Muslim
Cyber
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan
Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
03 Maret
2018
ORANG yang waras sudah pasti akan
mengapresiasi langkah kepolisian untuk memberangus apa yang disebut sebagai
kelompok Muslim Cyber Army. Kelompok ini menyebarkan berita kebohongan dengan
isu-isu provokatif di berbagai media sosial. Sejumlah pelaku sudah ditangkap.
Kita berharap agar pelaku ini diproses secara
hukum. Bahwa di antara mereka sudah mengaku menyesal dan bahkan minta maaf,
tentu hal itu tak akan menghentikan proses hukum. Sudah berkali-kali ada
pelaku yang gemar mengumbar ujaran kebencian kemudian menyatakan meminta maaf
setelah ditangkap. Sepertinya permintaan maaf itu tak ada efeknya bagi pelaku
yang lain. Seolah-olah ada anggapan, toh jika ketahuan dan sampai tertangkap,
cukup dengan meminta maaf.
Banyak yang sudah mengecam kelompok Muslim
Cyber Army ini karena apa yang diperbuatnya bisa meresahkan masyarakat.
Dukungan kepada polisi, khususnya Bareskrim Polri, mengalir dari sejumlah
tokoh, politikus, bahkan sampai Ketua MUI, yang meminta agar kelompok ini
diusut hingga tuntas. Namun ada banyak pula orang yang berhati-hati
memberikan komentar terhadap kelompok ini, terutama dari kalangan non-muslim,
khususnya adalah saya. Karena itu, sejak mengawali tulisan ini,
kalimat-kalimat yang saya susun penuh kehati-hatian dan nyaris seperti
"menulis berita biasa". Semoga Anda tak mengira saya
"kehilangan angin".
Kenapa saya berhati-hati mengomentari Muslim
Cyber Army? Ya, karena ada kata "muslim" yang dipakai kelompok itu.
Kalau saya menggebu-gebu memberi komentar-dan orang tahu bahwa komentar saya
pastilah sama dengan Ketua MUI yang ingin kasus ini diusut tuntas-ada
kemungkinan saya akan mendapat cercaan lebih ganas di media sosial yang saya
ikuti. Baru menulis kalimat "salut untuk polisi, lanjutkan..." saat
menanggapi unggahan Bareskrim Polri di media sosial, saya langsung mendapat
balasan yang aneh. Misalnya "lu bukan muslim, jangan ikut campur"
atau balasan "negara kok anti-Islam...", dan beberapa lagi. Segera
saya menyadari bahwa kasus ini ternyata ada yang membela, tentu saya tak
perlu mengusutnya apakah para pembela itu menggunakan akun abal-abal atau
tidak.
Bagi saya awalnya, kata "muslim"
dalam Muslim Cyber Army hanyalah sekadar nama, bukan mewakili kaum muslim
secara umum. Artinya bukan suara umat Islam. Yang saya tahu dan sampai
sekarang saya amat yakin, umat Islam itu sangat toleran dan sangat mencintai
kedamaian. Tidak mungkin menebar kebencian dan memprovokasi permusuhan
sebagaimana yang dilakukan kelompok Muslim Cyber Army. Dan polisi pun, dalam
menindak pelaku kejahatan di media sosial, tak peduli dengan label
"muslim" di kelompok itu. Saya yakin kalau misalnya ada kelompok
sejenis yang melakukan provokasi dan menyebar berita bohong dengan nama Hindu
Cyber Army atau Kristen Cyber Army-bahkan Sunda Wiwitan Cyber Army-pasti
polisi akan menindaknya pula. Yang ditindak itu bukan lantaran label agama,
melainkan perilaku anggotanya.
Kalau pembela Muslim Cyber Army adalah
"anak baru gede" (tapi bukan generasi Dilan dan Melia yang cerdas)
lewat akun dengan nama sembarangan, saya tak begitu risau. Tapi ada Yang
Terhormat Wakil Ketua DPR yang juga condong "membela" Muslim Cyber
Army, setidaknya tak suka dengan tindakan kepolisian-yang dianggap pesanan
pemerintah-menangkapi kelompok ini.
Saya kira kalau kita sepakat menjaga kerukunan
dan keutuhan bangsa dan sepakat bahwa menyebarkan berita bohong dan
provokatif adalah berbahaya, seharusnya kita bersatu memerangi
kelompok-kelompok seperti ini, apa pun label agamanya. Setuju? ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Hk
BalasHapus