Tantangan
Gubernur Baru BI
Paul Sutaryono ; Pengamat Perbankan dan Mantan Assistant Vice President BNI
|
KOMPAS,
03 Maret
2018
Gubernur Bank Indonesia
(BI) Agus DW Martowardoyo segera
mengakhiri masa jabatannya pada Mei
2018. Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardoyo segera mengakhiri masa jabatannya pada Mei 2018. Muncul empat nama calon gubernur
BI, yakni Agus DW Martowardoyo, Perry Warjiyo, Muhammad Chatib Basri dan
Bambang Brodjonegoro, namun kemudian
mengerucut menjadi satu nama, yaitu
Perry Warjiyo. Apa saja tantangan Gubernur baru?
Pertumbuhan ekonomi pada
2018, menurut BI, berada pada kisaran 5,1-5,5 persen, terutama didorong
permintaan domestik. Inflasi diperkirakan pada kisaran 3,5 persen plus minus
1 persen. Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) dan kredit perbankan
masing-masing diperkirakan 9-11 persen dan 10-12 persen. Defisit transaksi
berjalan meski diperkirakan sedikit naik,
tetap di bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Aneka
tantangan
Terdapat tantangan
eksternal dan internal. Pertama, satu tantangan eksternal adalah rencana bank
sentral AS (The Fed) menaikkan suku
bunga acuan (The Fed Fund Rate/FRR) sebanyak tiga kali pada 2018. Namun, pada
akhir Januari 2018, The Fed mempertahankan FRR pada level 1,25-1,5 persen.
Untuk itu, BI harus
mengantisipasi perubahan FRR yang dapat memengaruhi suku bunga acuan BI 7 Day
Reverse Repo Rate (BI 7 DRRR). Hal itu dapat melahirkan dilema. Ketika FFR naik
tiga kali, kemungkinan besar BI 7 DRRR tak akan mampu bertahan. Hal itu bisa
memperderas larinya dana asing sehingga melemahkan kurs rupiah. Di sisi lain,
BI ingin meluluskan target pemerintah
mencapai bunga kredit satu
digit (single digit).
Ketika BI 7 DRRR semakin
mini, menyentuh 4,25 persen, sudah
semestinya kucuran kredit akan makin deras lantaran suku bunga kredit sudah
mulai turun. Tetapi kenyataannya tidak. Statistik Perbankan Indonesia yang
diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 18 Januari 2018 menunjukkan
kredit hanya tumbuh 7,52 persen selama setahun, dari Rp 4.110 triliun per
November 2016 menjadi Rp 4.419 triliun per November 2017.
Tentu saja, ini tantangan
bagi BI untuk terus mendorong bank supaya memperderas penyaluran kredit. Salah
satu jurus moneter yang dapat dimainkan BI adalah dengan menurunkan giro
wajib minimum (GWM) setelah meluncurkan GWM rata-rata. Jurus itu akan
memberikan ruang likuiditas lebih leluasa bagi bank untuk menyalurkan kredit.
GWM merupakan dana yang wajib dipelihara bank di bank sentral dalam bentuk
rekening giro dalam jumlah tertentu.
Celakanya, sektor riil
masih suka wait and see hasil pilkada 171 daerah pada 2018. Kondisi mandek
demikian akan membuat produksi tidak optimal ditambah dengan konsumsi rumah tangga
yang hanya tumbuh 4,95 persen pada 2017 menipis dari 5,01 persen pada 2016.
Namun sektor konsumsi rumah tangga tetap dominan dalam menyuburkan
pertumbuhan ekonomi mengingat kontribusinya paling tinggi, 56,13 persen
terhadap PDB, dibandingkan dengan sektor lain. Sektor investasi dan ekspor
masing-masing tumbuh lebih subur 6,15
dan 6,93 persen tetapi dengan kontribusi lebih rendah.
Adalah tugas pemerintah
untuk menggenjot sektor konsumsi rumah tangga dengan memperbanyak program
padat karya tunai (cash for work) dan padat karya desa. Bank pun
dituntut memainkan peran lebih garang
lagi dengan menyalurkan kredit ke sektor yang menyerap banyak tenaga kerja.
Coba cermati, sektor pertanian mampu menyerap 31,86 persen, perdagangan 23,37
persen dan manufaktur 20,49 persen tenaga kerja. Ketiga sektor itu sanggup
menyerap 75,72 persen dari seluruh tenaga kerja pada 2017 (BPS).
Selain itu, sektor swasta
dapat mendorongnya dengan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) melalui
program padat karya juga. Sebut saja, memugar sekolah, tempat ibadah,
jembatan di perdesaan dan rumah masyarakat tingkat bawah. Aktivitas itu
diharapkan mempekerjakan banyak tenaga
kerja. Upaya ini dapat membantu pemerintah
mendongkrak konsumsi rumah
tangga. Makin tinggi penyerapan tenaga kerja
makin tinggi pula menekan angka
kemiskinan yang mencapai 10,12 persen atau 26,58 juta orang per September
2017.
Kedua, sekalipun segregasi
wewenang dan tugas antara BI dan OJK sudah terang benderang, kedua pendekar itu tetap wajib saling koordinasi. BI dan OJK masing-masing
menangani kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial. Liriklah koordinasi
pengawasan antara Bank of Japan (BoJ) dan OJK Jepang (Financial Services
Authority/FSA). Dalam kondisi tertentu, BoJ dapat mengundang FSA untuk membahas
masalah krusial yang terjadi atau sebaliknya. Koordinasi seperti itu dapat
menjadi contoh bagi kedua pendekar nasional itu.
Ketiga, perusahaan
teknologi finansial (tekfin) ternyata memberi hikmah tersendiri. Lahirnya
perusahaan tekfin menjadi salah satu alternatif sumber pembiayaan bagi pelaku
usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang selama ini kurang dapat
menjangkau akses perbankan nasional. Karena itu, baik BI maupun OJK wajib
mengawal pertumbuhan perusahaan tekfin yang begitu pesat. Jumlah pinjaman
mengorbit ke angkasa 802,32 persen dari Rp 02,8 triliun per 2016 menjadi Rp
2,56 triliun per 2017. Jumlah kreditor atau investor terbang tinggi 602,73
persen dari 14.364 orang menjadi 100.940 orang. Jumlah debitor melesat 581,37
persen dari 38.105 orang menjadi 256.635 orang pada periode yang sama
(Kontan, 6/2/2018).
Pun kedua otoritas itu
hendaknya menetapkan aturan dan memberi kesempatan luas kepada perusahaan tekfin untuk kian berkembang. Sarinya, perusahaan tekfin
perlu diatur tetapi tak dibatasi untuk terus tumbuh dan berkembang.
Ingat, setiap aturan harus
memprioritaskan perlindungan baik debitur maupun investor yang menitipkan
dananya ke perusaaan tekfin.
Uang
virtual
Keempat, uang virtual
seperti bitcoin perlu menjadi perhatian penuh. Selama ini BI sudah melarang
bitcoin sebagai alat pembayaran. Demikian pula OJK. Sebaliknya, Badan
Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) sedang mempertimbangkan
bitcoin dalam daftar subjek kontrak berjangka di Indonesia yang diperkirakan
akan tuntas pada Juli 2018.
Untuk melindungi
kepentingan konsumen, sudah sepatutnya otoritas— baik pemerintah dalam hal
ini Kementerian Keuangan, BI, OJK maupun Bappebti— duduk bersama memutuskan nasib uang virtual. Hal ini
penting dan mendesak supaya uang virtual itu tak menjadi bola salju yang
terus menggelinding makin membesar. Dengan bahasa lebih bening, investor yang
mengharapkan untung tinggi bisa jadi akan buntung pada akhirnya. Mengapa?
Lantaran sejatinya uang virtual juga menyimpan aneka potensi risiko (inherent
potential risks).
Cepat atau lambat potensi
risiko akan muncul di permukaan karena tidak ada otoritas yang bertanggung
jawab seperti halnya mata uang resmi rupiah. Selain itu, tidak ada penanggung
jawab aset yang mendasari (underlying assets) harga uang virtual mengingat
harga ditentukan oleh mekanisme pasar. Siapa akan melindungi kepentingan
konsumen? Tak ada. Konsumen akan menjadi korban tanpa ada yang membela. Oleh
karena itu, inilah tugas otoritas untuk melakukan edukasi dan sosialisasi mengenai
madu (manfaat) dan racun (potensi risiko) uang virtual kepada publik.
Hendaknya BI bergabung
dengan bank sentral negara lain dalam membahas uang virtual untuk melindungi
kepentingan konsumen. Hal itu bertujuan agar BI tak ketinggalan kereta uang
virtual yang melaju makin lama makin kencang.
Kelima, suku bunga dasar
kredit (SBDK) alias prime lending rate. SBDK yang di Malaysia disebut base
lending rate itu berlaku efektif 31 Maret 2011. Sebanyak 42 bank dengan total
aset minimal Rp 10 triliun per 28 Februari 2011 wajib mengumumkan SBDK
melalui laman, koran dan seluruh kantor cabang bank. SBDK adalah bunga
terendah yang digunakan sebagai dasar bagi bank dalam menentukan bunga kredit
yang dikenakan kepada nasabah bank.
Tetapi SBDK belum memuat
premi risiko (risk premium) individual nasabah bank. Premi risiko
mempresentasikan penilaian bank terhadap prospek pelunasan kredit oleh calon
debitor yang antara lain mempertimbangkan kondisi keuangan debitor, jangka
waktu kredit dan prospek usaha yang dibiayai. Intinya, SBDK tidak sama dengan
bunga kredit yang dikenakan bank kepada debitor.
Mestinya SBDK menjadi
instrumen moneter yang sanggup mengendalikan suku bunga kredit secara
signifikan. Namun setelah berjalan selama lima tahun, hal itu belum terwujud.
Akhirnya pada 16 Maret 2016, OJK menetapkan batas atas (capping) suku bunga
deposito maksimal 100 basis poin (bps) di atas suku bunga acuan untuk bank umum kegiatan usaha
(BUKU) III (modal inti Rp 5 triliun hingga kurang dari Rp 30 triliun) dan
maksimal 75 bps di atas suku bunga acuan untuk BUKU IV (modal inti di atas Rp
30 triliun).
Kebijakan itu bertujuan
untuk mencegah perang suku bunga deposito. Ujungnya, suku bunga kredit dapat
terjangkau sektor riil sehingga kredit yang sudah disetujui tetapi belum dicairkan
(undisbursed loan) makin rendah. Ketika roda sektor riil kian kencang
bergerak, maka ekonomi bakal tumbuh kian subur.
Oleh sebab itu, adalah
lebih strategis bagi BI untuk menetapkan batas atas premi risiko untuk
menekan suku bunga kredit. Mengapa? Karena premi risiko dan margin keuntungan
(profit margin) merupakan variabel yang sepenuhnya dikendalikan bank. Dengan
demikian, suku bunga kredit dapat ditekan sedemikian rupa.
Keenam, Rancangan
Undang-Undang (RUU) ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS). Tentu BI
wajib mendorong pengesahan RUU itu yang kini sedang dibahas DPR dan
pemerintah. Segera setelah RUU itu disahkan menjadi UU, maka terciptalah
resiprositas antarnegara ASEAN. Alhasil, bank nasional tak lagi mengalami
kesulitan untuk membuka kantor di negara ASEAN.
Tatkala aneka tantangan
itu dapat dihadapi dengan sigap, maka Bank Indonesia akan kian mampu
memberikan kontribusi dalam menyuburkan pertumbuhan ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar