Pemikiran
KH Muhammad Hasyim Asy'ari
Ahmad Syafii Maarif ; Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
|
REPUBLIKA,
27 Februari
2018
Di antara ayat Alquran
dalam surah al-Anfal ayat 46 yang dikutip Kiai Hasyim yang maknanya adalah:
“Dan janganlah kamu saling bertengkar, nanti kamu jadi gentar dan hilang
kekuatanmu dan tabahlah kamu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang
tabah.” (Ibid, hlm 138). Perintah Allah ini sangat jelas dan konkret, tetapi
umat ini terus saja bertualang dalam pertengkaran dan perpecahan.
Kiai Hasyim telah
mengingatkan semuanya ini jauh sebelum sebagian besar dunia Muslim melepaskan
diri dari cengkeraman kolonialisme pasca-PD (Perang Dunia) II.
Kita ikuti selanjutnya
fatwa Kiai Hasjim tentang bahaya fitnah:
Sementara itu, ada
segolongan orang yang telah terjun ke dalam lautan fitnah; memilih
bid’ah-bid’ah dan bukan sunah-sunah Rasul dan kebanyakan orang mukmin yang
benar hanya terpaku. Maka, para ahli bid’ah seenaknya memutarbalikkan
kebenaran, memungkarkan makruf dan memakrufkan kemungkaran. Mereka mengajak
kepada kitab Allah, padahal sedikit pun mereka tidak bertolak dari sana.
(Ibid, hlm 143).
Tidak lupa sebelumnya Kiai
Hasyim mengutip bait seorang penyair:
Berhimpunlah
anak-anakku bila kegentingan melanda
Jangan
bercerai-berai sendiri-sendiri
Cawan-cawan
pun enggan pecah bila bersama
Ketika
bercerai
Satu-satu
pecah berderai. (Ibid, hlm 141).
Betapa tingginya semangat
Kiai Hasyim untuk mengukuhkan konsep perpaduan dan keutuhan umat, tetapi
alangkah sukarnya. Selama puluhan abad umat ini tidak pernah jera dalam
bersengketa dan bermusuhan, tidak terkecuali di Indonesia.
Perpecahan ini pada
umumnya dipicu oleh perebutan kekuasaan politik yang ironisnya dimulai oleh
elite-elite Quraisy kader-kader inti Nabi. Perpecahan ini kemudian menjalar
ke seluruh bangsa-bangsa Muslim non-Arab sampai hari ini. Diktum Alquran
tentang persatuan umat dan bahaya perpecahan tidak lagi dijadikan acuan dalam
kehidupan kolektif mereka.
Kiai Hasyim tidak hanya
memberikan fatwa teologis, tetapi juga terjun ke gelanggang. Demikianlah,
pada 1937, dua tahun sebelum meledaknya PD II, telah dibentuk MIAI (Majelis
Islam A’la Indonesia) dalam upaya merajut persatuan umat, dan Kiai Hasyim
adalah rais majelis yang baru dibentuk itu.
Pada 7-8 November 1945
atas prakarsa NU, Muhammadiyah, PSII, dan lain-lain, di kampus Madrasah
Mu’allimin Yogyakarta (didirikan Ahmad Dahlan tahun 1918) dibentuk Partai
Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) dengan Kiai Hasjim sebagai rais
akbarnya. Posisi ini dipegangnya sampai wafat pada 1947. Bagi Kiai Hasyim,
Masyumi adalah satu-satunya partai umat Islam di Indonesia pascaproklamasi
kemerdekaan.
Gagasan besar Kiai Hasyim
tentang persatuan umat tidak bertahan lama karena virus kekuasaan politik
telah membelah lagi umat ini untuk kesekian kalinya. Pada saat wafatnya Kiai
Hasyim bulan Juli 1947, PSII melepaskan diri dari Masyumi dan menyatakan
dirinya sebagai partai politik independen.
Partai Masyumi mulai
goyang, sekalipun belum seberapa. Tetapi, saat NU mengikuti jejak PSII pada
1952 dengan mengubah dirinya dari jam’iyah (gerakan sosial keagamaan) menjadi
partai politik, tubuh Masyumi sudah keropos.
Dengan tidak perlu
mengungkit siapa yang salah sebagai penyebab perpecahan ini, yang pasti
pesan-pesan Kiai Hasyim tentang persatuan umat tidak lagi dipegang, setelah
Hadratus Syekh ini wafat meninggalkan umat dan bangsa yang dicintainya.
Selama 32 tahun NU berperan sebagai partai politik, sampai pada Desember 1984
saat kembali lagi ke khitah 1926.
Dan, Masyumi telah
diperintahkan bubar di akhir 1960 oleh rezim yang berkuasa atas desakan PKI
(Partai Komunis Indonesia). (Lih Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila
sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante.
Bandung-Jakarta: Mizan-Maarif Institute, 2017, hlm 155-165).
Akibat perpecahan politik
ini, Kiai Hasyim seakan-akan kemudian hanya milik NU, padahal sejatinya dia
adalah tenda besar umat Islam Indonesia. Sejarah hidupnya adalah saksi hidup
tentang kesimpulan kita ini. Setelah Masyumi bubar, kekuatan politik umat
Islam Indonesia semakin rapuh dari waktu ke waktu.
NU sendiri juga tidak
mampu menjadikan dirinya sebagai imam politik umat Islam Indonesia. PSII pun
kemudian berkeping-keping karena perpecahan internal yang tidak dapat
disembuhkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar