Stop
Anomali Hukum Negara
Sudjito Atmodiredjo ; Guru Besar Ilmu Hukum;
Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
2013-2015
|
KOMPAS,
02 Maret
2018
Seiring dengan pembaruan
UU MD3 dan KUHP, ditengarai muncul anomali hukum negara. Bersenjatakan dua
hukum negara (perundang-undangan) tersebut, dikhawatirkan langkah-langkah
politik penguasa diayunkan ke arah jabatan dan kekuasaan yang semakin besar.
Kekuasaan ditempatkan sebagai tujuan kehidupan bernegara. Padahal, mestinya,
kekuasaan sekadar sarana memaksimalkan aktivitas politik.
Kajian akademik
mengisyaratkan bahwa anomali hukum negara tersebut berlangsung karena dua
sebab. Pertama, penggunaan akal berlebihan, didorong nafsu politik, sehingga
melampaui batas-batas moralitas. Kedua, semakin menguatnya watak “aku” di
kalangan pemegang kekuasaan dalam pengelolaan negara.
Dihadapkan pada anomali
hukum negara tersebut, ada baiknya optik filsafat digunakan untuk menerawang
realitas sebenarnya. Dengan cara pandang filsafati ini diharapkan persoalan
anomali hukum negara dapat dipahami sejak akar-akarnya dan sekaligus dapat
diprediksi pula muaranya.
Pada ranah filsafat
dikenal aliran rasionalisme. Tokoh utamanya Rene Descartes. Ujaran amat
terkenal filsuf ini: “Cogito Ergo Sum”. Artinya, “aku berpikir maka aku ada”.
Pada ujaran ini, watak “aku” terasa amat ditonjolkan. “Aku” di sini dapat
bermakna sebagai pribadi, sebagai kelompok, sebagai partai, ataupun sebagai
golongan. Oleh Descartes diingatkan bahwa siapa pun sebagai “aku”, dan ingin agar eksistensi, posisi,
dan rekognisi atas dirinya diapresiasi pihak lain, maka perlu ada usaha
sungguh-sungguh.
Usaha-usaha itu dimulai
dengan penggunaan akal. Proses penggunaan akal disebut berpikir. Maka,
berpikir menjadi amat sentral dalam kehidupan. Manusia harus berpikir,
berpikir, dan berpikir. Dari olah akal atau berpikir, akan muncul sikap dan
perilaku rasional, dapat dipertanggungjawabkan kepada akal.
Rasionalisme, di alam
modern, tampil sebagai aliran filsafat yang amat disegani. Rasio ditempatkan
di atas segala-galanya. Berdasarkan rasio itulah maka hukum negara modern
dibuat, dilaksanakan, dan ditegakkan. Berdasarkan rasio pula, apa yang
disebut ketertiban dan kepastian hukum diunggulkan atas keadilan. Keadilan,
yang dalam filsafat hukum klasik selalu dipandang sebagai inti, roh, atau
moralitas hukum, di alam modern dimarjinalkan.
Orientasi hukum negara
modern bukan untuk keadilan, melainkan ketertiban, kepastian hukum, dan
stabilitas kekuasaan. Kalaupun saat itu orang bicara soal keadilan,
konsepsinya sebatas keadilan formal (berdasarkan perundang-undangan), bukan
keadilan substansial. Moralitas hukum pun diukur dari teks
perundang-undangan, bukan berdasarkan hati nurani ataupun wawasan kebangsaan.
Penggunaan
akal yang tak konsisten
Pembaruan UU MD3 dan KUHP,
bila dianalisis berdasarkan rasionalisme, ditemukan indikasi ada
ketidakkonsistenan konseptor dan pihak-pihak pembahas dalam penggunaan akal.
Terindikasikan nafsu politik lebih dominan daripada kendali hati-nurani.
Akibatnya, pada kedua UU tersebut dihasilkan pasal-pasal bermasalah,
yang dapat difungsikan sebagai “pedang dan tameng” penguasa. Pasal-pasal itu
rawan digunakan untuk “membabat, membacok, dan melukai” pengkritik penguasa.
Akademisi, jurnalis, aktivis, budayawan, agamawan, dan komunitas lain
sejenis, sungguh sangat rentan terkena sabetan hukum negara (pedang
penguasa).
Pasal-pasal bermasalah
itu, potensial merusak keharmonisan hubungan penguasa-rakyat. Kesan
penonjolan watak “aku” sebagai penguasa, sulit diterima akal sehat dan hati
nurani rakyat. Pasal-pasal bermasalah
akan memicu berseraknya “titik-titik api” konflik vertikal.
Bila pasal-pasal itu tak
segera dibenahi, ke depan diprediksi suasana kehidupan bernegara semakin
panas dan mencekam. Konflik vertikal pun kian manifes. Kalaupun komunitas
tertentu dapat ditekan sehingga diam, tentu
diamnya karena keterpaksaan, dan bukan kesadaran. Karena itu tidak
boleh diremehkan. Diamnya “tunas bangsa” ibarat api dalam sekam. Suatu ketika
bisa membara dan membakar kezaliman.
Para cendekiawan dan ulama
telah mengingatkan, ketika: “aku-anda, kami-kamu, kita-mereka” memenuhi
rongga jiwa bangsa, maka makna negara kekeluargaan akan sirna, dan serta
merta tergantikan paham negara liberal-individualistik. Pada tipe negara yang
disebut terakhir, warga negara rentan dikorbankan, diasingkan,
dikriminalisasikan oleh penguasa. Mereka itulah warga negara yang digolongkan
sebagai ekstremis, radikalis, teroris, atau komunitas sejenis lainnya.
Sungguh ironis dan tragis bila ada warga
negara dikorbankan demi kepentingan politis penguasa. Ini sangat kontras dan
berlawanan dengan tujuan negara yang terpateri pada Pembukaan UUD 1945. Bahwa
salah satu kewajiban pemerintah adalah “… melindungi segenap bangsa …”. Kita
cegah, jangan sampai semboyan “Le’etat c’est moi” (negara adalah aku), negara
otoriter, bermetamorfosa di negeri ini.
Pada negara hukum
Indonesia peran pemerintah bukan sebagai penjaga malam (nachtwakersstaat).
Bukan pula sebagai penjaga ketertiban, ataupun pelestari kekuasaan. Kewajiban
pemerintah adalah mewujudkan kesejahteraan lahir batin dan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam konteks ini, maka kebebasan berpendapat,
kebebasan berkumpul, dan kebebasan mengkritik – selagi dilakukan dengan etis,
sesuai moralitas Pancasila, tidak boleh dihalang-halangi.
Dirinci ke dalam aktivitas
kebangsaan, maka tanggung jawab pemerintah harus mencakup: (1) menjamin
terwujudnya pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hak-hak asasi dan
hak-hak konstitusional warga negara; (2) menjamin terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs) semua warga negara; (3) mempermudah
aktualisasi diri sebagai bangsa agar dapat berdiri sejajar dengan bangsa
lain; (4) memajukan budaya hukum dan aktivitas sosial-keagamaan demi
terwujudnya karakter bangsa yang komunalistik-religius.
Di negara hukum Pancasila,
kekuasaan mesti digunakan untuk mewujudkan kebahagiaan bangsanya. Kedepankan
moralitas hukum. Stop anomali hukum negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar