Mengakhiri
Diskriminasi Aturan Tanah di DIY
Enrico Simanjuntak ; Program Doktor Hukum UI
|
MEDIA
INDONESIA, 28 Februari 2018
KENDATI sejak 1 April 1984
melalui Keppres No 33/1984 Provinsi DIY sepenuhnya memberlakukan UU No 5/1960
tentang Pokok Agraria, tampaknya unifikasi hukum tanah nasional belum
sepenuhnya berhasil. Bagaimana tidak? Editorial Media Indonesia Sabtu, 25
Februari 2018, 'Cabut Diskriminasi soal Tanah di DIY' selain mengisyaratkan
aturan pendaftaran tanah yang intoleran-diskriminatif, sekaligus
merefleksikan sisi lain lemahnya koordinasi antarinstansi pusat dan daerah
dalam mengurus dan mengelola bidang pendaftaran tanah.
Pertanyaan mendasar,
meskipun instruksi wakil kepala daerah yang dipersoalkan ini bukan termasuk
dalam kategori peraturan perundang-undangan, bagaimana bisa instansi lain
terikat instruksi itu sehingga praktik diskriminasi berlangsung sekian lama
seakan hukum tanah di DIY berbeda dengan hukum tanah nasional? Beban tanggung
jawab bukan hanya berada di Pemprov DIY, tetapi termasuk di kementerian yang
mengurusi pertanahan/agraria.
Instruksi Wakil Kepala
Daerah DIY No K.898/I/A/1975 tanggal 5 Maret 1975 tentang Penyeragaman Policy
Pemberian Hak atas Tanah kepada Seorang WNI Nonpribumi pada pokoknya berisi
kebijakan agar WNI nonpribumi yang apabila membeli tanah milik rakyat,
terlebih dahulu harus melalui pelepasan hak. Setelah tanah itu kembali
menjadi tanah negara yang dikuasai langsung Pemerintah DIY, barulah yang
berkepentingan mengajukan permohonan kepada Kepala DIY untuk mendapatkan
sesuatu hak, yang biasanya akan diberi HGU atau HGB.
Intinya berdasarkan
instruksi itu WNI nonpribumi tidak diperbolehkan mempunyai hak milik atas
tanah. Instruksi itu mengandung dua masalah mendasar, bertentangan dengan
konstitusi negara, juga bertentangan dengan peraturan pokok di bidang agraria
(UU No 5/1960).
UUPA (Undang-Undang Pokok
Agraria) tidak membedakan WNI pribumi dan nonpribumi untuk mempunyai hak
milik. UUPA hanya mengenal istilah WNI. Selain itu, istilah WNI nonpribumi
dan rakyat ialah konsep yang ambigu dan mengandung kontroversi. Dalam tataran
praktis, defensi WNI pribumi dan nonpribumi rentan menimbulkan ketidakpastian
hukum dan diskriminasi ras. Syarat presiden harus orang Indonesia asli saja
sudah dicabut, diganti natural born-citizen, dalam amendemen UUD 1945.
Kewenangan
Pemerintah DIY
Kendati kewenangan Pemprov
DIY di bidang pertanahan telah ditentukan secara limitatif dalam (Peraturan
Daerah Istimewa) Perdais No 1/2013 tentang Kewenangan dalam Urusan
Keistimewaan DIY, dengan berdasarkan Pasal 45 Perdais itu ditegaskan,
kewenangan pertanahan (hanya) meliputi antara lain (a) izin lokasi, (b)
pengadaan tanah untuk kepentingan umum, (c) penyelesaian sengketa tanah
garapan, dan (d) penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk
pembangunan.
Namun, tampaknya ketentuan
ini perlu lebih diharmonisasikan dengan instansi pusat yang berwenang dalam
urusan agraria. Uraian kewenangan di atas sebenarnya tidaklah mengandung
keistimewaan khusus karena pada dasarnya kewenangan itu sama dengan
kewenangan pemerintah kabupaten/kota yang ditentukan Keppres No 34/2003
tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.
Memaknai instruksi wakil
kepala daerah yang dipersoalkan berbagai pihak itu sebagai manifestasi
keistimewaan pengelolaan pertanahan di DIY ialah kekeliruan. Pandangan
seperti ini mungkin bagian dari sinkronisasi kewenangan pertanahan yang belum
selesai antara kewenangan pusat dan daerah dalam perspektif otda dan otonomi
khusus.
Oleh karena itu, untuk
menghindari tumpang-tindih, longgarnya koordinasi yang menimbulkan
ketidakpastian hukum, kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah di bidang
pertanahan perlu terus diperjelas batasnya.
Terlebih dalam konteks
keistimewaan DIY, dengan asal usul sejarah, dualisme kedudukan kepala daerah
sekaligus kepala pemerintahan monarki tradisional (kesultanan dan kadipaten)
yang masih memiliki kewenangan pengelolaan dan pemanfaatan tanah kesultanan
yang dikenal sebagai sultan ground dan tanah kadipaten dan pakualamanan
ground.
Alternatif
upaya hukum
Dalam perspektif hukum
administrasi atau hukum tata negara, kebijakan hukum yang dituangkan para
pejabat administrasi dalam bentuk instruksi merupakan implementasi kewenangan
diskresioner. Produk hukum semacam ini dikenal sebagai beleidsregel (aturan
kebijakan).
Upaya hukum yang ditujukan
untuk membatalkan atau mencabut instruksi wakil kepala daerah telah dilakukan
melalui berbagai forum. Sayangnya, karena terbentur syarat formal menyangkut
kriteria objek sengketa, upaya judicial review ke MA (Putusan No 13
P/HUM/2015), gugatan sengketa TUN yang berujung putusan kasasi MA (Putusan No
179/K/TUN/2017), dan terakhir ke putusan PN Yogyakarta belum membuahkan hasil
sebagaimana diharapkan Handoko dkk.
Sejak terbitnya UU
Administrasi Pemerintahan Tahun 2014, secara teoretis instruksi menjadi salah
satu keputusan administrasi pemerintahan yang dapat diuji di PTUN, tetapi
dalam konteks instruksi wakil kepala daerah yang dibuat 1975, UUAP tidak
dapat diterapkan secara mundur untuk pengujian Instruksi itu.
Lantas, apakah sistem
hukum yang ada tidak menyediakan ruang sama sekali untuk pengujian produk
hukum seperti ini? Alternatifnya dapat menggunakan beberapa jalur
penyelesaian. Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria & Tata Ruang/Kepala
BPN No 11/2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan, dapat terlebih dahulu
mengacu mekanisme peraturan itu. Baik melalui pengaduan atau inisiatif dari
kantor pertanahan sendiri.
Jika masih belum berhasil,
langkah selanjutnya membawa ke meja hijau sikap penolakan pendaftaran tanah
oleh kantor pertanahan dikaitkan instruksi wakil kepala daerah yang dijadikan
alasan penolakan. Artinya yang digugat jangan instruksi wakil kepala daerah,
tetapi sikap BPN yang mengacu kepada instruksi wakil kepala daerah itu yang
akan diuji. Badan peradilan yang berwenang menentukan apakah sikap Kantor
Pertanahan itu malaadministrasi atau tidak.
Oleh karena itu, meskipun
sebenarnya tidak memiliki kekuatan mengikat, demi kepastian hukum, sebaiknya
aturan yang tidak jelas rujukannya dalam hukum tanah nasional ini dicabut
melalui mekanisme executive review oleh Pemprov DIY agar tidak terjadi lagi
ketidakpastian hukum dan diskriminasi kepada etnik tertentu.
Dengan demikian, setiap
produk hukum di Provinsi DIY dapat terwujud seperti digariskan Perdais No
1/2013 yang menghendaki agar secara substansial, keistimewaan DIY harus dapat
ditunjukkan dengan kekuatan-kekuatan nilai masa lalu, masa kini dan masa
datang DIY.
Dengan demikian, secara
yuridis Perdais memiliki kapasitas 'mengembalikan', 'menguatkan', dan
'mengarahkan' keistimewaan DIY. Keistimewaan bukan suatu nilai yang absolut,
terminal atau selesai. Keistimewaan harus diletakkan dan digerakkan dalam
dialog ruang dan waktu kehidupan. Keistimewaan harus mampu menyapa dan disapa
nilai-nilai baru sekaligus teguh dan konsisten berpegang pada nilai-nilai
kemarin yang memberikan kekuatan bertahan bagi DIY dalam 'keistimewaannya'
menyusuri lorong sejarah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar