Rabu, 14 Maret 2018

Rancangan Kebijakan Hukum Kejahatan Korporasi Transnasional

Rancangan Kebijakan
Hukum Kejahatan Korporasi Transnasional
Asep N Mulyana  ;   Asisten Khusus Jaksa Agung
                                              MEDIA INDONESIA, 14 Maret 2018



                                                           
PENYITAAN kapal pesiar Equanimity oleh Bareskrim Polri di perairan Tanjung Benoa, Bali, pada 28 Februari 2018 patut diacungi jempol sebagai bentuk kerja sama dan sinergi penegak hukum antarnegara dalam memerangi dan memberantas kejahatan korporasi lintas negara (transnational corporate crime). Penyitaan kapal pesiar supermewah seharga US$250 juta yang terdaftar di Kepulauan Cayman itu merupakan bagian dari penyidikan FBI di bawah Department of Justice (DoJ) Amerika Serikat terhadap dugaan pencucian uang yang terjadi di Amerika Serikat (AS), Luksemburg, Swiss, dan Singapura, yang diduga terkait dengan skandal korupsi One Malaysia Development Berhad (1MDB).

Civil forfeiture

Meskipun otoritas hukum Malaysia membantah adanya skandal korupsi di 1MDB (Koran Tempo, 9/3/2018), DoJ AS tetap melakukan civil forfeiture atas tuduhan penipuan dan pencucian uang senilai US$4,5 miliar. Terkait dengan itu, pada Agustus 2017, DoJ mengejar sejumlah aset yang diduga dibeli dari hasil kejahatan, antara lain berupa Equanimity Yacht, lukisan karya Pablo Picasso, perhiasan, rumah dan apartemen di New York, serta dugaan aliran dana ilegal ke rekening pribadi.

Di beberapa yurisdiksi, civil forfeiture disebut juga sebagai 'non-conviction based asset forfeiture', yang merupakan gugatan penyitaan melalui pengadilan terhadap aset-aset yang diduga terlibat dalam tindak pidana, tanpa pemidanaan terhadap pelakunya. Civil forfeiture yang dilakukan Kleptrocracy Asset Recovery Initiative DoJ tersebut merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan visi Amerika sebagai negara anti-safe haven. Gugatan yang diajukan di Central District Court California untuk menyita aset terkait dengan dugaan transaksi ilegal, tanpa harus menunggu putusan pengadilan yang menyatakan bersalah tidaknya mereka yang diduga terlibat dalam kasus pidana.

Money laundering and asset recovery section

Lembaga yang berwenang melakukan civil forfeiture ialah money laundering and asset recovery section (MLARS), yang merupakan salah satu seksi pada Divisi Kriminal DoJ. MLARS memiliki tujuh unit kerja, antara lain unit internasional yang memiliki dua tim, yaitu (a) the kleptocracy team dan (b) the international assistance team, yang menyidik dan memproses litigasi untuk memulihkan hasil korupsi pejabat asing yang berada atau menggunakan sistem keuangan di AS.

Setidaknya terdapat dua mekanisme yang dapat ditempuh untuk meminta bantuan menyita aset di AS. Pertama, permintaan informal yang dilakukan dengan menggunakan metode police to police atau prosecutor to prosecutor request maupun permintaan lainnya. Kedua, permintaan formal dapat ditempuh melalui bantuan hukum timbal balik antarnegara atau sarana mutual legal assistance (MLA). Permintaan formal itu dapat diajukan otoritas yang berwenang dengan melengkapi beberapa dokumen pendukung, antara lain rekening bank, catatan bisnis, sertifikat, rekam jejak e-mail atau telepon, surat perintah penyitaan, dan dokumen terkait lainnya.

Penanganan harta kekayaan korporasi

Gugatan civil forfeiture memperlihatkan praktik penegakan hukum tidak hanya fokus pada pelaku kejahatan (follow the suspect), tetapi juga berupaya untuk menelusuri dan mengamankan dana dan aset (follow the money & follow the asset) yang diduga berasal dari suatu kejahatan. Praktik penegakan itu merupakan bentuk pendekatan ekonomi terhadap hukum, yang tidak hanya menghukum dan memenjarakan pelaku, tetapi juga berupaya untuk memulihkan kerugian finansial dan ekonomi yang diakibatkan dari suatu kejahatan.

Menurut hemat penulis, sejatinya praktik penegakan hukum yang diterapkan di Amerika tersebut dapat dijadikan sebagai model dalam menyusun rancang bangun kebijakan penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi di Indonesia. Salah satu instrumen hukum yang dapat dijadikan landas pijaknya ialah Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2013 (Perma 1/2013) tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan dalam TPPU atau Tindak Pidana Lain.

Pada awalnya, Perma 1/2013 merupakan hukum acara untuk mengisi kekosongan hukum terhadap pelaksanaan Pasal 67 UU TPPU, terkait dengan status aset atau harta kekayaan yang tidak ditemukan pelaku kejahatannya. Meskipun hanya terbatas pada TPPU, tindak pidana asalnya meliputi berbagai tindak pidana (Pasal 2 ayat 1 UU TPPU) sehingga dalam penerapannya bisa menjangkau harta kekayaan, termasuk aset korporasi yang diperoleh atau terkait dengan kejahatan.

Setidaknya terdapat dua prinsip penting dalam permohonan penanganan harta kekayaan yang diajukan penyidik. Pertama, permohonan penanganan harta kekayaan dapat diajukan ke pengadilan negeri setelah penyidik menetapkan tersangkanya. Menurut ketentuan Pasal 3 Perma 1/2013, permohonan penanganan harta kekayaan yang diajukan penyidik harus dilengkapi dengan berkas perkara hasil penyidikan dan berita acara pencarian tersangka.

Kedua, permohonan penanganan harta kekayaan menganut stelsel negatif. Persidangan penanganan harta kekayaan dapat dilaksanakan setelah tidak adanya pihak-pihak yang mengklaim atau mengajukan keberatan terhadap aset atau harta kekayaan yang akan dimohonkan statusnya. Sebelum memulai persidangan, ketua pengadilan negeri diharuskan untuk mengumumkan permohonan harta kekayaan yang diajukan penyidik di papan pengumuman pengadilan negeri atau media lainnya selama 30 hari kerja.

Keharusan untuk mengumumkan harta kekayaan itu juga dilakukan terhadap putusan hakim yang telah menentukan status aset atau harta kekayaan, apakah dirampas sebagai aset negara ataukah dikembalikan kepada yang berhak. Ini menunjukan bahwa Perma 1/2013 sangat melindungi pihak ketiga yang beriktikad baik (bezitter te goeder trouw) dan hak keperdataan warga negara, karena pengumunan tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada pihak-pihak yang merasa berhak atas kepemilikan aset ataupun harta kekayaan untuk mengajukan keberatan. Oleh karenanya, eksekusi terhadap status harta kekayaan tidak dapat dilakukan seketika itu juga, melainkan setelah 30 hari kerja terhitung sejak putusan hakim diucapkan.

Beneficial ownership

Instrumen hukum lain yang dapat dijadikan landas pijak untuk melakukan civil forfeiture terhadap korporasi yang diduga melakukan kejahatan atau menikmati keuntungan dari hasil kejahatan ialah Perpres 13/2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi (Beneficial ownership). Perpres 13/2018 dapat menjadi payung hukum untuk dapat mengungkap secara jelas kepemilikan dan aktivitas suatu perusahaan, melacak sumber aliran dana transaksi yang mencurigakan, serta membekukan aset-aset entitas korporasi ataupun individu yang diduga terlibat dalam suatu kejahatan maupun yang mendapatkan keuntungan dari suatu kejahatan.

Keberadaan Perpres 13/2018 hendaknya tidak dimaknai semata-mata sebagai suatu standar internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, tetapi hendaknya menjadi pemantik terhadap aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan progresif dalam memulihkan kerugian negara melalui penyitaan aset korporasi yang diduga berasal dari suatu kejahatan. Tindakan sedemikian menjadi suatu keniscayaan sebagai langkah antisipatif untuk mengeliminasi praktik-praktik mencari keuntungan ilegal dengan menggunakan korporasi (nomine) ataupun menggunakan korporasi sebagai tempat untuk melakukan penghindaran pajak, pencucian uang, ataupun kejahatan lainnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar