten,
yang melakukan bertambah.
Persoalan jadi rumit ketika
pengaruh perilaku antilingkungan terjadi pada skala yang dialami S Citarum
selama ini. Para pence- mar buang limbah hasil kegiatannya diam-diam meski
mereka jelas tahu perbuatannya bikin sungai cemar dan merugikan banyak orang.
Masih jelas dalam ingatan cerita pada 1980an tentang anak-anak sungai S
Citarum berubah warna dari coklat ke warna-warni pada malam. Banyak pabrik
tekstil masa itu yang tak mengolah limbah cairnya dan buang langsung ke
sungai pada malam agar tak ketahuan.
Saat itu beberapa pabrik biasanya
dilengkapi satu Instalasi Pengolah Air Limbah bersama. Tujuannya, limbah cair
yang dihasilkan pabrik ditampung dan diolah dulu agar memenuhi baku mutu
lingkungan sebelum dibuang. Menurut kabar burung, berwarna-warninya sungai
itu karena mahalnya biaya pengolahan limbah dan tutup matanya para inspektur
lingkungan. Para pencemar yang nakal dan pengawas lingkungan yang menutup
mata menunjukkan perilaku antilingkungan demi untung pribadi (karena
kekuasaan dan kebutuhan).
Kondisi ini diperburuk perilaku
antilingkungan seseorang atau sekelompok orang (baik seizin pemerintah
ataupun tidak) yang mengeksploitasi habis-habisan sumber daya alam di basin S
Citarum demi untung jangka pendek. Perilaku antilingkungan secara kolektif
dapat menjerumuskan sebuah bangsa ke dalam lingkaran setan bencana
lingkungan. Maka, penanganannya harus saksama dan sistematis sejak dini agar
tak jadi sistemik. Pemerintah, pengusaha, dan masyarakat harus bahu-membahu
agar perilaku antilingkungan dihentikan atau dihilangkan. Tak kalah penting,
terutama di negara yang sedang gencar membangun, pemimpin dapat jadi teladan;
dan menunjukkan konsistensi antara kata dan perbuatan merupakan obat manjur
memberantas perilaku antilingkungan.
Prolingkungan/revitalisasi
Di kemarakan perilaku
antilingkungan sekitar kita, kegiatan apa saja yang mendorong perilaku
prolingkungan jadi bagian upaya revitalisasi S Citarum? Dua kegiatan
disarankan.
Pertama, kolaborasi pengelolaan
yang melibatkan para pemangku-kepentingan S Citarum. Tujuannya meredam ego
para- pihak agar mereka mau berbagi peran, wewenang, dan tanggung jawab,
serta bekerja sama untuk mencapai satu tujuan bersama. Suhardi Suryadi
menyarankan perlunya kerja bersama dalam implementasi revitalisasi S Citarum.
Namun, kerja bersama hanya dapat berjalan ketika para- pihak yang terlibat
bersepakat dan saling mengikatkan diri melalui kolaborasi yang aturan serta
insentif dan hukumannya dapat diterapkan resiprokal. Pihak yang tak mematuhi
aturan akan dan harus bersedia dihukum, sementara pihak yang patuh akan dapat
insentif ekonomi jangka panjang sebagai konsekuensi logis membaiknya kondisi
lingkungan yang jadi soal.
Tantangannya mungkin terletak pada
pemerintah sendiri, maukah mereka sepakat dan saling mengikat diri dalam
skema kerja bersama? Rapat koordinasi yang dipimpin Presiden Jokowi tampaknya
telah membuka peluang membangun skema dan mekanisme kerja bersama antara
pemerintah kabupaten dan kota yang berbagi basin S Citarum. Sistem penegakan
hukum/aturan lingkungan yang sudah ada harus diperkuat guna mendukung skema
kerja bersama itu.
Kedua, pelibatan masyarakat dengan
tujuan mendorong adopsi perilaku prolingkungan secara massal. Salah satu
cara: mendorong masyarakat mengendalikan limbah cair dan padat (sampah) yang
dihasilkan rumah tangga mereka. Pemerintah memberi bantuan teknis, sarana dan
prasarana, untuk memastikan semua limbah telah diolah sebelum dibuang. Agar
pengendalian berjalan baik, masyarakat dapat menerapkan skema kerja bersama
secara swadaya yang dikombinasikan dengan kepatuhan terhadap hukum/aturan dan
dibarengi insentif sosial dan ekonomi yang tepat.
Jangan dilupakan kampanye
terus-menerus pemerintah dan LSM memengaruhi dan mendorong perubahan perilaku
positif pada masyarakat. Pelibatan aktif masyarakat melalui praktik
reduce-recycle-reuse (3R) sangat disarankan. Upaya revitalisasi S Citarum
akan menghadapi banyak tantangan dan perlu waktu panjang. Belajar dari
revitalisasi S Danube di Eropa, yang perlu 15 tahun menyepakati rencana
bersama pengelolaan basin sungai secara terpadu, maka komitmen, konsistensi,
dan kebugaran jangka panjang amat diperlukan. Siapa pun presiden, gubernur,
bupati, presiden direktur, manajer, dst yang menjabat, revitalisasi S Citarum
tak boleh berhenti di tengah jalan. Revitalisasi S Danube masih berjalan
sampai hari ini melibatkan 14 dari 19 negara yang saling berbagi basin sungai
itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar