Selasa, 13 Maret 2018

Penyebaran Isu Provokatif

Penyebaran Isu Provokatif
Rahma Sugihartati  ;   Dosen Ilmu Informasi FISIP Unair
                                                        KOMPAS, 12 Maret 2018



                                                           
Polisi kembali menangkap pelaku penyebaran hoaks dan isu provokatif di media sosial. Dilaporkan ada empat orang yang ditangkap polisi di Jakarta, Bali, Bangka belitung dan Jawa Barat. Para pelaku ditangkap karena terlibat aktivitas pencemaran nama baik Presiden Jokowi, dan penyebaran ujaran kebencian yang memanfaatkan isu penculikan ulama dan kebangkitan Partai Komunis di Indonesia.  Dalam dua bulan pertama 2018, polisi sudah menangkap 22 orang yang diduga terlibat penyebarluasan hoaks dan ujaran kebencian.

Pada 2017 lalu polisi berhasil membongkar kerja grup Saracen yang secara sengaja memperdagangkan hoaks dan ujaran kebencian layaknya komoditi yang bisa diperjual-belikan. Awal 2018, polisi kembali mengamankan 18 orang karena terlibat aktivitas penyebarluasan ujaran kebencian. Kasus yang terbaru, 26 Februari 2018, polisi telah menangkap lima orang anggota The Family Muslim Cyber Army (TFMCA) yang diduga terlibat dalam kasus yang sama.

 Ancaman yang timbul

Di tahun di mana suhu politik sedang naik, penyebarluasan hoaks dan ujaran kebencian di medsos dan dunia maya harus diakui sangat mencemaskan. Bukan tak mungkin masyarakat yang tidak memiliki literasi kritis yang memadai kemudian menjadi mudah termakan isu yang sengaja “digoreng” di media sosial hingga menjadi bibit dan habitat yang subur bagi munculnya friksi, atau bahkan konflik terbuka di masyarakat.

Seperti dikatakan Jenkins, Ford dan Green (2013), dewasa ini perkembangan teknologi informasi, aplikasi daring dan internet telah meningkatkan kecepatan dan lingkup berbagi pesan media, yang kemudian memunculkan praktik-praktik yang terkadang melanggar etika dan kontra-produktif bagi kemajuan.

Dalam dua tahun terakhir, pengaduan masyarakat naik 900 persen terkait konten kebencian dan informasi bohong di situs internet, akun medsos, aplikasi telepon genggam dan perangkat lunak. Kenaikan pengaduan masyarakat yang luar biasa tinggi ini membuktikan penyebarluasan ujaran kebencian dan hoaks di medsos sudah tak lagi bisa ditoleransi.

Secara garis besar, ancaman bahaya di balik ulah para provokator penyebar ujaran kebencian dan hoaks adalah, pertama, terjadinya akumulasi penyebarluasan ujaran kebencian dan hoaks yang membuat masyarakat tak lagi bisa membedakan mana informasi yang benar dan mana pula yang salah. Ketika ujaran provokatif sengaja dikemas dan disebarluaskan, bukan tak mungkin masyarakat akan mensirkulasi dan meresirkulasi ke teman atau grup medsos lain sehingga dalam hitungan detik telah menyebar pada ratusan, ribuan atau bahkan jutaan pengguna medsos lain.

Di era masyarakat digital di mana dalam hitungan detik warganet dengan mudah bisa mengakses informasi dan menjadi penerima sekian banyak informasi, maka penyebarluasan hoaks dan ujaran kebencian ibaratnya seperti bara api yang mudah menyala karena disiram bahan bakar. Bukannya meredam dan memendam informasi yang dirasa keliru, dalam kenyataan mereka  justru tanpa berpikir panjang menyebarluaskan ke orang lain dengan harapan memperoleh kepuasan dan dukungan sosial.

Kedua, munculnya konstruksi sosial yang salah di masyarakat terhadap kebenaran sebuah informasi, dan ujung-ujungnya akan melahirkan sikap ideologis dan politis yang salah pula. Bagi warga masyarakat yang memiliki preferensi ideologi dan dukungan politik pada kelompok tertentu, dengan mudah mereka akan mudah termakan isu provokatif dan menelan bulat-bulat isu itu layaknya sebuah keyakinan.

Seseorang yang sejak awal sudah tak menyukai orang tertentu, atau seseorang yang sejak awal sudah mendukung pihak tertentu, biasanya dengan mudah akan membenarkan dan kemudian meresirkulasi isu tertentu sepanjang isu itu dianggap menguntungkan kelompoknya. Alih-alih memeriksa kebenaran informasi itu, yang terjadi mereka biasanya malah menjadi prosumer yang menambah bumbu-bumbu informasi lain yang justru kian memperkeruh suasana.

Ketiga, ketika penyebaran informasi yang provokatif dilakukan secara intens, maka cepat atau lambat hal itu akan berpotensi memicu munculnya konflik yang semula laten (latent) menjadi manifest. Pengalaman selama ini telah banyak membuktikan, akibat hoaks dan penyebaran ujaran kebencian, di akar rumput dengan mudah terprovokasi dan tidak segan melakukan aksi kekerasan karena dipicu sentimen yang diberi pupuk informasi hoaks dan ujaran kebencian melalui medsos.

Munculnya berbagai sikap intoleran dan sensitivitas masyarakat yang begitu mudah terprovokasi jika dilacak ke belakang sering berkaitan dengan risiko mereka terkontaminasi informasi bohong dan ujaran kebencian. Narasi dan foto bermuatan kebencian yang banyak bertebaran di medsos, yang diunggah pihak-pihak tertentu dengan pseudo name, sering menjadi pemicu bagi munculnya aksi intoleransi dan bahkan tindak kekerasan.

Jalan pintas

Saat ini, paling tidak ada sembilan kelompok yang tengah diburu aparat kepolisian karena menjadi penebar isu provokatif, yaitu Akademi Tempur MCA, Pojok MCA, The United MCA, The legend MCA, M. Coming, MCA News Legend, Special Force MCA, Srikandi MCA dan M. Sniper. Mereka semua adalah sekelompok orang yang dengan sengaja melakukan proses komodifikasi pada hoaks dan ujaran kebencian untuk mencari keuntungan: semacam tindakan untuk mengail di air keruh yang jahat.

Di tahun 2018 yang disebut-sebut sebagai tahun politik, ulah berbagai kelompok yang melakukan proses komodifikasi terhadap isu provokatif ini, tentunya sangat memprihatinkan. Penyebarluasan isu provokatif bukan hanya berpotensi melahirkan keresahan sosial, tetapi juga kontra-produktif bagi proses pengembangan demokratisasi. Pengalaman selama ini telah mengajarkan, kekuatan medsos sebagai media kampanye sekarang ini jauh lebih efektif daripada iming-iming politik uang. Dalam percaturan politik, keberadaan medsos tak sekadar hanya menjadi media untuk berkomunikasi dan menyebarluaskan program para kandidat, tetapi sering kali pula medsos dimanfaatkan untuk melakukan pembunuhan karakter lawan, melakukan pencemaran nama baik lawan, dan bahkan dengan cara menyebarluaskan berita bohong.

Fitnah, ujaran kebencian, berita hoaks adalah makanan keseharian yang dihadapi elite politik ketika kehidupan berdemokrasi yang sehat belum sepenuhnya terbentuk. Alih-alih beradu program dan tampil secara terbuka di televisi dalam acara debat antarkandidat untuk mendemonstrasikan siapa yang lebih menguasai persoalan, dan program siapa yang lebih menjanjikan, dalam kenyataan tak jarang para pendukung kandidat politik tertentu memilih jalan pintas.

Ketika masyarakat masih belum memiliki tingkat literasi kritis memadai, kemungkinan mereka terperdaya oleh berita hoaks dan ujaran kebencian memang sangat besar. Daripada bersusah-payah menyiapkan diri dan membangun reputasi untuk berkompetisi secara sehat, memanfaatkan medsos untuk menebar kampanye hitam adalah pilihan yang acapkali lebih menarik.

Kehidupan privat elite politik yang maju dalam persaingan di Pilkada biasanya menjadi sasaran empuk untuk dikritisi dan dijadikan amunisi menembak kelemahan lawan. Berbeda dengan di Amerika Serikat di mana masyarakat relatif sudah bisa membedakan mana ranah privat dan mana pula kinerja seorang pemimpin yang obyektif, di Indonesia dua hal itu sering kali dicampuradukkan.

Sebaik apapun kinerja seorang pemimpin, ketika di wilayah privat mereka memiliki sedikit saja kesalahan di masa lalunya, maka bisa dipastikan hal itu akan menjadi amunisi bagi lawan politiknnya untuk menyerang habis-habisan hingga memenangkan persaingan.

Kasus yang terjadi dalam dinamika politik di DKI Jakarta, di Jawa Timur, dan di berbagai daerah lain di Tanah Air adalah sebuah pelajaran yang sangat berharga. Semoga kedewasaan sikap politik dan tingkat literasi masyarakat makin tumbuh menghadapi tahun politik yang penuh intrik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar