Peradaban
Kasih Persaudaraan
Aloys Budi Purnomo ; Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan
Agung Semarang
|
KOMPAS,
03 Maret
2018
Din Syamsuddin, utusan
khusus Presiden Jokowi untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban
mengundang sejumlah tokoh lintasagama se-Indonesia untuk mengadakan
Musyawarah Besar Pemuka Agama untuk Kerukunan Bangsa (MBPA-UKB) di Jakarta,
8-11 Februari 2018. Kebetulan, saya diundang sebagai salah satu peserta.
Selama 10 tahun terakhir, saya terlibat aktif dan intensif sebagai Ketua
Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang dalam
membangun peradaban kasih persaudaraan sejati dengan semua orang tanpa diskriminasi
di negeri ini.
Panitia merumuskan tema
musyawarah dalam satu kalimat “Rukun dan Bersatu, Kita Maju”. Tema ini
merupakan harapan yang sangat relevan dan signifikan dalam konteks kehidupan
kita saat ini. Kita hanya bisa jadi bangsa yang maju dalam membangun
peradaban kasih persaudaraan apabila kita hidup dalam kerukunan dan
persatuan.
Inilah tekad kita bersama
yang tak bisa ditawar-tawar dalam sikap kompromistik. Tekad itu bahkan sudah
diwujudkan oleh para pendiri bangsa ini sebagai bangunan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945
bersemangatkan Bhinneka Tunggal Ika. Itulah yang kemudian menjadi pilar-pilar
kebangsaan yang sudah final.
Kita sepakat terus
menggemakan warisan historis itu sebagai kesadaran bersama di masa depan.
Benarlah, kemajemukan Indonesia adalah anugerah Tuhan YME yang harus
dipelihara sebagai kekuatan untuk kemajuan bangsa. Benar pula bahwa
agama-agama di Indonesia telah berfungsi sebagai perekat kemajemukan dan
telah menciptakan derajat kerukunan bangsa yang mulia dan bermartabat sejak
dulu kala di seluas Nusantara.
Karenanya, wawasan
kemajemukan dan kerukunan berlandaskan agama yang sudah mengkristal dalam
falsafah Pancasila dan spirit Bhineka Tunggal Ika, dalam bingkai NKRI harus
terus dirawat. Pada giliran berikutnya wawasan dan kesadaran itu akan
memperkuat kerukunan dan persatuan bangsa tanpa diskriminasi untuk membangun
peradaban kasih persaudaraan.
Dialog
yang dialogis
Sendi-sendi bangunan
peradaban kasih persaudaraan sebagai anak-anak bangsa Indonesia yang ditopang
oleh kerukunan tak boleh diguncang apalagi dirobohkan oleh orientasi
intoleransi, eksklusivisme, radikalisme, dan ekstremisme pada segelintir
warga bangsa. Friksi yang merusak kerukunan antarumat beragama maupun intra-agama
harus dicegah dan diatasi agar tidak mengkhianati warisan para pendiri bangsa
ini yang sudah dirumuskan dalam keberagaman.
Salah satu kelemahan yang
merusak gerak maju kehidupan bersama yang rukun adalah absennya semangat
dialog yang dialogis. Model musyawarah besar yang ditempuh untuk maju dalam
kerukunan dan persatuan sangat tepat ditempuh melalui semangat dialog yang
dialogis.
Musyawarah itu harus
sungguh-sungguh mengedepankan dialog yang dialogis, bukan dialog yang
memaksakan kehendak kepada pihak lain yang berbeda. Dalam konteks kebangsaan
dan kultur Nusantara, musyawarah
adalah sarana dan wahana
silaturahmi dan dialog dialogis.
Dibutuhkan empat syarat
untuk praksis dialog dialogis. Pertama, kedewasaan religius apa pun agamanya,
dan kecintaan pada bangsa kita. Itulah yang sering saya sebut sikap 100
persen religius apa pun agama, keyakinan dan kepercayaannya, dan 100 persen
nasionalis apa pun suku, budaya dan bahasanya.
Kedua, dialog yang
dialogis terjadi, bila peserta musyawarah mengutamakan hati yang mengasihi
pihak lain dari hati ke hati, dari jiwa ke jiwa dengan akal sehat dan bukan
okol kuat. Musyawarah yang merupakan ekspresi spirit dialog yang dialogis
ditandai oleh kesepakatan-kesepakatan berwibawa, bermartabat dan beradab
dalam mengambil keputusan solutif terhadap persoalan yang ada.
Ketiga, dialog yang
dialogis jauh dari segala bentuk kekerasan baik perkataan maupun tindakan;
apalagi pemaksaan kehendak. Yang hendak digapai kemenangan bersama dalam
rangka peradaban kasih persaudaraan, bukan kemenangan segelintir orang atau
kelompok yang merasa diri paling benar. Dialog dialogis berbuah kebenaran
bersama, bukan argumentasi untuk membenarkan pendapat sendiri. Keputusan
bermartabat pun diambil demi kebenaran bersama bukan untuk pembenaran kehendak
sendiri.
Keempat, proses dialog
yang dialogis bisa jadi menyakitkan, namun kedewasaan keberimanan tak boleh
menggerus infantilisme keberagamaan. Karenanya, dibutuhkan ketulusan,
keterbukaan, keterusterangan dan kerja sama yang mengutamakan manfaat ketimbang
mudarat, mencapai mufakat bermartabat ketimbang pemaksaan pendapat.
Dari sana akan mengalirlah
peradaban kasih persaudaraan sejati yang mewujud dalam kehidupan masyarakat
yang sejahtera, bermartabat dan beriman, apa pun agamanya. Peradaban kasih
persaudaraan harus diperjuangkan! Peradaban kasih persaudaraan ditandai tiga
hal pokok. Pertama, sikap inklusif terbuka dan merangkul (ngrengkuh). Kedua,
kehidupan yang inovatif terbuka terhadap pembaruan yang konstruktif. Ketiga,
semangat transformasi inspiratif yakni memiliki daya ubah yang memajukan
kehidupan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar