Anak-Anak
Penggenggam Masa Depan Gemilang
Seto Mulyadi ; Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI);
Dosen Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma
|
MEDIA
INDONESIA, 09 April 2018
APRESIASI
tinggi pantas dianugerahkan kepada sejumlah pelajar Indonesia yang menjadi
juara di berbagai ajang kompetisi ilmu pengetahuan internasional.
Mereka,
sedikit banyak, mampu mempertahankan gelora dalam hati yang kadang-kadang terasa
meredup seiring dengan bertambahnya usia bangsa ini.
Namun,
apa betul dari sekian banyak prestasi anak-anak Indonesia yang cemerlang ini
tidak akan banyak pengaruhnya bagi tertolaknya ramalan Indonesia raib pada
2030? Para pelajar berprestasi ini justru menumbuhkan harapan baru bahwa
merekalah kelak yang akan membawa Indonesia ke titik kehidupan yang lebih
gemilang.
Sebuah
anekdot menyebut Indonesia sebagai negara yang paling 'siap' memasuki era
globalisasi. Betapa tidak? Saat di Thailand baru mulai mewabah flu burung,
Indonesia segera masuk deretan negara dengan tingkat epidemi yang serius.
Ketika di Afrika mulai berkembang modus pencucian uang, Indonesia langsung
membuka diri untuk dijadikan sebagai negara yang 'aman' bagi praktik
kejahatan semacam itu. Atau, ketika di sejumlah negara meruyak gerombolan
teroris, Indonesia tak mau ketinggalan dengan membiarkan sebagian warga
seolah menjadi objek eksploitasi propaganda sesat. Begitu pula saat
homoseksualitas menjadi pilihan hidup di banyak negara, di sini seolah
ikut-ikutan berkampanye pergerakan untuk memosisikan homoseksualitas sebagai
orientasi dan perilaku seksual yang normal.
Berbagai
teori psikologi perkembangan tegas menyatakan bahwa usia anak ialah periode
keemasan. Rumah, sekolah, dan masyarakat menjadi tiga medan strategis untuk
pembentukan fondasi fisik, psikis, sosial, dan spiritual yang dibutuhkan
seluruh individu. Konsekuensinya, dibutuhkan tiga pilar yang harus selalu ada
di setiap rumah, sekolah, dan masyarakat sebagai bagian integral dalam setiap
pola asuh dan pola pendidikan.
Pertama,
kompetensi: perbendaharaan serta perkembangan pengetahuan, nilai, sikap, dan
keahlian yang dibutuhkan untuk menjadi insan bermanfaat dalam lingkungan
tertentu. Kedua, karakter: kualitas moral dalam arah putusan dan orientasi
hidup individu. Ketiga, ini yang tidak kalah penting: visi. Visi merupakan
identifikasi tentang 'aku menjadi apa kelak', termasuk perumusan misi hidup
serta gaya hidup yang diinginkan. Visi memuat gambaran tentang diri individu
pada masa depan, yang tidak ada kompromi harus lebih baik daripada masa kini.
Saya
yakin sifat sporadis dan tak terintegrasi yang hingga saat ini ada dalam
rumusan penyelesaian masalah bangsa sering berakar dari belum cukup kukuhnya
visi tentang 'menjadi orang Indonesia' di sanubari setiap individu.
Kembali
ke asumsi usia anak sebagai masa paling menentukan, dapat dinalar bahwa tidak
terbiasanya anak membangun visi menjadi sumber kesulitan saat individu dewasa
untuk melakukan hal yang sama saat mereka harus menyelesaikan berbagai
problematika bangsa.
Ringkasnya,
kita tidak tahu secara tepat 'posisi diri' yang ingin dituju. Andai pun ada,
terbentur pada dua realitas. Pertama, visi-visi yang bertebaran sebatas
berkaitan dengan diri sendiri, kerabat sendiri, organisasi sendiri, dan
ikatan-ikatan primordial sendiri. Namun, visi Indonesia sering tidak jelas.
Kedua,
visi tidak terjabarkan ke indikator nyata yang menjadi tolok ukur berhasil
tidaknya individu tersebut mewujudkan visinya. Sebagai contoh, harapan orangtua
akan anak menjadi manusia yang saleh dan memberikan nilai tambah bagi
masyarakat. Makna visi tersebut tidak terjabarkan sehingga hanya sebatas
retorika. Padahal, untuk menjadi 'saleh dan memberi nilai tambah', mereka
membutuhkan berbagai kompetensi pendukung.
Akibatnya,
harapan dan kenyataan sering menjadi bertolak belakang.
Nilai
penting visi juga dapat dicermati dalam konteks organisasi. Dalam proses
penilaian terhadap para kandidat pemangku jabatan strategis, saya sering
memperhatikan ketajaman serta kesebangunan antara visi pribadi seorang
kandidat dan visi organisasi serta berbagai kemungkinan yang dapat dilakukan
kandidat untuk mempertajam visi organisasi pada waktu mendatang. Hilangnya
'ketajaman dan kesebangunan' ini mengindikasikan banyak hal, termasuk
kecerdasan pribadi dan kecerdasan yang bersangkutan. Begitu pula dalam
tataran kebangsaan.
Ketiadaan
'visi keindonesiaan mengakibatkan kompetensi yang dimiliki tiap warga tidak
tersatupadukan. Pada saat yang sama, absennya visi menyebabkan setiap orang
tidak menemukan titik kepentingan untuk mempertemukan keberagaman karakter
mereka. Visi yang mantap terbentuk sebagai hasil peleburan pemikiran yang
jernih dan suasana batiniah yang sehat.
Pengejawantahan
visi merupakan aksi yang nyata dan pantas. Visi, dengan demikian, menjadi
kunci kebersatuan Indonesia. "Kita sering bingung memikirkan anak-anak
akan menjadi apa kelak. Namun, hal ini menunjukkan bahwa kita justru abai
bahwa mereka ialah individu yang berarti pada hari ini," kata Stacia
Tauscher.
Unicef
pada Desember 2005 meneliti kondisi anak-anak korban tsunami di beberapa
negara. Sejumlah kutipan langsung berikut ini ialah jawaban mereka. Di India,
anak-anak berseru, "Kami ingin bekerja gigih, belajar tekun. Namun,
kadang kami waswas, dapatkah kami menuntut ilmu lebih tinggi lagi?"
Anak
lain India berkata, "Kami ingin bekerja secara layak agar bisa
mendapatkan kembali barang-barang kami yang hilang." Jawaban anak-anak
di Thailand, "Kami hanya ingin wisatawan kembali ke sini."
Bocah-bocah di Sri Lanka menyatakan, "Aku ingin ayahku bisa mendapatkan
peralatan sehingga mereka dapat kembali bekerja."
Berbeda
pilihan kata, tetapi ada benang merah: mereka ialah anak-anak visioner yang
percaya perbaikan nasib ditentukan diri sendiri.
Membangun visi anak Indonesia
Bagaimana
dengan anak Indonesia? Suluh Indonesia Muda pada 1928 memuat tulisan Bung
Karno yang bertajuk Melihat ke Muka!. Sebagaimana karya-karya lain Bung
Karno, Melihat ke Muka! menyajikan kaca benggala yang sungguh tak lekang oleh
zaman. Cahayanya kian benderang terlebih saat hari-hari belakangan ini publik
di Tanah Air bergairah membicarakan kapan jam pasir Indonesia akan berakhir.
Kata
Bung Karno, "Kita pertama-tama haruslah mengabdi pada roh dan zemangat
itu." Tandasnya, "Roh muda dan semangat muda, yang harus menyerapi
dan mewahyui segenap kita punya tindakan dan segenap kita punya
perbuatan."
Berabad-abad
hidup menjadi sapi perahan penjajah, kepercayaan atas diri-sendiri itu hampir
binasa. Namun, Bung Karno yakin dan meyakinkan pembaca lewat goresan penanya,
bahwa sedahsyat apa pun kekuatan yang ingin melumat Indonesia, niscaya itu
tidak akan berdaya selama di dalam diri kita tumbuh roh muda dan semangat
muda itu. 'Sang Bapak Bangsa' membuka selembar halaman sejarah sebagai ilustrasi
nyata, "Dapatkah ditahan kekuatannya gelombang keislaman, sesudah roh
dan semangat keislaman itu tertanam dan hidup?" Roh dan semangat itulah
yang--tak ada kata kompromi--harus senantiasa dijaga nyalanya. Anak-anak
Indonesia--tak bisa ditawar-tawar lagi--mesti senantiasa didukung sekuat
tenaga. Mereka patut menggenggam kuat kepercayaan bahwa Indonesia telah
keluar sebagai pemenang dari masa lalu yang kelam.
Indonesia
juga tidak akan terintimidasi oleh proyeksi seram apa pun tentang masa depan.
Tsunami bisa meluluhlantakkan bumi, gempa bisa meremukkan semua yang
dicintai, dan api dapat menghanguskan apa pun yang berharga. Namun, itu semua
belum apa-apa. Andai jawaban anak-anak Indonesia yang dikenal sebagai sosok
polos dan jujur itu tidak memperlihatkan adanya visi dan derajat keberdayaan
diri yang optimal, inilah malapetaka yang sesungguhnya.
Sebaliknya,
betapa pun permukaan bumi porak-poranda digilas bencana alam, tapi selama
anak-anak kita tetap memiliki visi tentang Indonesia kelak di kemudian hari, negeri
ini akan tetap tegak perkasa di kolong langit. Kitalah, para orang dewasa,
yang justru harus memiliki semangat tinggi untuk senantiasa menghidupkan visi
anak-anak Indonesia itu.
Mari
mulai sekarang juga, tatap mata mereka, sentuhlah hati mereka dengan kekuatan
cinta, dan tepuklah bahu mereka dengan bisikan lembut, "Nak, engkaulah
penggenggam masa depan gemilang negeri ini. Terus maju dan jangan mundur
setapak pun!" ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar