Parpol
dan Korupsi di Daerah
Ramlan Surbakti ; Guru Besar Perbandingan Politik FISIP Universitas Airlangga;
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
26 Maret
2018
Sebanyak 75 kepala daerah
ditahan KPK sejak 2004 hingga 2017 dan sebanyak 144 anggota DPR/DPRD ditahan
KPK sejak 2007 sampai 2017 (”Kompas”, 14 dan 15 Februari 2018). Setelah
tanggal 15 Februari 2018, KPK kembali menangkap dua kepala daerah, yaitu Wali
Kota Kendari dan Bupati Lampung Tengah. Mengingat baik kepala daerah maupun
anggota DPR/DPRD berasal dari partai politik, patutlah dipertanyakan mengapa
sebagian dari kader parpol terlibat dalam praktik korupsi.
Partai politik sangat
diperlukan demi berfungsinya demokrasi perwakilan dan pemerintahan
demokratis. Akan tetapi, parpol saja tak cukup mampu untuk menggerakkan
demokrasi perwakilan dan pemerintahan demokratis. Diperlukan sejumlah faktor
lain, seperti negara hukum (rule of law), kebangsaan yang kokoh, pembagian
kekuasaan yang seimbang dan saling mengawasi, serta partisipasi aktif warga
negara dalam proses politik.
Dua
peran penting parpol
Parpol dipandang mutlak
diperlukan bagi berfungsinya demokrasi perwakilan dan pemerintahan demokratis
karena parpol melaksanakan dua peran penting.
Pertama, menyiapkan
(kaderisasi), menyeleksi, dan menawarkan calon pemimpin kepada rakyat melalui
pemilu. Calon pemimpin yang ditawarkan kepada rakyat melalui pemilu dan
pilkada merupakan produk dari kaderisasi yang berjenjang (tingkat dasar,
madya, dan paripurna) dan hasil seleksi dari kader partai yang telah mencapai
paripurna.
Orang yang mengikuti
kaderisasi merupakan seleksi dari anggota partai yang memenuhi persyaratan
yang ditetapkan dalam UU dan berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh
partai. Tujuan kaderisasi tidak hanya terfokus pada peningkatan keterampilan
berorganisasi, perluasan dan pendalaman kompetensi pemerintahan serta
kepemimpinan politik. Akan tetapi, yang tidak kalah penting adalah pemahaman
dan komitmen akan parpol sebagai pengabdian kepada kepentingan publik
berdasarkan ideologi partai (negara dan bangsa yang dicita-citakan).
Menyiapkan calon pemimpin
seperti ini pasti tidak bisa bersifat instan. Calon pemimpin yang ditawarkan
kepada rakyat melalui pemilu adalah hasil pemilihan pendahuluan yang
dilakukan para anggota partai dari kader/calon pemimpin yang diajukan partai.
Mereka yang diajukan partai merupakan hasil seleksi dari para kader yang
telah melalui kaderisasi berjenjang. Dengan demikian, calon pemimpin yang
ditawarkan kepada rakyat/pemilih bukan asal comot karena popularitas atau
mempunyai uang banyak, tetapi merupakan hasil seleksi dari anggota partai
yang telah melalui kaderisasi paripurna.
Kedua, merumuskan rencana
kebijakan publik berdasarkan aspirasi rakyat yang dituntun oleh ideologi
partai dan menawarkannya kepada rakyat melalui pemilu. Rencana kebijakan yang
ditawarkan kepada rakyat melalui pemilu bukan visi dan misi yang cenderung
abstrak dan tidak terukur. Rencana kebijakan yang ditawarkan tersebut
merupakan serangkaian program konkret yang bersifat terukur untuk mengatasi
masalah yang dihadapi oleh rakyat. Rencana kebijakan tersebut tidak saja
merupakan hasil kajian dan analisis atas permasalahan yang dihadapi oleh
bangsa dan daerah, tetapi juga berdasarkan aspirasi rakyat.
Ideologi partai merupakan
penuntun dalam merumuskan rencana kebijakan tersebut. Rencana kebijakan yang
bersifat terukur itu akan diperjuangkan dalam proses pembuatan keputusan
politik demi kepentingan umum. Karena itu, parpol lebih dikenal publik bukan
dari siapa ketua umum atau elite partai yang populer, melainkan dari rencana
kebijakan yang diperjuangkan.
Empat
pola perilaku parpol
Apakah partai politik di
Indonesia telah melaksanakan kedua peran itu secara memadai? Tampaknya belum,
sebagaimana dikemukakan di bawah ini. Setidak-tidaknya terdapat empat pola
perilaku partai politik di Indonesia.
Pertama, parpol tidak
dikelola secara demokratis (intra-party democracy yang lemah), tetapi
dikelola secara oligarki, bahkan personalistik. Pengelolaan partai secara
demokratis berarti pengambilan keputusan partai yang menyangkut isu
penting—seperti penentuan calon anggota DPR dan DPRD, penentuan pasangan
calon presiden dan wakil presiden, penentuan pasangan calon kepala dan wakil
kepala daerah, serta perumusan rencana kebijakan partai—melibatkan anggota.
Hal ini sejalan dengan hak
anggota partai politik sebagaimana diatur dalam UU tentang Partai Politik
(yang berbunyi: ”Setiap anggota partai berhak memilih dan dipilih”). Akan
tetapi, dalam praktiknya, hak anggota tersebut dialihkan kepada pengurus
partai dalam AD/ART partai. Penentuan calon anggota DPR dan DPRD sama sekali
tidak melibatkan anggota partai, tetapi sepenuhnya ditentukan oleh pimpinan
puncak partai. Penentuan calon kepala dan wakil kepala daerah juga tidak
melibatkan anggota partai, tetapi sepenuhnya ditentukan oleh pimpinan puncak
partai politik. Penentuan pasangan calon presiden dan wakil presiden juga
tidak melibatkan anggota.
Karena itu, partai politik
cenderung lebih sebagai pengorganisasian pengurus daripada pengorganisasian
warga negara yang menjadi anggota partai. Pengambilan keputusan mengenai
calon dan pasangan calon yang sepenuhnya ditentukan oleh pimpinan puncak
partai merupakan sumber penyebab mahar politik. Ditetapkan sebagai
calon/pasangan calon karena telah memberikan sumbangan dalam jumlah yang
cukup besar dan apabila terpilih dana itu harus kembali dari hasil korupsi.
Kedua, partai tidak
melaksanakan kaderisasi calon pemimpin secara sistematik, berjenjang, dan
komprehensif. Sejumlah partai membuka sekolah calon kepala daerah ataupun
kaderisasi tingkat nasional, tetapi tidak berjenjang dan tidak berkelanjutan.
Kalaupun melakukan kaderisasi cenderung bersifat instan. Bahkan, sebagian
calon kepala daerah ataupun calon anggota DPR dan DPRD baru jadi anggota
partai ketika ditawari jadi calon.
Kaderisasi yang bersifat
instan tersebut tidak mampu membentuk pemahaman, wawasan, dan komitmen kader
akan visi dan misi partai sebagai pengabdian bagi kepentingan umum
berdasarkan ideologi partai. Calon pemimpin yang bukan produk kaderisasi yang
bersifat berjenjang atau kaderisasi yang bersifat instan tersebut
menghasilkan calon anggota DPR/DPRD dan pasangan calon kepala dan wakil
kepala daerah yang memandang parpol bukan sebagai pengabdian bagi kepentingan
umum, melainkan memandang partai sebagai sarana mendapatkan jabatan, uang dan
fasilitas, dan akses politik. Upaya menyiapkan calon pemimpin politik yang
memandang partai sebagai pengabdian bagi kepentingan umum tidak bisa bersifat
seketika.
Penjabaran ideologi partai
dalam berbagai kebijakan publik seharusnya menjadi salah satu kurikulum
kaderisasi. Apabila dilakukan, hal itu akan menimbulkan dua dampak positif.
Dampak pertama, calon pemimpin produk kaderisasi akan memandang partai
politik bukan sebagai sarana mendapatkan jabatan, uang dan fasilitas, serta
akses politik, melainkan akan memahami dan memiliki komitmen memandang dan
memperlakukan partai politik sebagai sarana pengabdian bagi kepentingan umum
berdasarkan ideologi partai. Ideologi partai tidak lagi dilihat sekadar
tontonan (warna, tokoh, tanda gambar, mars, pidato berapi-api), tetapi akan
dilihat dan digunakan sebagai sumber tuntunan dalam merumuskan kebijakan
publik dan sumber tuntunan bagi perilaku pengurus dan kader partai. Dan,
dampak kedua, masyarakat umum akan mengenal suatu partai bukan dari
popularitas tokohnya, melainkan dari kebijakan publik yang diperjuangkan para
kadernya. Kedua hal ini sudah barang tentu mencegah perilaku korupsi dari
para kader sebagai pemimpin politik.
Cenderung
terfragmentasi
Ketiga, komposisi
keanggotaan DPRD cenderung fragmentaris alias terlalu banyak partai yang
memiliki kursi di DPRD, tetapi jumlah kursi yang dimiliki relatif seimbang
(tidak ada partai yang mencapai mayoritas di sebagian terbesar DPRD, bahkan
tidak ada partai yang memiliki kursi sebanyak 20 persen atau lebih di
sebagian besar DPRD). Konsekuensi komposisi keanggotaan yang terfragmentasi
tersebut adalah pola pengambilan keputusan menggunakan model ”bancakan”
(bagi-bagi pasal, bagi-bagi anggaran, atau bagi-bagi posisi) alias kolutif
daripada musyawarah untuk mufakat ataupun berdasarkan suara terbanyak.
Susunan DPRD yang fragmentaris menyebabkan kepala daerah cenderung
menggunakan kepemimpinan transaksional dalam upaya mendapatkan dukungan dan
persetujuan DPRD terhadap RAPBD.
Keempat, partai politik
tidak memiliki sumber penerimaan yang memadai. Partai melaksanakan peran
penting berdasarkan konstitusi, tetapi negara hanya memberikan Rp 1.000 per suara
untuk membiayai kegiatan partai. Sumber penerimaan utama partai bukan iuran
anggota, melainkan sumbangan kader yang menduduki jabatan di DPR/DPRD
(dipotong dari gaji anggota DPR dan DPRD) dan eksekutif serta upaya pengurus
inti partai mencari sumber penerimaan lain.
Konsekuensi dari situasi
ini adalah hanya mereka yang memiliki sumber daya ekonomi memadai (milik
sendiri atau mampu menarik sumber daya dari para pengusaha) yang bersedia
menjadi pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah atau menjadi calon
anggota DPR/DPRD. Setelah terpilih, mereka cenderung menggunakan jabatan
untuk mendapatkan uang tidak hanya agar dapat dicalonkan kembali, tetapi juga
agar terpilih kembali.
Apabila pengamatan ini
benar, keberadaan parpol di Indonesia belum sepenuhnya berdasarkan dua peran
sebagaimana dikemukakan di atas. Ketidakmampuan partai politik di Indonesia
dalam melaksanakan dua peran penting tersebut tidak hanya menunjukkan kadar
demokrasi Indonesia, tetapi juga menjadi salah satu penyebab politisi terlibat
dalam praktik korupsi. Partai politik tampaknya masih lebih banyak sebagai
sumber masalah daripada sumber solusi bagi bangsa dan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar