Korupsi
Yudisial
Frans H Winarta ; Mantan Anggota Governing Board
Komisi Hukum Nasional Indonesia
|
KOMPAS,
26 Maret
2018
Berita tertangkapnya
hakim, panitera, dan seorang advokat atas dugaan suap pada pengadilan tingkat
pertama wilayah Tangerang merupakan fenomena puncak gunung es di dalam
lembaga peradilan Indonesia. Pada umumnya, masyarakat sudah mengetahui apa
yang terjadi, tetapi belum ada tindakan konkret dari Mahkamah Agung Republik
Indonesia untuk mengatasi hal ini.
Yang terjadi saat ini
adalah pengawasan internal hakim oleh MA tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Di lain sisi, pengawasan eksternal hakim oleh Komisi Yudisial RI sangat
dibutuhkan dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sistem checks and balances
harus ada untuk menghindari perilaku tidak terpuji yang dilakukan oleh hakim
yang dapat mencoreng marwah (kehormatan diri) lembaga peradilan yang luhur.
Jadi, jika ada pendapat yang menyatakan bahwa hakim tidak perlu diawasi,
tentu hal tersebut tidaklah benar.
Lemahnya pengawasan pada
hakim merupakan sumber permasalahan terjadinya kasus korupsi dan suap di
negeri ini. Selain itu, standar sistem perekrutan hakim yang kurang baik juga
mengakibatkan para hakim tidak memenuhi syarat untuk menjalankan profesinya
dengan profesional sesuai dengan kode etik profesi hakim.
Meskipun standar kelayakan
hidup hakim sudah meningkat, korupsi dan suap yang terjadi di lapangan belum
juga sirna. Sebab, masalah korupsi yudisial ada pada integritas para hakim
yang konon dianggap sebagai wakil Tuhan.
Sosok hakim seharusnya
berintegritas, bermoralitas tinggi, berwibawa, serta memiliki kebijaksanaan
(wisdom) dan rasa adil sesuai dengan hati nurani. Dalam menjalankan profesinya, sosok hakim
harus memiliki judicial discretion atau sikap imparsial (tidak memihak) dan
sikap independen (tidak terikat) dalam memutus perkara.
Henry J Abraham dalam
bukunya, The Judicial Process (1993), menyebutkan pengertian judicial discretion sebagai berikut: ”Enlightened by intelligence and learning,
controlled by sound principles of law, of firm courage combined with the
calmness, of a cool mind, free from partiality, not swayed by sympathy nor
warped by prejudice nor moved by any kind of influence save alone the overwhelming
passion to do that which is just…”.
Hakim harus dapat
menjauhkan diri dari segala bentuk janji-janji, fasilitas, uang, dan tawaran
lainnya dari siapa pun sebagai sifat imparsial dan independen yang harus
dimilikinya. Di sini kualitas seorang hakim dengan posisinya sebagai ”wakil
Tuhan” menjadi taruhannya. Sebab, dalam setiap putusan pengadilan (hakim)
selalu diawali irah-irah: ”Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”.
”Obstruction
of justice”
Ada suatu pemeo yang
berkata bahwa harkat dan martabat suatu bangsa ditentukan oleh perilaku
advokat dan ahli hukumnya (para yuris). Tidak dapat dimungkiri bahwa andil
advokat cukup besar karena it takes two to tango, tidak mungkin hakim bekerja
sendiri dalam konspirasi tersebut. Padahal, dalam menjalankan profesinya,
kejujuran seorang hakim dan advokat adalah hal utama.
Dalam profesi advokat
sendiri, Abraham Lincoln, mantan Presiden AS yang juga merupakan seorang
advokat, suatu waktu dulu pernah berkata: ”If
in your own judgment you cannot be an honest lawyer, resolve to be honest
without being a lawyer. Choose some other occupation, rather than one in the
choosing of which you do, in advance, consent to be a knave.” (The Collected Works of Abraham Lincoln,
1953)
Integritas advokat sangat
dibutuhkan oleh masyarakat atau pencari keadilan dalam menjalankan
profesinya. Namun, saat ini, masih banyak advokat yang melakukan obstruction
of justice, yaitu tindakan menghalangi proses hukum atau mengacaukan fungsi
peradilan. Contohnya memalsukan atau merekayasa bukti, mengecoh polisi, atau
menganjurkan klien untuk menghindar dari penegak hukum, dan termasuk juga
memengaruhi atau menyuap hakim.
Ada prinsip res judicata
pro veritate habetur di mana apa yang diputus majelis hakim haruslah dianggap
benar. Namun, putusan tersebut haruslah didasarkan pada keyakinan dan
kebijaksanaan dari hakim. Putusan yang dibuat oleh hakim bukanlah putusan
yang dibuat berdasarkan pesanan atau perintah pihak lain.
Putusan hakim harus
didasarkan keyakinan dan kebijaksanaan dan seluruh pihak yang beperkara,
termasuk advokat, harus menghormati putusan pengadilan tersebut. Tidak
dibenarkan jika seorang advokat malah memberi hakim sejumlah uang dan hakim
menerimanya tanpa rasa bersalah untuk mengubah isi putusan demi kepentingan
klien yang dibela oleh advokat atau pihak yang beperkara.
Terakhir, tetapi tak kalah
penting, kesadaran publik terhadap sikap antikorupsi sendiri harus
ditingkatkan karena hal tersebut merupakan tanggung jawab profesi hukum
terkait dengan kejujuran dan janji untuk setia dan patuh terhadap hukum,
seperti yang telah disebutkan di dalam sumpah jabatan masing-masing.
Konspirasi yang dilakukan antara hakim, advokat, dan panitera berupa korupsi
yudisial dan suap telah merusak tatanan hukum dan membuat publik memandang
sebelah mata terhadap profesi hukum di Indonesia.
Hakim dan advokat bersama-
sama dengan penegak hukum lainnya harus dapat menjalankan tugasnya dengan
sebaik-baiknya sehingga kepercayaan publik meningkat dan kemudian akan
meningkatkan kesadaran dan kepatuhan serta rasa hormat akan hukum serta
norma-norma yang berlaku bagi masyarakat. Singkat kata, para penegak hukum
dan profesi hukum haruslah dapat menciptakan masyarakat yang taat (tunduk)
terhadap hukum dan hormat kepada hukum (law abiding-society).
Jangan sebaliknya malah
memberi contoh buruk dan mengajarkan masyarakat untuk tidak taat hukum dan
menghindar dari proses hukum yang harus dijalani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar