Pembelian
Gabah Lesu dan Nasib Petani
M Husein Sawit ; Pendiri House of Rice
|
KOMPAS,
28 Februari
2018
Harga gabah di petani
telah mendekati angka Rp 4.000/kilogram gabah kering panen (GKP). Padahal,
biaya produksi per kilogram (kg) GKP sekitar Rp 4.300/kg.
Penurunan harga terjadi
karena dua hal. Pertama, petani sedang memasuki panen raya, puncaknya
berlangsung awal Maret hingga Mei. Kedua, penggilingan padi (PP), terutama
pengusaha penggilingan padi besar (PPB) enggan membeli gabah dan menyetok
gabah/beras seadanya atau sangat berkurang dari normal. Mereka “takut”.
Bagaimana kira-kira nasib petani pada musim panen raya ini, apakah mungkin
harga GKP melorot ke Rp 3.700/kg?
Pemerintah tampaknya
sangat berkeinginan menurunkan harga beras. Pemerintah berkeyakinan mahalnya
harga beras karena biaya distribusi tinggi serta “permainan” harga yang
dilakukan pengusaha PPB yang merangkap sebagai pedagang beras. Bukan karena kekurangan produksi atau biaya
produksi gabah/beras yang tinggi.
Harga beras juga
dikerangkeng dengan ketetapan harga eceran tertinggi (HET), baik beras
kualitas medium maupun premium. Pada wilayah produsen utama, HET beras
berdasarkan kualitas ditetapkan masing-masing Rp 9.450 dan Rp 12.800/kg. HET
sama tingginya sepanjang tahun seperti HET obat, tanpa mengindahkan tingkat
produksi dan harga gabah yang mengikuti panen menurut musim. Harga gabah
umumnya rendah pada musim panen raya, meningkat di musim panen gadu, tinggi saat
musim paceklik.
Menjelang panen raya,
harga gabah di tingkat petani terus merosot tajam, terutama di wilayah
produsen utama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Saat ini GKP sudah sampai
kisaran Rp 4.200-Rp 4.500/kg, turun sekitar Rp 1.000/kg dibanding beberapa
minggu sebelumnya.
Harga gabah berpotensi terus turun. Kalau harga GKP
mencapai Rp 3.700/kg seperti diinginkan pemerintah, petani pasti merugi, tak
mampu menutupi ongkos produksi. Sekiranya Bulog mampu secara luas membeli
gabah dengan menambah insentif harga di atas HPP yaitu maksimum 20 persen
sesuai kebijakan fleksibilitas harga, maka harga GKP paling tinggi dibeli
Bulog Rp 4.440/kg.
Kalau itu dapat terwujud,
petani akan memperoleh keuntungan sangat tipis, hanya Rp 140/kg, tidak
sepadan dengan risiko dan jerih payahnya.
Selama ini diyakini, harga
GKP yang layak buat petani sekitar 30 persen di atas biaya produksi atau Rp
5.600/kg. Pada musim panen raya ini, hampir tidak mungkin petani memperoleh
harga sebaik itu.
Instrumen
non-pasar
Pemerintah menempuh instrumen
“non-pasar” dalam menstabilkan harga beras dan pengadaan gabah/beras Bulog
dengan mengerahkan Satgas Pangan dan tim Sergab. Para pelaku usaha trauma
dengan “tindakan” Satgas Pangan yang dimotori polisi dan tim Sergap dengan
mengerahkan TNI. Berbagai protes pun muncul.
Di Pinrang, Sulawesi
Selatan, petani berunjuk rasa di kantor DPRD
setempat memprotes operasi
Satgas Pangan yang melarang mereka menjual gabah ke luar kabupaten dan
pengusaha swasta. Mereka “dipaksa” menjual gabah ke Bulog padahal harga
gabah/beras pembelian Bulog jauh di bawah harga pasar. Di Sragen, Jawa
Tengah, petani juga dilarang menjual gabah ke PPB tanpa surat
izin/rekomendasi dari tiga institusi (Dinas Ketahanan Pangan, Kantor Dinas
Perdagangan dan Kantor Dinas Pertanian. Diberitakan ribuan petani demo.
PPB hingga kini masih
trauma dalam membeli dan menyimpan gabah/beras. Banyak di antara mereka
mengurangi bahkan berhenti membeli gabah di musim panen raya. Beberapa dari
mereka beralih menyerap beras asalan, beras kualitas rendah dengan butir
patah sekitar 35 persen, derajat sosoh sekitar 80 persen dari penggilingan
padi kecil (PPK). Beras itu kemudian
diolah ulang menjadi beras premium oleh PPB.
Pembelian gabah petani
bertumpu pada PPK dan Bulog. Daya serap gabah PPK terbatas pada musim panen
raya, bukan saja karena sulitnya perolehan modal kerja, tetapi infrastruktur
PPK lemah. Mereka tak punya pengering mekanis, tanpa tempat penyimpanan gabah
memadai, apalagi dalam bentuk silo. Beberapa minggu terakhir, PPK juga
mengurangi pembelian gabah karena harga gabah/beras terus turun dan
perkembangan harganya tidak menentu serta berisiko rugi.
Bulog menjadi satu-satunya
tumpuan penyerapan gabah/beras petani. Tantangannya, mampukah Bulog menyerap
2,5 juta ton setara beras di musim panen raya ini dalam situasi volume
cadangan beras pemerintah (CBP) rendah, sekitar 300.000 ton dan tanpa program
Rastra. Tanpa penyerapan Bulog dan penggilingan padi dalam jumlah yang
memadai, harga gabah akan terpuruk dan berlangsung pada waktu yang lama.
Dalam kaitan itu,
pemerintah perlu mempertimbangkan hal-hal berikut. Pertama, pemerintah
sebaiknya tak menggiring tujuan kebijakan beras nasional untuk menurunkan
inflasi pangan sebagai tujuan sentral.
Peran Satgas Pangan dan tim Sergab perlu ditinjau ulang, karena
merusak peran pasar serta membuat pelaku usaha takut dan trauma. Hal itu berdampak pada daya serap gabah
petani dan merosotnya harga gabah.
Kedua, penetapan HET
relatif efektif di pasar formal/swalayan yang berasnya disuplai PPB. Namun,
jumlah dan merek beras kemasan kian sedikit yang diperdagangkan. Sebaliknya,
di pasar tradisional dan warung di mana banyak masyarakat umum berbelanja,
harga beras jauh di atas HET. Oleh karena itu, penetapan HET baiknya ditata
kembali berdasar hasil riset yang komprehensif. Kalau pasar beras dipahami
keliru, keliru pula resep untuk mengobatinya seperti sekarang.
Ketiga, pengadaan dalam
negeri Bulog harus menyerap 2,5 juta ton setara beras pada musim panen raya ini. Tanpa itu,
kejatuhan harga gabah akan lebih parah dan meluas, serta terjadi dalam waktu
lebih lama. Kalau Bulog tak berhasil, jangan pula Bulog yang disalahkan.
Sebaiknya pemerintah mengevaluasi kebijakan beras dan instrumen kebijakan
serta asumsi dasar yang digunakan. Mudah-mudahan Indonesia masih menganut
ekonomi pasar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar