UUMD3
dan Problem Legislasi
Zainal Arifin Mochtar ; Pengajar Ilmu Hukum dan
Ketua Dewan Direksi Pukat Korupsi
FH UGM
|
KOMPAS,
28 Februari
2018
Revisi terhadap
Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) mendatangkan kontroversi cukup
hangat. Bagaimana mungkin pembentuk UU
kembali memperlihatkan hasil dari proses legislasi yang cenderung
mengangkangi hak rakyat dan menci- derai demokrasi?
Setidaknya, ada tiga pasal
utama yang jadi perdebatan publik.
Pertama, Pasal 73 Ayat
(3), (4) dan (5) yang meneguhkan
kewajiban bagi Kepolisian melakukan tindakan panggil paksa bagi pihak yang
tak hadir setelah dipanggil tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang patut
dan sah, bahkan dilengkapi kemungkinan menyandera hingga 30 hari.
Kedua, Pasal 122 huruf k
soal kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan mengambil langkah hukum dan/atau
langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum
yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Ketiga, Pasal 245 tentang
pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan
terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari presiden setelah mendapat pertimbangan
dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
Kita semua paham pasal
kontroversial ini. Pasal-pasal ini menunjukkan arogansi kekuasaan di hadapan
publik. Bahwa, kekuasaan adalah segalanya. Apalagi, dibuat dengan konstruksi
pasal “karet”. Hal yang membuat DPR bisa dapat kewenangan luar biasa
melakukan panggil paksa, penyanderaan, pelaporan atas kritik terhadap DPR
hingga memperpanjang birokratisasi pemanggilan terhadap anggota DPR.
Pasal-pasal yang sedang mencoba menunjukkan supremasi parlemen, pada saat
yang sama memperlihatkan proteksi kuat.
Perihal panggil paksa
bukan pada tempatnya proses peradilan dan penegakan hukum masuk pada konsep
parlemen. Apalagi, upaya besar ini hanya disematkan dalam sistem perlementer
dan itu pun dalam konsep lama yang sudah tak tergunakan seiring penguatan hak
asasi dan demokrasi. Termasuk kemungkinan pelaporan atas kritik.
Pasal sejenis biasanya
digunakan untuk proteksi terhadap kemungkinan orang melakukan penyuapan pada
anggota parlemen, karena seseorang itu sedang menghina anggota parlemen jika
mencoba menyuap. Oleh karena itu, seiring berkembangnya aturan antikorupsi
dan penyuapan, pasal itu sudah amat jarang digunakan. Begitu pula soal
pemanggilan anggota DPR yang sudah pernah diputuskan oleh MK, namun kemudian
dicoba dihidupkan lagi oleh DPR dengan konsep pertimbangan. Hal ini seakan
makin meneguhkan jika kita sedang berjalan menuju ke arah penguatan perlemen.
Kesalahan
Legislasi Presiden
Akan tetapi, kesalahan tak
serta-merta bisa dilimpahkan sepenuhnya ke DPR. Separuh kesalahan harus kita
alamatkan kepada presiden. Mengapa? Karena dalam sistem legislasi di
Indonesia, separuh kekuasaan legislasi itu milik presiden, meski Pasal 20
Ayat (1) UUD memberikan kuasa legislasi kepada DPR. Pasal 20 Ayat (2)
memberikan kewajiban bagi setiap RUU untuk dibahas dan disetujui secara
bersama dengan pemerintah. Inilah yang membuat menguatnya kekuatan legislasi
pemerintah, karena setiap UU hanya bisa dikeluarkan tatkala mendapatkan
pembahasan bersama dan persetujuan bersama pemerintah.
Dengan model ini, apa yang
terjadi di UU MD3 tentu saja adalah hasil pembahasan bersama serta
persetujuan bersama antara DPR dan pemerintah. Artinya isinya adalah
kesepakatan bersama presiden dan pemerintah. Dan inilah yang mengherankan di
balik pernyataan Jokowi dan menteri hukum dan HAM yang kurang lebih
mengatakan bahwa ada banyak masalah di UU MD3 dan mempersilakan publik untuk
bersama-sama melakukan uji materi ke MK.
Apalagi ini ditunjukkan
dengan sikap semacam veto dengan tak akan menandatangani RUU MD3, sehingga
RUU ini menjadi UU dengan sendirinya tanpa tanda tangan (pengesahan) presiden
melalui mekanisme 30 hari sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Ayat (5) UUD
1945.
Ini memang problem serius
yang dilematis bagi Presiden Jokowi. Bagaimana mungkin sesuatu yang ia bahas
bersama dan setujui bersama tetapi ia menolak menandatanganinya? Tidak pasnya
lagi, ada mekanisme menjadi UU dengan sendirinya. Sehingga, langkah Presiden
hanya semacam sikap “veto malu-malu”, karena tidak punya implikasi apa-apa
terhadap posisi Presiden atas UU tersebut.
Pernyataan tersebut
sesungguhnya lahir dari beberapa kemungkinan. Pertama, Presiden dan Menteri
Hukum dan HAM sedang bermain “sandiwara politik” seolah membela aspirasi
publik, padahal sebenarnya telah menyetujui dan berdiri bersama parpol di DPR
terkait pasal-pasal yang mengangkangi rakyat tersebut. Kedua, Presiden tidak
tahu sama sekali dan ini diakibatkan tidak padunya koordinasi antara Presiden
dan para menteri yang mewakili Presiden dalam pembahasan dan persetujuan bersama
dengan DPR.
Kejadian serupa pernah
terjadi di masa kepemimpinan Presiden Yudhoyono yang mengoreksi UU tentang
pilkada melalui DPRD lewat sikap tak menandatangani, bahkan kemudian
mengeluarkan perppu yang membatalkan pasal tersebut dan mengembalikan proses
pilkada ke pemilihan secara langsung.
Kejadian berulang ini
sesungguhya menunjukkan bahwa Presiden sangat mungkin bermain politik dalam
menghadapi publik atau hanya oleh karena kurang padunya proses legislasi di
tubuh Pemerintahan.
Perbaikan
legislasi
Dengan dua asumsi di atas,
antara “sandiwara politik” dan “kelemahan legislasi”, tentu ada hal yang
harus diperbaiki dengan detail. Jika ini hanya “sandiwara politik”, tentu
sangat disayangkan, karena rakyat hanya dapat remahan dari kepentingan politik.
Tetapi jika ini disebabkan oleh hal yang kedua, maka tentu saja ada yang
harus diperbaiki.
Hal yang harus dilihat
bahwa konsepsi legislasi di Indonesia, khususnya pada tahapan di pemerintah,
memang terlalu lemah. Pertama, setiap surat presiden (surpres) dikeluarkan
hanya menjadi petunjuk sederhana tentang UU yang hendak diubah dan siapa yang
akan menjadi wakil presiden dalam melakukan pembahasan dan persetujuan UU
bersama DPR. Tak ada politik hukum utama presiden yang ingin diamanatkan di
UU itu.
Harusnya, presiden sudah
menunjukkan poin politik hukumnya dan menjadi garis posisi presiden dalam
pembahasan dengan DPR. Menteri kemudian tidak bertindak sendiri dalam proses
legislasi. Maka, tatkala ada pembahasan terhadap posisi politik hukum yang
sudah digariskan oleh presiden, ketika tahapan pembahasan di DPR ingin keluar
dari garis kebijakan presiden di dalam surpres, menteri sebaiknya tidak
keluar dari pembahasan tersebut sebelum melaporkan ke presiden soal adanya
permintaan dalam pembahasan DPR yang berimplikasi pada perubahan politik
hukum presiden.
Kedua, tatkala menuju ke
tahapan persetujuan, menteri tak boleh bertindak begitu saja dalam mewakili
presiden untuk persetujuan bersama. Menteri yang mewakili haruslah balik dan
menghadap ke presiden guna melaporkan draf RUU terakhir yang akan dimintakan
persetujuan bersama. Setelah presiden setuju dengan draf terakhir maka dia
menyerahkan ke menteri untuk melanjutkan ke tahapan persetujuan. Sebaliknya,
jika presiden tak setuju dengan draf terakhir, maka hal itu harus dijadikan
landasan menteri untuk tidak melanjutkan ke proses persetujuan bersama.
Dengan begitu, kontrol presiden atas legislasi masih ada dan tidak ada
kebijakan politik UU bukan oleh presiden tetapi oleh menteri.
Keadaan menjadi dilematis
bagi Presiden Jokowi. Mengatakan “sandiwara politik” tentu tak menarik di era
kontestasi pemilu langsung karena bisa menggerus kepercayaan publik. Pada
saat yang sama jika mengatakan ada problem di kitaran proses legislasi maka
pilihannya adalah memperbaiki tahapan legislasi presiden, dan pada saat yang
sama mendorong perbaikan legislasi, semisal dengan perppu.
Namun, pilihan perppu pun
akan dilematis karena kian memperlihatkan bahwa ada masalah dalam proses
legislasi pemerintah. Apalagi, dengan memaksa perppu akan membuat posisi
presiden akan kian berhadap-hadapan dengan parpol di DPR, khususnya saat
pembahasan perppu menjadi UU. Tak mengherankan jika presiden kemudian memilih
langkah “aman”, melalui uji materi di MK.
Presiden seakan berharap tangan MK untuk melakukan koreksi terhadap UU
yang terlahir dalam problem legislasi yang berada di ranah pemerintah.
Akan tetapi, jika mau
jujur dan melakukan perbaikan menyeluruh, juga harus dipikirkan perbaikan
konstruksi legislasi dalam UUD 1945. Dalam riset yang saya lakukan bersama
Saldi Isra (2009), hampir seluruh negara yang menggunakan sistem presidensial
tak mengikutkan presiden dalam pembahasan dan persetujuan UU dengan DPR.
Presiden hanyalah menunggu dengan konsep veto dalam menandatangani suatu RUU.
Ini yang dalam disertasi Saldi Isra (2010) disebut sebagai praktik model
legislasi parlementer dalam model legislasi presidensial Indonesia. Fajrul
Falaakh (2003) menyebutnya “parlementarisme lewat pintu belakang”. Presiden
dan DPR sebaiknya mempertanggungjawabkan UU MD3. Jika perppu menjadi berat
secara politik, maka uji materi memang menjadi jalan terakhirnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar