Status
Quo Pemberantasan Narkoba di Indonesia
Fathurrohman ; Analis Kejahatan Narkotika
|
MEDIA
INDONESIA, 01 Maret 2018
PEMBERANTASAN narkotika
akan tetap masif di tahun 2018 ini. Tidak akan mengalami perubahan yang
berarti, baik pendekatan dari penegak hukum maupun upaya penyelundupan yang
dilakukan oleh pelaku peredaran narkotika. Situasi narkotika di Indonesia
mengalami kondisi mengkhawatirkan jika melihat pada perkembangan narkoba di
kawasan, khususnya di ASEAN, Asia Timur, dan Australia. Narkoba jenis
amphetamine types stymulant (ATS) mengalami peningkatan sirkulasi di kawasan
itu sepanjang tahun 2017.
Narkoba jenis ATS
diselundupkan dalam jumlah yang fantastis. UNODC Durg Report 2016 mencatat
bahwa ASEAN menjadi kawasan dengan tingkat sirkulasi tinggi untuk narkoba
jenis methampetamine (sabu), sementara Indonesia dalam posisi sebagai pasar
utama di kawasan.
Situasi
permintaan
Satu-satunya alasan
peredaran tinggi narkoba ialah adanya demand dan itu berarti ada uang. Harga
narkoba jenis sabu dan ekstasi di Indonesia terbilang tinggi. Hanya Jepang,
Selandia Baru, dan Australia yang harganya lebih tinggi dari Indonesia.
Karena itu, temuan narkoba di tahun 2017 melampaui tahun-tahun sebelumnya
dalam jumlah barang sitaan. Pengungkapan penyelundupan narkoba di Anyer,
Banten, dengan jumlah 1 ton terjadi pada 2017.
Pada akhir tahun 2017,
Australian Federal Police berhasil menangkap kelompok sindikat dengan barang
bukti sebanyak hampir 1,3 ton sabu. Kapal pengangkut yang sama kemudian
ditangkap berkat kerja sama Angkatan Laut dan BNN dengan mengamankan narkoba
jenis sabu 1 ton lebih. Polri dan BC kembali menangkap kapal dengan barang bukti
yang melampaui jumlah terbesar sebelumnya, yaitu 1,6 ton sabu.
Jumlah barang bukti yang
disita dengan jumlah fantastis itu ialah situasi yang mengkhawatirkan.
Situasi mengkhawatirkan karena 1 ton (1.000.000 gram) sabu dapat dipakai oleh
1 juta penyalah guna jika dalam satu bulan penyalah guna menghabiskan
rata-rata 1 gram. Jika seorang penyalah guna menghabiskan 2 gram dalam satu
bulan, sabu tersebut dapat digunakan oleh 500 ribu penyalah guna di
Indonesia. Itu merupakn angka penyalahguna yang fantastis.
Rupiah yang harus
dikeluarkan untuk membeli 1 ton sabu dengan harga pasaran termurah Rp1 juta
per gram ialah Rp1 triliun. Sementara itu, harga pasaran sabu di Jakarta
adalah Rp1,5 juta per gram.
Dengan mengakumulasi
jumlah barang bukti sabu saja sejak Juli 2017, penyitaan narkoba di Indonesia
dapat mencapai 5 ton sabu. Artinya, narkoba itu dapat digunakan oleh 2,5 juta
penduduk Indonesia dalam satu bulan jika rata-rata penggunaan 2 gram per
orang. Narkoba benar-benar menjadi perusak generasi bangsa dan menjadi silent
killer. Apalagi jika ditambah puluhan jenis narkoba lainnya dan narkoba yang
lolos dan beredar di masyarakat.
Serius
mengawasi laut
Laut menjadi tantangan
serius bagi Indonesia. Keamanan laut harus mendapat perhatian khusus. Selat
Malaka di bagian barat Indonesia dan Laut Sulawesi di sisi timur Indonesia
ialah jalur normal bagi para penyelundup yang sudah berlangsung ratusan tahun
lalu. Sejak tahun 2015 sampai tahun 2018, BNN dan Polri melakukan puluhan
kali penindakan penyelundupan narkoba melalui jalur laut ini.
Ton-tonan sabu yang masuk
ke Indonesia, baik melalui perairan di Kepri maupun melalui perairan barat
Sumatra, diduga kuat berasal dari Myanmar. Laut menjadi tempat transaksi
dengan sistem ship to ship untuk memutus rantai jaringan. Maka, laut harus
diawasi secara serius. Tidak hanya BNN, tetapi juga sinergitas operasi
bersama TNI, BC, Bakamla, dan KKP.
Situasi peredaran gelap
narkoba tersebut akan berbanding lurus dengan bagaimana penegakan narkoba
berlangsung. BNN dan Polri akan tetap memanen pengungkapan kasus
penyelundupan dan peredaran gelap narkoba. Penyalah guna narkoba yang masih
tinggi di Indonesia terjadi karena pasar narkoba telah terbentuk.
Di sisi lain, penegak
hukum masih menghadapi situasi yang sama, yaitu adanya oknum penegak hukum
yang terlibat, penghuni LP dan rutan yang masih eksis melakukan bisnis dari
dalam penjara sehingga arah kebijakan penanganan masalah narkoba cenderung
tidak berubah akan menjadikan persoalan narkoba pada status quo.
Kalau kita tilik pada target
Polri atau BNN dalam konteks pemberantasan narkoba, yang menjadi penilaian
kinerja ialah hasil pengungkapan kasus narkoba. Angka-angka yang disodorkan
adalah jumlah perkara/kasus, jumlah tersangka, lalu jumlah barang bukti.
Pada rilis akhir tahun 2017,
Kepala BNN menyebutkan bahwa selama tahun 2017, BNN telah menangkap 58.365
tersangka narkoba. Angka tersebut naik drastis jika dibanding tahun 2016 yang
berjumlah 1.238 tersangka. Angka-angka dalam kasus kejahatan ialah angka yang
tidak mandiri. Dia dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya keseriusan
petugas dalam mengungkap kasus narkoba.
Angka 58.365 berbanding
lurus dengan target yang dibebankan kepada BNN dalam pengungkapan perkara
narkoba. Angka itu juga menjadi masalah bagi lembaga pemasyarakatan. Belum
lagi jika ditambah jumlah tangkapan yang dilakukan Polri. Karena itu, perlu
ada keseriusan langkah agar tidak menimbulkan masalah baru misalnya dengan
tidak memenjarakan bagi penyalahguna narkoba. Cara lainnya ialah dibuat
payung hukum untuk menerapkan model alternatif pidana lain selain penjara.
Sinergitas
pencegahan dan pemberantasan
Kurva permintaan dan
penawaran narkoba ini harus dirusak agar menjadi negatif. Permintaan
berkurang jika masyarakat sadar bahwa narkoba ialah barang haram yang membahayakan
diri, keluarga, dan masa depan generasi bangsa. Sementara itu, penawaran akan
berkurang jika narkoba berhasil disita dan dimusnahkan.
BNN sebagai focal point
dalam pencegahan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba
(P4GN) harus dapat mem-break-down dalam bentuk program sehingga persoalan
narkoba di Indonesia dapat diatasi lebih baik.
Persoalan narkoba akan
semakin pelik ketika tidak terbangun sinergi yang baik. Contoh klasik
peredaran narkoba ialah keterlibatan narapidana dan petugas lapas dalam
jaringan narkoba. Situasi itu seolah tidak menemui titik terang solusi sampai
saat ini. Padahal, persoalan utamanya ialah jelas, mencegah alat komunikasi
masuk ke lembaga pemasyarakatan (LP).
Upaya sinergitas juga
dimaksudkan untuk melakukan pelemahan terhadap jaringan narkotika dengan cara
penyitaan uang dan aset dari hasil tindak pidana pencucian uang narkoba,
termasuk uang narkoba yang dilarikan ke luar negeri. PPATK dan BNN
mengidentifikasi terdapat aliran uang narkoba ke luar negeri dengan jumlah
besar, di antara bandar narkoba yang telah diidentifikasi dari jaringan
terpidana Pony Tjandra, Togiman, dan alm Freddy Budiman.
Jumlah transaksi antara
tahun 2014 sampai 2016 dari bandar tersebut sebanyak Rp6,4 triliun yang
ditransfer ke luar negeri. Transfer narkoba tersebut diproses melalui
beberapa bank dengan 2.136 invoice dan 6 perusahaan fiktif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar