Senin, 12 Maret 2018

Bahaya Penyakit Kronis Tanpa Gejala

Bahaya Penyakit Kronis Tanpa Gejala
Djoko Santoso ;  Guru Besar FK Universitas Airlangga;
Konsultan Ginjal dan Hipertensi
                                              MEDIA INDONESIA, 10 Maret 2018



                                                           
SETIAP Maret selalu diperingati hari ginjal sedunia. Tahun ini jatuh pada Kamis, 8 Maret. Umat manusia diharapkan berefleksi diri terhadap penyakit ginjal yang menakutkan dampaknya. Tak hanya melibatkan penderita gagal ginjal kronis (GGK), tetapi juga saudara, kerabat, masyarakatnya, dan pemerintah. Terutama memberi perhatian kepada kaum perempuan, sesuai tema Hari Ginjal Sedunia tahun ini, yakni Kidneys and women’s health (Ginjal dan kesehatan perempuan). Kita menebar aura damai sejahtera dan penuh harap ceria khususnya pada yang menderita agar diringankan bebannya dari kondisi kehilangan pekerjaan, hak-hak hidup, dan sosialnya.

Problem GGK memang makin serius. Sebab utamanya tak lain gaya hidup, yang berefek obesitas. Tahun lalu tema Hari Ginjal Sedunia sudah mengangkat Obesity and kidney disease. Sebenarnya banyak negara sudah melakukan terobosan berbagai program, seperti program percontohan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat, pengawasan epidemiologi dengan memperluas upaya skrining. Namun, berdasarkan data prevalensi kasusnya bervariasi hingga ada yang meroket tajam. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) terakhir pada 2013, prevalensi kelompok umur 15 tahun ke atas prevalensi GGK hanya 0,2%. Angka itu jauh lebih rendah daripada negara lain. Menurut American National Health and Nutrition Examination Survey 2007, prevalensi GGK stage 1-4 10% (antara 1988-1994) dan meningkat menjadi 13% (1999-2004). Adapun berdasar jumlah GGK di Amerika pada 2003 untuk GGK stadium 1, 2, 3, masing-masing sebesar 5,9 juta, 5,3 juta, dan 7,6 juta pasien GGK.  Mengapa begitu?

Tidak bergejala khusus

Pertama, penyakit ini sangat tidak bergejala secara khusus. Sering penderitanya hanya merasa lelah. Kerap dipikir sebagai flu atau kecapaian semata. Akibatnya, sering tak dianggap serius. Juga kerap tak ada rasa sakit serius di pinggang, tempat ginjal. Sampai mereka kaget ketika mengetahui bahwa tekanan darah tinggi yang terus-menerus telah menyebabkan kerusakan ginjal parah. Tubuhnya tidak dapat lagi menyaring produk limbah dari darahnya. Lebih kaget lagi bila harus memulai dialisis (cuci darah) seumur hidup atau cangkok ginjal!

Para penderita penyakit ginjal kronis itu didominasi hipertensi atau diabetes yang tidak terkontrol sebagai pemicunya. Lalu dari peningkatan drastis secara signifikan ini, sebagian besar justru terkait dengan peningkatan obesitas dan penuaan populasi dalam periode 10 tahun terakhir ini. Kita tahu, obesitas juga meningkat di negeri kita, karena gaya hidup yang kurang seimbang antara gerak dengan melahap makanan yang menggoda selera. Data yang dilaporkan Wiguno dkk di jurnal In Ethnicity & Disease; 2009 menyebutkan penyebab gagal ginjal terminal pada pasien yang meninggal menjalani cuci darah ialah penyakit glomerulonephritis (36,4%), ginjal obstruktif (sumbatan misal karena batu) 24,4%, diabetes 19,9%, hipertensi 9,1%, lainnya 10,2%. Namun seiring dengan waktu, penyebab GGK saat ini cenderung didominasi diabetes dan hipertensi juga seperti yang ada di negara lain.

Untuk obesitas yang meningkatkan risiko dari faktor risiko utama penyakit ginjal kronik (seperti hipertensi dan diabetes) angka prevalensinya di Indonesia sebesar 5,7% (Riskesdas 2013). Disebutkan lagi obesitas pada kelompok umur di bawah 18 tahun sebesar 14,8% dan berat badan lebih ditemukan sebesar 11,5% serta obesitas sentral terjadi 26,6% penduduk. Angka itu menunjukkan peningkatan jika dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2007 dan 2010. Dalam perkembangan mutakhir, bisa diperkirakan efek obesitas ini meningkat lagi.
Negara maju pun kewalahan dengan penyakit ginjal. Prevalensi keseluruhan GGK di Amerika meningkat dari 12% menjadi 14% antara tahun 1988 dan 1994 dan dari 1999 sampai 2004, namun tetap relatif stabil sejak 2004. Kenaikan terbesar terjadi pada orang dengan GGK stadium 3, dari 4,5% menjadi 6,0%, sejak 1988.

Kondisi ini tentu meningkatkan beban tambahan dari sistem perawatan kesehatan yang sudah sangat berat sebelumnya dan akan menjadi lebih buruk sekalipun ini terjadi di negara maju seperti Amerika, Eropa, atau Jepang. Bisa dibayangkan setiap satu juta penduduknya, negara tersebut kemungkinan diperkirakan harus menyiapkan 300–500 mesin hemodialisis. Pada 2005 Amerika harus menyiapkan biaya pengobatan yang tinggi, yaitu sebesar US$32 miliar (sekitar Rp430 triliun) untuk sekitar 485.000 orang hidup dengan dialisis atau dengan transplantasi. Itu merupakan jumlah yang lebih dari seperempat pengeluaran tahunan medicare-nya Amerika.

Kedua, ada problem besar dalam konteks persepsi. Kebanyakan orang hanya tahu sedikit tentang penyakit ginjal kronis dan mereka jarang bertanya kepada petugas kesehatan tentang fungsi ginjal. Ketidaktahuan itu terlihat dari banyaknya jumlah mereka yang berstatus sehat palsu, sedangkan mereka hanya mengalami gejala nonspesifik seperti kram otot, tidak bertenaga, dan problem konsentrasi berpikir. Bahkan, ketika berpikir tentang penyakit ginjal, yang ada dalam pikirannya mayoritas masyarakat cuma hanya mengenal istilah cuci darah atau cangkok ginjal. Mereka tidak mengerti bahwa hal itu mencakup spektrum yang luas dari sederetan proses gagal ginjal kronis.

Mereka juga tidak merasa terancam dari akibat penyakit ginjal kronis. Andaikan paham tentu tidak akan mau mengambil risiko. Penyakit ginjal kronis dapat merusak sistem jantung-pembuluh darah dan menyebabkan kondisi medis serius lainnya, seperti anemia, kekurangan vitamin D dan kelainan tulang. Kesemua itu mungkin memberikan dampak pasien meninggal duluan karena penyakit jantungnya daripada menderita gagal ginjalnya.

Ketiga, sekalipun tidak mengenal pengelompokan, ada kecenderungan penyakit ini semakin besar pada kelompok orang yang tidak beruntung secara ekonomi yang menderita hipertensi dan diabetes yang demikian tidak proporsional dalam hal jumlah. Dan sebagian sisanya, disebabkan kelainan genetik, penyakit autoimun seperti lupus eritematosis sistemik, penggunaan obat-obatan tertentu yang berkepanjangan seperti obat antiinflamasi, dan radang ginjal yang disebut glomerulonefritis. Jika demikian, tidak mudah untuk menyelesaikan kejadian gagal ginjal kronis ini mengingat kompleksitas yang melekat padanya.

Maka dari itu, penyelesaiannya tetap saja kembali pada sederetan program, seperti program percontohan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat, pengawasan epidemiologi dan memperluas upayanya untuk men-skrining orang-orang yang dianggap paling berisiko. Seperti orang-orang dengan tekanan darah tinggi, diabetes, atau riwayat keluarga penyakit ginjal, pengontrolan dengan baik dari pola hidup sehat seperti gerakan berhenti merokok, menurunkan berat badan bila perlu, berolahraga teratur, membatasi diet dan jika perlu, mengendalikan tekanan darah dan diabetes dengan pengobatan. Hanya di sini perlunya pendalaman dan pengembangan dari langkah-langkah tersebut sehingga bisa dengan mudah dicapai proses internalisasi dalam pola budaya mereka seiring berjalannya waktu.
Selanjutnya perlu penganggaran program promosi dan prevensi. Amerika melalui alokasi anggaran tahunan US$85 juta (sekitar Rp1,2 triliun) di maksudkan untuk program pendidikan-penyuluhan, aspek kebijakan dan penelitian. Mereka melakukan skrining gratis untuk orang dewasa yang berisiko terkena penyakit ginjal, mengembangkan penerbitan media komunikasi, komunikasi melobi tentang masalah pengobatan dan kebijakan, melakukan pendidikan publik dan penjangkauannya yang luas. Dalam hal aspek profesi, bisa dikembangkan pedoman yang memberi panduan pada dokter mengenai berbagai aspek penyakit ginjal kronis, pedoman praktik yang praktis, pedoman pengobatan anemia terkait dengan penyakit ginjal kronis, pedoman dasar ginjal seperti kriteria klinis untuk menentukan setiap tahap penyakit, dan sebagainya.

Dari pihak berwenang perlunya mengetahui tentang epidemiologi dan efisiensi biaya penyakit ginjal kronis dengan melalui pusat kontrol yang dibentuk kelompok keahlian. Pemerintah bisa mengembangkan sistem surveilans komprehensif, mengorganisasi proyek percontohan bagi orang-orang yang berisiko tinggi di daerah-daerah, mempelajari implikasi keuangan dan efektivitas biaya berbagai intervensi, menghasilkan prakarsa-prakarsa, pengembangan pendidikan dan skrining yang semuanya terkait dengan penyakit ginjal kronisi.

Dengan demikian, peringatan hari ginjal sedunia bisa diharapkan besar kemungkinan dapat menggugah kembali semangat menjadikan masyarakat senantiasa sadar terhadap hipertensi dan diabetes yang sangat erat kaitannya dengan penyakit ginjal kronis. Sehingga tidak menjadikan mereka terperangkap dalam kehidupannya sendiri untuk jatuh dalam risiko terkena gagal ginjal kronis. Semoga ini mampu mengantarkan kesejahteraan organ ginjal yang begitu menakjubkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar