Suara
Milenial untuk Infrastruktur
Qaedi Aqsa ; Program Associate Qlue-Smart City
|
DETIKNEWS,
01 Februari
2018
Saat ini, pendefinisian siapa generasi
milenial sudah dilakukan banyak pihak, seperti PEW Research Center yang
mengatakan bahwa generasi milenial adalah generasi yang lahir setelah tahun
1980. Berbeda dengan PEW, KPMG International memberi batasan bahwa generasi
milenial bisa diklasifikasikan secara luas sebagai generasi yang lahir antara
pertengahan tahun 1980 sampai 2000. Dan, generasi tersebut mencapai usia
dewasa di seputar pergantian abad ke-21. Sementara itu, CSIS pun dalam riset
yang mereka lakukan mengenai orientasi generasi milenial dalam politik
mengkategorikan generasi milenial antara umur 17 – 29 tahun.
Di antara perbedan definisi-definisi
yang ada tersebut, saya sepakat bahwa generasi milenial lahir dan tumbuh
besar dalam kuatnya arus perkembangan teknologi. Sikap dan perilaku mereka
banyak dipengaruhi oleh gadget dan internet. Mereka cenderung lebih
mementingkan gaya hidup. Simak saja hasil riset PEW Research Center yang
mengatakan bahwa perbedaan kontras generasi milenial dan generasi sebelumnya
adalah soal penggunaan teknologi, selera musik, dan gaya hidup. Dan, yang
juga tak kalah penting, pilihan-pilihan yang mereka ambil lebih banyak
didasarkan pada informasi dari internet, terutama media sosial.
Pada 2017, jumlah milenial di Indonesia
diprediksi sudah mencapai 35% dari jumlah penduduk. Diperkirakan, milenial
tersebar hampir merata di seluruh pelosok Indonesia dari Aceh sampai Papua
alias tidak hanya bermukim di kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan
Surabaya. Oleh karena itu, saya kurang sepakat jika dianggap terdapat
keseragaman karakter milenial. Saya kurang yakin semua milenial di Indonesia
menikmati perkembangan teknologi. Pasalnya, jika internet menjadi faktor
utama dan pembeda generasi milenial dengan generasi sebelumnya, maka data
yang ada justru tak menunjukkan kemerataan dalam penyebaran internat.
Berdasarkan riset Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), total pengguna internet
Indonesia 132,7 juta dari total populasi 256,2 juta orang. Pengguna tersebut
di dominasi 65% di Pulau Jawa, 15,7% di Pulau Sumatera, sedangkan Bali dan
Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua tidak sampai pada angka 7%.
Data persebaran pengguna intenet dari
APJII memberikan kita gambaran betapa terpusatnya populasi pengguna internet
di Pulau Jawa. Ketimpangan tersebut boleh jadi disebabkan oleh tak meratanya
ketersedian infrastruktur pendukung. Imbasnya adalah munculnya gap informasi
antara masyarakat kota dan desa, atau antara masyarakat di Pulau Jawa dan
luar Jawa. Dengan kata lain, belum selesai Indonesia dengan urusan
ketimpangan infrastruktur, ketimpangan lapangan kerja, ketimpangan ekonomi,
ketimpangan antarpulau, antara kota dan desa, malah ketimpangan digital sudah
mulai berada di depan mata.
Memang tidak ada yang salah, namun jika
kondisi ini tetap dibiarkan, diperkirakan akan muncul banyak efek domino.
Ketimpangan digital akan berdampak besar terhadap ketimpangan ekonomi,
lapangan pekerjaan, akses pendidikan, dll. Karena terbukti bahwa revolusi
digital berkemampuan untuk mempengaruhi semua aspek kehidupan saat ini. Sebut
saja contohnya start up-start up sukses di Jakarta. Menjamurnya usaha
rintisan yang berbasiskan digital sangat ditentukan oleh ketersediaan
infrastruktur digital, seperti akses jaringan internet dan infrastruktur
telekomunikasi.
Logika sederhananya, ketersediaan
infrastruktur digital menyediakan landasan bagi start up-start up untuk lahir
dan berekspansi. Bagi generasi milenial perkotaan, keberadaan infrastruktur
digital akan memudahkan mereka untuk mendapatkan informasi dan anekarupa
pengetahuan yang kemudian dijadikan pertimbangan-pertimbangan dalam setiap
keputusan.
Bahkan saat ini perkembangan teknologi
dunia sudah bergerak ke arah Internet of Things (IoT), Artifical Intelligence
(AI), dan Machine Learning. Diprediksi banyak pekerjaan manusia yang nantinya
akan digantikan oleh mesin atau robot. Hasil penelitian dari Boston
Consulting Group memperkirakan, pada 2025, sekitar seperempat pekerjaan akan
digantikan oleh mesin atau robot. Siap tidak siap, Indonesia pun akan
menghadapi kondisi seperti ini nantinya, karena sejarah telah membuktikan
bahwa arus teknologi memang tidak akan bisa dibendung.
Sehingga sangat wajar jika pada satu
kesempatan, Presiden Jokowi mengeluarkan celetukan agar universitas
menyediakan jurusan e-commerce dan jurusan meme. Bagi saya, ini tidak hanya sebatas
celetukan. Karena perkembangan teknologi berdampak besar terhadap tumbuhnya
industri baru dan lapangan pekerjaan yang baru juga. Pemerintah harus bisa
menyediakan sumber daya manusianya untuk berpacu mengimbangi cepatnya
perkembangan industri-industri baru. Oleh karena itu, berbagai penyesuaian
memang harus dilakukan, terutama di institusi-institusi pendidikan kita saat
ini.
Menurut hasil proyeksi Badan Pusat
Statistik (BPS), pada 2016 angka usia produktif (15-60 tahun) di Indonesia
mencapai 166,06 juta jiwa --50% lebih penduduk Indonesia adalah usia
produktif. Dari total usia produktif tersebut, 32% adalah generasi milenial
(15-39 tahun). Artinya, saat ini Indonesia sudah memasuki era awal bonus
demografi. Kondisi ini bisa menjadi peluang sekaligus tantangan bagi
pemerintah Indonesia. Jika angka ini tidak dikelola dengan baik, maka bonus
demografi yang selama ini diagung-agungkan akan terjadi pada tahun 2035 serta
merta bisa pula menjadi bom waktu bagi Indonesia. Karena saat itu, usia
produktif Indonesia mencapai 70% dari total penduduk, didominasi oleh
generasi milenial. Nah, jika perekonomian nasional tidak mampu untuk
menyediakan lapangan pekerjaan, maka akan terjadi ledakan pengangguran.
Oleh karena itu, bagaimana generasi
milenial menghadapi bonus demografi harus menjadi perhatian semua pihak,
terutama dari pihak negara. Hal tersebut bisa dimulai dengan usaha pemerintah
untuk menyiapkan semua infrastruktur yang diperlukan agar milenial bisa
mengembangkan diri dan bersaingan di dunia kerja ataupun dunia usaha. Dan,
jangan sampai muncul kondisi yang timpang di mana milenial produktif hanya
terdapat di kota-kota besar, lapangan pekerjaan pun hanya di tersedia di
Pulau Jawa. Akibatnya tentu tak akan baik. Urbanisasi akan semakin tinggi,
Pulau Jawa semakin padat, ketimpangan akan semakin tinggi antara Jawa dan
non-Jawa. Ketimpangan digital ini bukan hanya menjadi pekerjaan rumah
pemerintah pusat, namun juga pemerintah daerah.
Tahun 2018 dan 2019 adalah momentum
bagi para milenial untuk memperjuangkan hak mereka. Sekitar 171 daerah akan
menyelenggarakan pemilihan kepala daerah tahun ini, sedangkan 2019 adalah
pesta demokrasi untuk tingkat nasional, pemilihan presiden dan DPR. Oleh
karena itu milenial jangan sampai hanya dijadikan sebagai lumbung suara pemilihan
saja, di mana suara milenial dibeli hanya karena kepentingan politik semata,
bahkan dianggap sebagai objek dari praktik politik yang berlangsung.
Memang, untuk menyelesaikan
permasalahan ini bukan hanya tugas dari pemerintah. Kolaborasi semua pihak,
baik itu pemerintah daerah, pegiat start up, institusi pendidikan juga tak
kalah krusialnya. Tapi, tidak salah pula jika institusi sekelas negara harus
kita ingatkan untuk segera menyiapkan berbagai regulasi pendukung. Intinya,
negara harus hadir dan adil dalam melihat persoalan yang satu ini. Negara
diharapkan untuk tidak menutup mata hanya karena digadang-gadang Indonesia
akan mencapai bonus demografi yang diperkirakan juga akan mendongkrak status
ekonomi nasional menjadi negara dengan ekonomi maju pada 2030.
Saya berharap, jangan sampai nanti
milenial hanya dikenal sebagai sebuah pengkategorian, hanya disebut-sebut
karena jumlahnya yang semakin besar. Dengan kata lain, milenial hanya menjadi
peserta politik atributif bagi sekumpulan elite politik yang sebenarnya tidak
pernah memperjuangkan kepentingan mereka. Bagi saya, milenial tak butuh
narasi identitas, tapi butuh diperjuangkan secara kongkret. Elit-elit harus
mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan penyiapan akses dan infrastruktur yang
sama di setiap daerah, tidak hanya di kota-kota besar, serta memfasilitasi
mereka agar tetap bisa berkarya dan berkontribusi untuk Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar