Rabu, 14 Maret 2018

Momentum Pendidikan Politik

Momentum Pendidikan Politik
Listiyono Santoso  ;   Staf Pengajar Mata Kuliah Etika dan Filsafat
di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya
                                                      JAWA POS, 03 Maret 2018



                                                           
TAHAPAN pilkada serentak 2018 sudah memasuki masa kampanye. Kontestan pilkada sudah berikrar kampanye damai. Sebagai bagian penting membangun kehidupan berdemokrasi, kampanye pilkada memang harus dijauhkan dari perilaku dan kegiatan yang kontraproduktif dengan tujuan luhur tersebut.

Kampanye dalam setiap pilkada sesungguhnya menjadi ruang belajar berdemokrasi yang berkeadaban. Kampanye menjadi “ajang” bagi calon kepala daerah untuk menyosialisasikan program-program kerjanya. Melalui kegiatan itu, para calon tidak sekadar belajar membangun citra, tapi juga menunjukkan otoritas politik yang dimiliki. Mereka harus optimal membuktikan bahwa dirinya pantas dan layak dipilih menjadi kepala daerah. Bagi pemilih, kampanye harus dijadikan sebagai tahapan untuk mencermati calon yang berkualitas atau sebaliknya.

Sebagai pemilih, kita harus belajar dari proses pemilihan yang terdahulu. Beberapa kali proses pilkada berjalan, dalam kenyataan, belum cukup mampu menghasilkan kepala daerah yang berkualitas. Alih-alih memimpin dengan cara demokratis dan berkeadilan, justru banyak yang di kemudian hari menjadi tersangka kasus korupsi. Fenomena tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap sejumlah kepala daerah belakangan ini merupakan realitas betapa pilkada belum menjadi “arena” rekrutmen kepemimpinan berkualitas.

Rakyat tidak boleh melakukan kesalahan yang sama dengan membiarkan terpilihnya orang-orang yang tidak bermutu. Yang hanya mengandalkan popularitas atau modal finansial. Yang tiba-tiba muncul sebagai calon tanpa pernah punya track record jelas yang layak untuk dipilih. Rakyat juga harus cermat menentukan pilihan karena pilihannya sangat menentukan kehidupan kebangsaan demokrasi di tingkat lokal.

Kepala daerah yang terpilih harus memiliki otoritas politik, kualitas personal maupun komunal, serta memiliki komitmen pengabdian. Mengapa demikian? Sebab, menjadi kepala daerah bukanlah tempat orang mencari pekerjaan yang kemudian berlimpah akses untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan, yang kemudian dibagi-bagi kepada tim suksesnya.

Selayaknya kita memang pantas mengapresiasi seseorang yang sudah menentukan pilihannya menjadi (calon) kepala daerah. Menjadi kepala daerah sesungguhnya pilihan hidup yang mulia karena di dalamnya bersembunyi keinginan luhur mengabdikan segenap kemampuan demi kepentingan publik.

Pemilih yang Cerdas

Itulah sebabnya, pilkada 2018 harus menjadikan rakyat sebagai subjek politik yang berdaulat dan menentukan. Rakyat tidak boleh hanya menjadi pemilih yang pasif. Yang hanya dijadikan alat legitimasi dan mobilisasi politik semata. Yang berguna saat pemilihan setelah itu nasibnya dilupakan. Sebagai subjek politik, rakyat harus memberdayakan diri dengan memilih secara cerdas.

Rakyat tidak boleh menentukan pilihannya hanya atas dasar uang, popularitas, “tubuh”, kerabat sendiri, atau hal lain yang tidak berhubungan dengan kualitas berpolitik. Moralitas politik kita tidak boleh direduksi hanya dengan iming-iming materi berupa politik uang atau jabatan. Moralitas politik kita adalah moralitas publik untuk kepentingan kehidupan berdemokrasi yang berinti pada nilai keadilan, nilai kebenaran, dan nilai kemanusiaan.

Sebagai bagian dari proses berdemokrasi, pilkada menjadi ajang bagi rakyat Indonesia belajar tentang bagaimana memaknai politik. Sebagai subjek politik, (pilihan) rakyat sangat menentukan dinamisme politik kebangsaan masa depan. Sudah saatnya rakyat menjadi pemilih yang bertanggung jawab, tidak hanya secara politik, tapi juga bertanggung jawab secara moral. Sebab, kita tidak sedang mencarikan pekerjaan bagi seseorang sebagai kepala daerah. Tetapi, kita akan memilih “pemimpin” yang diharapkan memiliki kemampuan mengelola ”kehidupan bersama” menjadi lebih baik.

Pemilih yang bertanggung jawab tidaklah sekadar memilih, tapi juga bertanggung jawab atas pilihannya. Pertama, pemilih yang paham betul rekam jejak siapa yang akan dipilihnya selama ini agar jangan memilih “kucing hitam dalam karung”. Pemilih yang berproses dalam menentukan pilihannya tidak sekadar ikut-ikutan.

Kedua, menentukan pilihan atas dasar kualitas dan otoritas politik calon kepala daerah bukan pada isu kekerabatan, isu agama, apalagi sejumlah uang yang diberikan. Ketiga, saat ini hampir tidak ada calon kepala daerah yang diusung parpol dengan semangat ideologis. Karena itu, sebaiknya tentukan pilihan pada seorang calon yang sejak awal punya track record ideologis yang kuat dan berkomitmen mengabdi secara ikhlas. Jangan pilih calon yang menjadikan dunia politik sekadar sebagai batu loncatan mendapatkan limpahan harta benda atau akses kekuasaan untuk menguasai sumber daya bagi kepentingan sendiri. Bukankah kita sudah jelas mendapat fakta betapa banyak elite politik kita yang menjadikan kekuasaan tidak sebagai amanah, tapi sebagai berkah mendapatkan keuntungan material dari apa yang dikuasainya.

Saatnya kita menjadi pemilih yang cerdas. Pemilih yang berproses dalam memilih serta mampu mengawal dan mengawasi proses pilihannya agar tetap berada pada koridor berpolitik yang berkeadaban. Jangan sampai “salah di tingkat hulu, berakhir fatal di tingkat hilir”. Salah menentukan pilihan di awal berakibat fatal bagi masa depan keindonesiaan kita. ●

1 komentar:

  1. Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Sgp

    BalasHapus