Senin, 12 Maret 2018

Anomali Politik 4.0

Anomali Politik 4.0
M Subhan SD  ;   Wartawan Senior Kompas
                                                        KOMPAS, 10 Maret 2018



                                                           
Pemilihan presiden digelar tahun depan. Tetapi, aromanya sudah tercium begitu menyengat. Ibarat parfum sudah menusuk ruang penciuman. Partai politik melakukan lobi-lobi dan bersimulasi membangun koalisi. Lima partai telah lama bersikap. PDI-P, Golkar, Nasdem, PPP, dan Hanura memberikan dukungan kepada Joko Widodo, sang petahana yang jabatannya berakhir pada 2019.

Berdasarkan sejumlah survei, saat ini elektabilitas Jokowi paling tinggi walaupun belum berada di posisi aman. Karena posisi Jokowi paling tinggi, melampaui tokoh-tokoh lain yang masuk bursa calon presiden, sampai-sampai berembus wacana calon tunggal. Tentu, calon tunggal itu tidak sehat buat demokrasi. Ada kabar angin, Jokowi akan menggaet Prabowo sebagai calon wapres. Itulah yang membuat politikus Gerindra uring-uringan. Buat mereka, Prabowo adalah capres, bukan cawapres.

Jika melihat gelagatnya, rivalitas Pilpres 2014 bakal terulang. Ini artinya pentas politik akan gonjang-ganjing karena pertarungan ulang (rematch) selalu diiringi dengan semangat pembalasan.

Gerindra dan PKS tampak selalu lengket. Walaupun berbeda ideologi, punya kepentingan sama. Ada juga Partai Demokrat yang kerap memosisikan diri sebagai ”penyeimbang”. Namun, pertemuan Komandan Satuan Tugas Bersama Pemilu 2019 Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono dengan Presiden Jokowi di Istana tampaknya memberikan komunikasi lain. Di politik, semua kemungkinan bisa terjadi.

Sejak Partai Bulan Bintang (PBB) sah menjadi peserta Pemilu 2019 (setelah memenangi gugatan di Bawaslu), tersiar kabar wacana koalisi ”partai Islam”. Di jajaran platform ini sebetulnya ada PKB, PKS, PPP, dan PAN. PKB sedang gencar mempromosikan ketua partainya, Muhaimin Iskandar, sebagai cawapres. PKS dan PPP rasanya tidak mungkin karena sudah ”menentukan hati” untuk menghidupkan koalisi lama yang akan mengusung Prabowo. PAN terlihat lincah bergerak ke mana-mana. Namun, kalau koalisi ini terwujud, tentu akan mengubah peta Pilpres 2019.

Itulah hari-hari yang ditonton rakyat sampai tahun depan. Mereka tengah berdandan genit untuk memikat hati rakyat.

Sayangnya, banyak orang merasa tidak terhibur menonton pentas politik. Kalaupun dianggap menghibur, sangat tidak lucu. Ada yang bilang ceritanya tidak bagus. Sebab, terlalu sering politik itu mementaskan kisah tragedi: lebih mempertontonkan perangai rakus kuasa, saling menjatuhkan, sikut-sikutan, koruptif. Adegan-adegannya kurang bagus, tidak mengundang decak kagum. Akting para pemerannya pun norak-norak dan membosankan. Dialog-dialognya pun kurang inspiratif. Jadi, begitu layar pentas ditutup, penonton membawa pulang rasa kecewa. Dada terasa sesak, napas pun tersengal-sengal. Sampai ada penonton ogah menonton politik karena justru membuat detak jantung terus berdebar-debar.

Mengapa demikian? Karena politik bukan sibuk untuk membangun kebaikan bersama. Politik tidak menjadi ladang persemaian benih-benih kebaikan untuk ditanam dan dipanen di kemudian hari. Politik bukan untuk melayani rakyat, tetapi untuk kuda tunggangan. Politik bukan menjadi panggung berdialog para politikus dalam membicarakan persoalan rakyat. Politik justru menjadi arena gontok-gontokan merebut kekuasaan, tanpa menoleh lagi ke rakyat. Politik bukan mengintegrasikan bangsa, melainkan justru membelah bangsa.

Politikus mendapat mandat dari rakyat, tetapi sering berpaling dari rakyat. Beberapa peristiwa, politikus di DPR, misalnya, berseberangan dengan aspirasi rakyat. Alih-alih memahami rakyat, malah mereka mempertanyakan, rakyat yang mana? Itu sudah kesalahan pikir yang amat mendasar. Rakyat semakin berjarak dengan mereka. Mereka asyik sendiri, tak mendengar lagi suara rakyat yang mulai serak. Malah, dengan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD, mereka yang kritis terhadap DPR dapat dipukul balik.

Begitulah politik pada zaman sekarang yang merupakan zaman paling canggih. Sekarang ini sudah memasuki era revolusi industri gelombang keempat (4.0) yang berbasis sistem cyber-physical. Tidak hanya disrupsi teknologi, tetapi juga disrupsi perilaku karena memperlihatkan kontradiksi-kontradiksi. Era teknologi pintar (smart technology), tetapi tidak memperlihatkan perilaku kecerdasan (smart people).

Di politik, kecerdasan dan kewarasan seakan kehilangan kapling. Narasi indah di politik rasanya cuma dalam text book saja. Tontonan terbanyak adalah sikap-sikap reaktif, asbun (asal bunyi), suka menuding, selalu merasa paling benar. Mengapa banyak perilaku politik yang terlihat tidak cerdas?

Lisa Schonhaar dan Gisela Wolf (Independent.co.uk, 2017) memberikan gambaran menarik tentang lima kebiasaan orang bodoh yang tidak dimiliki orang cerdas: 1) orang bodoh selalu menyalahkan orang lain atas kesalahan mereka sendiri, 2) orang bodoh selalu harus benar, 3) reaksi orang bodoh kerap marah dan agresif, 4) tak peduli kebutuhan dan perasaan orang lain, dan 5) mereka selalu merasa lebih baik dari orang lain. Apakah kebiasaan-kebiasaan tersebut terlihat di arena politik di negeri ini? Sulit menjawab bahwa perilaku politik yang selalu gaduh saat ini memperlihatkan kebiasaan-kebiasaan cerdas.

Inilah disrupsi-disrupsi yang bisa jadi juga anomali di panggung politik era industri generasi keempat (4.0). Fenomena yang marak di arena politik yang mulai berisik ini menjadi peringatan bagi rakyat untuk jeli memilih calon pemimpin pada Pemilu atau Pilpres 2019. Salah memilih pemimpin, itu artinya menjerumuskan bangsa dan negara ini ke dasar jurang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar