Revolusi
Bunyi: Mereka Bisa Mendengar Lagi
Eka Kurnia Hikmat ; Alumnus Master of Special Education (Deaf and Hard of
Hearing Specialization) dari The University of Newcastle – Australia;
Praktisi Auditory-Verbal Therapy,
Manajer Program Yayasan Rumah Siput Indonesia—Pusat Rehabilitasi Pendengaran
|
DETIKNEWS,
07 Maret
2018
Diperkirakan
enam dari seribu bayi di negara berkembang lahir tuli atau sulit mendengar.
Prevalensi atau tingkat kekerapan kasus ini tiga kali lipat dibandingkan di
negara maju. Begitu hasil penelitian Bolajoko Olusanya yang dirilis buletin
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2014.
Berapa
prevalensi ketulian di Indonesia saat ini tidak diketahui dengan pasti. Tapi,
hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1994-1996
menunjukkan prevalensi ketulian mencapai 0,4 persen, dan morbiditas telinga
18,5 persen. Survei ini digelar di tujuh provinsi di Tanah Air.
Potensi Kerugian
Ketulian
dan kesulitan mendengar membatasi kemampuan mendengar, berbicara, berbahasa,
dan berkomunikasi seseorang. Dalam jangka panjang dapat membatasi kesempatan
seseorang meraih pendidikan bermutu, mendapatkan pekerjaan yang baik, memilih
profesi sesuai minat dan bakat, mengaktualisasikan potensi diri, dan
menjalani kehidupan berkualitas.
Tidak
sedikit dari mereka yang tuli dan sulit mendengar harus ditopang keluarga
seumur hidupnya. Ketulian dan kesulitan mendengar yang tidak tertangani
dengan baik sejak dini tidak hanya merugikan si individu dan keluarga, tapi
juga negara.
Hasil
penelitian Arcbold, Lamb, dan O'Neil (2015) menguatkan itu. Mereka meneliti
kerugian potensial Britania Raya (United Kingdom) jika tidak menangani
ketulian dan kesulitan mendengar warganya dengan baik sejak dini. Potensi
kerugian per tahun diperkirakan tembus 30,13 miliar poundsterling atau Rp
574,44 triliun.
Angka
itu disumbang oleh pendapatan potensial yang hilang karena tingginya angka
pengangguran. Lalu, rendahnya kemampuan untuk mendapatkan penghasilan di
kalangan mereka yang tuli atau sulit mendengar, serta biaya pelayanan
kesehatan dan sosial.
Bisa Ditanggulangi
Kerugian
semacam itu sesungguhnya bisa dicegah. Dengan deteksi dan penanganan dini,
setiap bayi yang terlahir tuli dan sulit mendengar bisa kembali mendengar,
berbicara, dan berbahasa lisan. Teknologi memungkinkan hal itu. Kesulitan
mendengar, dari ringan hingga berat, dapat diatasi dengan alat bantu dengar.
Sementara
kesulitan mendengar berat hingga berat sekali atau biasa disebut ketulian
dapat diatasi dengan implan rumah siput. Disebut implan rumah siput karena
lewat operasi, teknologi ini bisa dipasang pada bagian telinga dalam yang
berbentuk seperti rumah siput.
Pemakaian
alat bantu dengar atau implan rumah siput yang diiringi auditory-verbal
therapy —terapi untuk belajar mendengar dan berbicara— memungkinkan bayi yang
terlahir sulit mendengar atau tuli bisa kembali mendengar, berbicara, dan
mengembangkan bahasa lisan. Begitu masuk usia sekolah, mereka bisa bersekolah
di sekolah umum. Mereka bisa menikmati hal-hal yang biasa dinikmati
teman-teman sebayanya yang tidak memiliki masalah pendengaran. Saat sudah
dewasa, peluang mereka menafkahi diri sendiri juga menjadi besar. Jadi tak
lagi bergantung pada keluarga atau negara.
Praktik di Negara Maju
Tetangga
kita di selatan, Australia, adalah contoh negara yang pintar melakukan
penanganan dini. Setiap bayi yang lahir di sana wajib di-screening
pendengarannya, paling lambat pada usia satu bulan. Bayi yang terdeteksi
memiliki masalah pendengaran diwajibkan mengikuti serangkaian tes pendengaran
lanjutan, paling lambat pada usia tiga bulan.
Jika
pendengaran sang bayi terdiagnosa bermasalah, orangtuanya diberi pilihan
solusi. Antara lain pendekatan berkomunikasi untuk anaknya. Mereka bisa
memilih pendekatan mendengar dan berbicara, atau pendekatan komunikasi lain
seperti bahasa isyarat. Semua pilihan tadi difasilitasi oleh pemerintah.
Sebagian
besar orangtua di sana memilih pendekatan mendengar dan berbicara. Bayi
mereka dipakaikan alat bantu dengar paling lambat pada usia tiga bulan. Bayi
yang tidak terbantu dengan alat bantu dengar dipasangkan implan rumah siput
pada usia enam bulan. Auditory-verbal therapy menyertai penggunaan alat bantu
dengar maupun implan rumah siput. Biaya screening pendengaran, serangkaian
tes pendengaran lanjutan, alat bantu dengar, implan rumah siput, operasi
implantasi dan auditory-verbal therapy seluruhnya ditanggung negara alias
gratis.
Kenyataan di Indonesia
Itu
tadi di Negeri Kanguru. Yang terjadi di Indonesia sangat kontras. Di sini
orangtua anak tuli atau sulit mendengar harus menanggung sendiri seluruh hal
yang di Australia ditanggung negara. Tentu hanya segelintir orangtua yang
sanggup menjangkaunya. Alhasil mayoritas kasus ketulian dan kesulitan mendengar
congenital (sejak lahir) lambat terdeteksi dan tidak tertangani.
Duabelas
tahun lalu, Menteri Kesehatan kala itu, Siti Fadilah Supari, telah
menerbitkan Surat Keputusan Menkes Nomor 879. Beleid ini berisi Rencana
Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian Untuk
Mencapai "Sound Hearing 2030". Dicanangkan WHO sejak 2005,
"Sound Hearing 2030" punya misi menanggulangi gangguan pendengaran
dan ketulian di wilayah Asia Tenggara.
Salah
satu isi SK Menkes 879/2006 menyebutkan, "Setiap penduduk Indonesia
mempunyai hak untuk memiliki derajat kesehatan telinga dan pendengaran yang
optimal pada tahun 2030." Artinya, dalam 24 tahun sejak SK itu terbit
seluruh bayi tuli dan sulit mendengar di Indonesia idealnya telah mendapat
perlakuan yang sama seperti bayi yang tinggal di Australia. Dan, di tahun ini
--tepat setengah jalan menuju 2030-- mestinya sudah separuh jumlah bayi tuli
dan sulit mendengar yang telah menikmati keberuntungan itu.
Enam
tahun terakhir, Yayasan Rumah Siput Indonesia (YRSI) —Pusat Rehabilitasi
Pendengaran— melakukan penyuluhan mengenai pencegahan dan penanganan ketulian
serta kesulitan mendengar di 27 kota, dari Aceh hingga Makassar. Sebagian
besar orangtua yang kami temui mengeluhkan tidak adanya bantuan materiil maupun
non-materiil (pengetahuan) untuk menangani ketulian dan kesulitan mendengar
anak mereka. Sebagian bahkan baru tahu bahwa anak mereka sesungguhnya punya
peluang untuk bisa mendengar, berbicara, dan mengembangkan bahasa lisan saat
penyuluhan.
Prakarsa Masyarakat
Beberapa
orangtua yang memiliki cukup dana segera merogoh kantong mereka begitu
mengetahui peluang itu. Contohnya sepasang suami-istri dokter dari Riau.
Keduanya baru tahu ada peluang anaknya bisa mendengar, berbicara, dan
berbahasa lisan saat anaknya telah berusia empat tahun. Si anak lalu
menjalani serangkaian tes pendengaran yang diperlukan, proses operasi,
menggunakan alat implan, dan kini tengah mengikuti auditory-verbal therapy.
Ada
juga orangtua yang memperoleh bantuan dari tempat mereka bekerja. Sepasang
anak kembar (saat itu berusia empat tahun), menerima bantuan biaya dari salah
satu perusahaan BUMN tempat ayahnya bekerja. Sekarang, setelah menggunakan
implan rumah siput dan mengikuti auditory-verbal therapy, si kembar lancar
mengobrol, mengandalkan pendengaran mereka. Artikulasi ucapan mereka dapat
dimengerti oleh siapapun dengan mudah. Si kembar duduk di sekolah umum,
berada di kelas yang sama dengan sebaya mereka yang tidak memiliki masalah
pendengaran.
Orangtua
lain ada yang memperoleh bantuan dari lembaga sosial tertentu. Jumlahnya
separuh dari total biaya alat implan. Namun, jumlah mereka yang mendapat
bantuan dari prakarsa individu, lembaga sosial, dan instansi tadi tidak
seberapa dibandingkan puluhan ribu bayi lainnya yang tidak mendapatkan
bantuan serupa. Semua kalangan, terlebih lagi pemerintah, harus lebih bekerja
keras untuk menangani puluhan ribu bayi tadi. Dan, Hari Pendengaran Sedunia 3
Maret ini merupakan pengingat bahwa bayi yang terlahir tuli dan sulit
mendengar di Indonesia adalah tanggung jawab kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar