Sumber
Krisis Keuangan Baru
Anwar Nasution ; Guru Besar Emeritus Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
23 Maret
2018
Dewasa ini ada lima sumber
utama yang secara potensial menimbulkan gejolak baru ekonomi internasional.
Kelima potensi masalah itu adalah: (1) peningkatan tingkat suku bunga
internasional, (2) peningkatan laju inflasi dunia, (3) tingginya tingkat
utang dunia usaha dan perorangan ataupun pemerintah di sejumlah negara, (4)
kebijakan perdagangan AS yang proteksionis, dan (5) dampak penurunan tarif
pajak pendapatan di AS.
Peningkatan tingkat suku
bunga merupakan akibat dari berakhirnya kebijakan pemompaan likuiditas oleh
bank sentral negara-negara besar (terutama Amerika Serikat, Jepang, Uni
Eropa, dan Inggris) untuk mengatasi krisis keuangan global tahun 2008-2009.
Kebijakan pemompaan
likuiditas itu dikenal dengan istilah quantitative easing (QE). Melalui QE,
bank sentral membeli obligasi negara ataupun surat-surat berharga perusahaan
swasta berkualitas tinggi. Pemerintah Amerika Serikat (AS) juga menguatkan
modal lembaga-lembaga keuangan, perusahaan asuransi, dan pabrik mobil General
Motor.
Terkait sumber kerawanan
keempat, yakni kebijakan perdagangan AS yang proteksionis, dalam masa
pemerintahan Presiden Trump, AS bukan lagi menjadi motor penggerak
liberalisasi perekonomian dunia sebagaimana tecermin dari pembatalan
keikutsertaannya di Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership/ TPP),
modifikasi perjanjian dagang di Amerika Utara dengan Kanada dan Meksiko,
serta kebijakan dagangnya yang protektif. Kenaikan tarif impor besi dan
aluminium di AS belakangan ini akan memicu perang dagang dari mitra dagangnya
sehingga memperburuk keadaan.
Sumber kerawanan kelima,
penurunan tarif pajak pendapatan di negara itu akan menyedot investasi dan
pelarian modal dari seluruh dunia ke AS. Tadinya modal keluar dari negara itu
karena rendahnya tingkat suku bunga dibandingkan dengan di luar negeri. Pada
dasarnya, negara tersebut memang lebih menarik bagi investor dunia karena
selain memiliki stabilitas politik dan sosial yang paling tinggi, pasar uang
dan modalnya juga paling besar dan dalam. Pelarian modal antarnegara tersebut
akan menimbulkan gejolak kurs mata uang antarnegara.
Likuiditas
dan suku bunga
Pada gilirannya, banjir
likuiditas karena QE telah menurunkan tingkat suku bunga pinjaman bank
mendekati nol persen dan bahkan negatif di beberapa negara, seperti di Jepang
dan Norwegia. Artinya, deposan tidak lagi memperoleh balas jasa bunga atas
depositonya di bank, tetapi justru membayar jasa penyimpanan uangnya. Lebih
rendahnya tingkat suku bunga di negara-negara maju dibandingkan dengan di
negara-negara berkembang telah mendorong arus modal keluar dari negara-negara
maju. Salah satu penyebab pelarian modal antarnegara itu adalah adanya
perbedaan tingkat suku bunga efektif.
Tujuan QE dengan
menurunkan tingkat suku bunga pinjaman ataupun deposito adalah untuk
menguatkan modal lembaga-lembaga keuangan, termasuk perbankan, serta
merangsang pengeluaran masyarakat, baik untuk keperluan konsumsi maupun
investasi. Murahnya tingkat suku bunga telah meningkatkan pinjaman
masyarakat, baik dunia usaha maupun perorangan. Pinjaman negara juga
meningkat karena tingkat suku bunga pinjaman yang menurun yang dipergunakan
untuk mendorong pengeluarannya.
Tujuan lain dari ekspansi
likuiditas itu adalah untuk meningkatkan kembali tingkat laju inflasi agar
dapat memberikan insentif bagi produsen barang dan jasa.Dengan semakin
sehatnya kondisi keuangan lembaga-lembaga keuangan dan dunia usaha, secara
bertahap, pemerintah negara-negara maju mengakhiri QE. Perusahaan yang
meminjam modal mulai melunasi utangnya kepada pemerintah.
Bank-bank sentral mulai
menjual kembali obligasi negara dan saham dunia usaha yang mereka beli.
Bank-bank sentral mengurangi kredit kepada dunia perbankan seraya
meningkatkan tingkat suku bunga pinjamannya. Dalam masa empat tahun
diharapkan neraca bank sentral bisa normal kembali dengan pengurangan
portofolio yang sangat besar berupa obligasi pemerintah serta saham ataupun
surat utang dunia usaha.
Berakhirnya
QE
Pengetatan likuiditas dan
penjualan obligasi negara serta surat-surat utang dunia usaha telah mulai
meningkatkan tingkat suku bunga. Peningkatan tingkat suku bunga itu diawali
di negara-negara maju yang menghentikan QE dan kemudian menjalar ke seluruh
dunia. Pada gilirannya, kenaikan tingkat suku bunga menyulitkan debitor
karena memberatkan pembayaran utang, baik utang pribadi dan dunia usaha
maupun negara.
Lalu lintas modal
antarnegara memengaruhi nilai tukar mata uang antarnegara atau kurs devisa.
Pada gilirannya, kurs devisa memengaruhi tingkat harga-harga, tingkat upah
tenaga kerja maupun tingkat suku bunga efektif. Yang terakhir ini merupakan
penjumlahan dari tingkat suku bunga nominal dan persentase perubahan kurs
mata uang.
Dampak dari arus lalu
lintas modal antarnegara karena perbedaan tingkat suku bunga setelah
berakhirnya QE sudah kita rasakan di Indonesia dewasa ini. Karena kombinasi
QE, pemasukan modal dan penurunan pajak pendapatan di AS, mata uang dollar AS
terus mengalami penguatan belakangan ini. Akibatnya, mata uang rupiah dan
mata uang beberapa negara lain terus melemah.
Di satu pihak, peningkatan
tingkat suku bunga di luar negeri dan pelemahan rupiah akan sangat
memberatkan pihak yang berutang dalam mata uang asing ke luar negeri. Sebagai
contoh, merosotnya nilai rupiah lebih dari tujuh kali lipat pada tahun 1997
telah membangkrutkan pihak swasta ataupun pemerintah yang banyak berutang
dalam bentuk valuta asing ke luar negeri.
Beban semakin berat jika
utang luar negeri dalam mata uang asing itu adalah dalam bentuk jangka pendek
dipergunakan untuk membangun proyek infrastruktur jangka panjang, seperti
telepon, listrik, jalan tol, dan real estat yang memberikan balas jasa dalam
jangka panjang dan dalam rupiah. Para ahli ekonomi menyebutnya sebagai
gabungan ketidakserasian mata uang dan antara jangka waktu kredit dan
pengembaliannya.
Di lain pihak, kalau bisa
memanfaatkannya, pelemahan nilai tukar rupiah seharusnya memberikan insentif
bagi peningkatan ekspor dan pariwisata dan menurunkan impor. Eksportir dan
produsen memperoleh penghasilan rupiah lebih banyak dari setiap satuan mata
uang asing yang dihasilkannya. Tarif hotel, transportasi, dan makan-minum
serta jasa-jasa semakin murah diukur dalam satuan mata uang asing.
Sebaliknya, harga
komoditas impor dalam mata uang asing akan menjadi lebih mahal dalam satuan
rupiah. Biaya umrah dan turisme ke luar negeri juga menjadi lebih mahal dalam
satuan rupiah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar