Pilkada
dan Korupsi SDA
Hariadi Kartodihardjo ; Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB
|
KOMPAS,
28 Februari
2018
Biaya politik pemilihan
kepala daerah yang tinggi dianggap sebagai penyebab korupsi kepala daerah.
Pernyataan itu dianggap
benar karena kompensasi atas tingginya biaya itu dicari dari sumber daya
publik dan terdapat kenyataan semakin banyak pimpinan daerah dipidana akibat
korupsi. Tetapi di luar itu, bagaimana peran institusi negara yang mengatur
penyelenggara negara, sehingga terjadi pembiaran terhadap sumber daya publik
yang dikorbankan?
Sejak Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) melakukan koordinasi pelaksanaan nota kesepahaman bersama 12
kementerian/lembaga serta Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam
(NKB/GNPSDA), lima tahun lalu, terdapat setidaknya tiga kenyataan yang dapat
menggambarkan peran institusi negara maupun respons penyelenggara negara yang
terkait korupsi.
Institusi
korupsi
Pertama, dalam institusi
formal negara terdapat institusi bayangan (pseudo-legal institutions) yang
menjadi kerangka kerja korupsi, sebut saja institusi korupsi, dengan aturan
main dan norma tersendiri. Institusi korupsi itu menjalankan fungsi
transaksi-transaksi oleh orang-orang yang sama sebagai penyelenggara negara
dan jaringannya, akan tetapi bukan seperti apa yang dimaksud oleh isi
peraturan perundangan.
Jaringan para
penyelenggara negara itu, apabila dikaitkan dengan perizinan pemanfaatan SDA
sebagai objek yang banyak digunakan, terdiri atas pengusaha, orang atau
lembaga sebagai konsultan atau perantara maupun eminent persons sebagai
penekan. Kenyataan itu didukung oleh data KPK (2017), bahwa selama periode
2004-Mei 2017, dari 650 kasus, 80% pelaku korupsi melibatkan sektor swasta
dan sektor publik/instansi pemerintah, dengan modus utama suap/peras dan
gratifikasi untuk memengaruhi kebijakan penyelenggara negara atau pegawai
negeri.
Transaksi di dalam
institusi korupsi itu membuat penyelenggara negara dapat memberi kesempatan
lebih bagi pengusaha. Misalnya memperoleh izin lebih luas atau tidak
dikurangi luas izin yang dimohon, atau mendapat dukungan penuh apabila
lokasinya ternyata tumpang tindih dengan perusahaan lain atau dengan
masyarakat. Bentuk lain yang juga biasa dilakukan yaitu menjalankan
regulatory capture. Pelanggaran yang sudah terjadi atau akan dilakukan
diupayakan dihapus/dilindungi oleh peraturan perundangan.
Cara demikian itu dapat
dilakukan ,misalnya, melalui penetapan tata ruang. Sebagai contoh, saat ini rancangan
peraturan daerah (Ranperda) Provinsi Riau hanya menyisakan 21.615 hektar
kawasan lindung gambut (KLG), dari 1.693.030 hektar KLG yang tercantum dalam
Naskah Akademik Ranperda RTRWP Riau 2016-2035. Itu pun masih lebih sempit
daripada luas yang tertera dalam SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kerhutanan
(LHK) No 129/2017 tentang Penetapan Peta Kesatuan Hidrologis Gambut Nasional,
dan untuk Riau seluas 2.473.383 hektar sebagai kawasan lindung. Akibat
dihilangkannya KLG tersebut, ditengarai perusahaan-perusahaan ilegal akan
lebih mudah dilegalkan. Hal itu dikuatkan oleh temuan Panitia Khusus DPRD
Provinsi Riau pada saat evaluasi data dalam pelaksanaan NKB/GNPSDA-KPK, bahwa
terdapat tanaman kebun kelapa sawit seluas 1,8 juta hektar yang berada di
luar izin.
Dukungan
regulasi
Kedua, keberlanjutan
institusi korupsi bukan ditopang oleh pelaku-pelaku secara individual atau
bersama-sama, peraturan tidak berjalan atau penegakkan hukum lemah, tetapi
oleh isi peraturan itu sendiri. Diketahui setidaknya terdapat tiga jenis
peraturan yang mungkin menjadi penyebab korupsi (Nagara, 2017), yaitu:
systemic corruptive regulations, criminogenic regulations, serta vulnerable
regulations.
Peraturan jenis pertama
jadi penyebab kerugian negara secara langsung maupun tidak langsung, atau ada
desain kelompok tertentu diuntungkan dan yang lain dirugikan. Jenis kedua,
dapat menyebabkan kondisi jebakan: siapa pun yang bekerja cenderung akan
melakukan korupsi. Jenis yang ketiga, menyebabkan adanya kesempatan yang
terbuka, sehingga mendorong adanya perilaku oportunis.
Misalnya, akibat rendahnya
fasilitas dan gaji yang diterima pengawas produksi hutan dan tambang, membuat
pengawas lapangan itu seperti terjebak melakukan kesalahan, termasuk sengaja
dijebak dengan gaji bulanan oleh perusahaan. Kajian terhadap biaya transaksi
perizinan oleh KPK, 2013-2015, menunjukkan kenyataan itu. Mereka harus setia,
bukan hanya kepada perusahaan, juga kepada atasan atas perintah yang
diberikan, benar atau salah. Di situlah terwujud jalinan pelaku-pelaku
pemberi, pengawas dan pemegang izin, sehingga tak mungkin mereka melaporkan
perbuatan sesamanya. Relasi seperti itu tidak pernah mereka sebut sebagai
perbuatan keliru, karena dituntun oleh ketiga tipe jenis pelaksanaan
peraturan di atas.
Walaupun jalinan tersebut
terlihat hanya di tingkat bawah, tetapi justru menjadi motor penggerak
bagaimana perizinan dapat dimanipulasi dan dibeli dengan harga tinggi, serta
menghasilkan keuntungan berlebihan. Antara lain dari pajak yang tidak dibayar
akibat produksi yang tidak dilaporkan. Kajian KPK (2015) menyebut bahwa
pendapatan negara yang hilang dari kayu bulat yang berasal dari konversi
hutan untuk kebun dan tambang, mencapai Rp 49,8 triliun-Rp 66,6 triliun per
tahun selama periode 2003-2014. Dalam pelaksanaan GNPSDA-KPK, juga mendapat
temuan kekurangan bayar pajak dari pertambangan, perkebunan kelapa sawit,
maupun dari sektor kelautan, tahun 2014, sekitar Rp 126 triliun. Nilai uang
sebanyak itu berpotensi sebagai dana kampanye dalam pelaksanaan pilkada.
Isi buku Routledge
Handbook of Corruption in Asia (2017) menunjukkan kenyataan itu. Disebut
bahwa korupsi di Asia sering kali dikaitkan dengan budaya dalam arti bukan
inisiatif individu, tetapi sudah ada di dalam hubungan sosial masyarakat, di
mana pejabat dan pengusaha membentuk sistem informal sebagai wadah korupsi
dijalankan. Praktik terbanyak berupa suap, penggelapan, pemerasan,
penyalahgunaan wewenang, pembiayaan kampanye ilegal, serta kecurangan dalam
pemilu. Di Indonesia, lingkungan perizinan SDA di lapangan menjadi penopang
utama terlaksananya praktik-praktik itu.
Penutup
Ketiga, dua kenyataan
sebagai penyebab terjadinya korupsi di atas, meskipun sangat berat, dapat
disikapi secara inovatif bagaimana korupsi dikendalikan. Dalam hal ini,
teknologi mampu membangun transaksi yang bersih. Hal itu dibuktikan oleh para
pimpinan daerah yang memenangi Nirwasita Tantra 2016, yaitu penghargaan
Kementerian LHK sebagai green leadership dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Diskresi, keterbukaan informasi, penyelenggaraan sistem daring pemerintahan
maupun pengendalian produksi SDA, mereka lakukan sebagai inovasi efisiensi
birokrasi, anggaran maupun kegiatan. Di sektor kehutanan, dengan adanya
sistem daring untuk pelaporan produksi kayu bulat, dari penuturan beberapa
pengusaha, dapat mengurangi biaya transaksi perizinan hingga 60% dari angka
tahun 2014 sebesar Rp 680 juta-Rp 22 miliar per perusahaan per tahun.
Dalam hal ini, inisiatif
anti-korupsi oleh swasta menjadi sangat penting.
Dari pengalaman
pelaksanaan NKB/GNPSDA-KPK tersebut, dapat ditunjukkan adanya dua faktor yang
saling memengaruhi. Pertama, adanya jaringan, proses sosialisasi dan kooptasi
untuk memproduksi dan mereproduksi institusi korupsi sebagai institusi
bayangan. Kedua, isi peraturan yang berciri systemic corruptive, criminogenic
dan vulnerable regulations. Kedua faktor itu menghasilkan pembiayaan
ilegal—dari tingginya keuntungan tak wajar pemanfaatan SDA—untuk pelaksanaan
pilkada melalui peran negara yang, by design, diperlemah sampai ke tingkat
lapangan.
Untuk itu upaya
pengendaliannya perlu dilakukan sampai ke hulu persoalan, yaitu pembenahan
peraturan pengelolaan dan pengawasan serta birokrasi perizinan, selain
penegakan hukum seperti yang telah dilakukan KPK. Para pemimpin daerah yang
mampu membebaskan diri dari kungkungan politik korupsi perlu didukung
masyarakat luas agar pencegahan korupsi terjamin keberlanjutannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar