Membedaki
Bopeng Utang
Haryo Kuncoro ; Direktur Riset SEEBI
|
TEMPO.CO,
27 Februari
2018
Utang yang menumpuk
sepertinya tidak menyurutkan nafsu pemerintah untuk terus berutang. Pada
akhir 2017, posisi utang pemerintah pusat mencapai Rp 3.938,7 triliun atau
29,2 persen dari produk domestik bruto. Sepanjang tahun ini, utang akan
bertambah lagi setidaknya Rp 399,2 triliun, yang berasal dari penerbitan
Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 414,5 triliun dan pinjaman neto
negatif Rp 15,3 triliun.
Dengan keseimbangan primer
yang minus, utang jatuh tempo yang harus dilunasi pada 2018/2019 mencapai Rp
810 triliun. Maka, pemerintah niscaya akan menerbitkan SBN baru untuk
membayar bunga dan cicilan pokok utang lama.
Masalah tersebut agaknya
mengubah pola penerbitan SBN. Setelah batal memperbesar penerbitan SBN
retail, pemerintah mendorong lebih banyak porsi Surat Berharga Syariah Negara
(SBSN). Dengan total penerbitan SBN mencapai Rp 846,4 triliun, penjualan SBSN
ditargetkan Rp 211,6 triliun.
Tambahan Rp 10 triliun ini
kontras dengan strategi SBSN pada 2017. Sukuk tabungan yang pertama kali
dirilis pada 2016 tidak diterbitkan lagi. Artinya, tahun ini pemerintah
memasang target pemasukan dana yang lebih besar tapi hanya mengandalkan sukuk
retail dan sukuk negara.
Dalam pandangan
pemerintah, sukuk negara dinilai lebih tahan terhadap guncangan ekonomi
dibanding SBN konvensional. Surat berharga syariah juga bisa diperdagangkan
di pasar sekunder sehingga dapat berfungsi sebagai katalisator terhadap
kepemilikan SBN.
Poin positif lainnya
adalah penerbitan SBSN untuk membiayai proyek secara langsung. Tahun ini, ada
587 proyek yang akan dibiayai SBSN dengan nilai Rp 22,53 triliun yang
tersebar di 34 provinsi. Karena itu, SBSN menjadi instrumen taktis dalam
pendalaman pasar keuangan menuju inklusi keuangan.
Hasrat besar pemerintah
mengandalkan sumber pembiayaan dalam negeri-yang diinisiasi dari kenaikan
SBSN saat defisit APBN 2018 relatif rendah, sebesar 2,19 persen-bertujuan
baik. Hanya, skenario di atas harus dipersiapkan dengan komprehensif agar
mampu mencapai sasaran yang dituju.
Mendorong pemilik dana
agar membeli SBSN tidaklah mudah. Pemilik dana digoda pula oleh imbal hasil
yang ditawarkan aset finansial lain. Memegang dolar atau emas menjadi pilihan
yang masuk akal di kala persepsi terhadap perekonomian ke depan belum kuat.
Pertimbangan utama calon
investor SBSN adalah imbal hasil (yield). Imbal hasil sukuk sejatinya lebih
tinggi 20-40 basis poin dari SBN. Sudah menjadi hukum alam, imbal hasil lebih
tinggi senantiasa disertai risiko lebih tinggi pula. Risiko likuiditas bisa
jadi membuat pemilik dana kurang aktif di sukuk.
Faktanya, surat utang
konvensional jauh lebih likuid dibanding surat utang syariah. Pencairan SBSN
sebelum jatuh tempo juga menghadapi kemungkinan capital loss (kerugian).
Konsekuensinya, selisih neto antara yield dan risiko capital loss sangat
boleh tidak atraktif bagi calon investor.
Kenyataan ini menjadi
tantangan bagi pelaku pasar keuangan domestik. Sejauh ini, kepemilikan
domestik atas SBSN masih didominasi oleh bank, reksa dana, dana pensiun, dan
asuransi. Bank umumnya memarkir dana pada SBSN bertenor pendek sampai jatuh
tempo sehingga kurang mendukung dinamika pasar sekunder.
Potensi dari asuransi
untuk SBSN tenor jangka panjang memang cukup besar lantaran regulasi Otoritas
Jasa Keuangan mewajibkan alokasi SBN, termasuk SBSN, minimum 30 persen dari
total investasinya. Namun ketentuan tersebut jarang terpenuhi. Kalaupun
terpenuhi, waktunya mepet dengan tenggat pada akhir tahun.
Mengharapkan terserapnya
tambahan SBSN pada bank umum syariah (BUS) sangatlah ideal. Sayangnya,
industri keuangan syariah baru menguasai pangsa 5-6 persen dari total aset
sektor keuangan. Dengan pertumbuhan keuangan syariah yang belum begitu pesat,
porsi kepemilikan BUS diproyeksikan tidak jauh dari level 10 persen.
Pada akhirnya, prospek
penjualan SBSN bisa jadi berharap pada pemodal asing. Kepemilikan asing
lagi-lagi membuat volatilitas pasar SBSN jadi lebih tinggi. Dengan
konfigurasi masalah di atas, solusinya adalah aktivasi kembali sukuk tabungan
dan/atau memperkenalkan instrumen baru dengan tenor yang lebih pendek.
Diversifikasi SBSN retail
bisa mengkompensasi nilai suplai instrumen yang diemisi tanpa harus menaikkan
secara drastis suku bunga kupon. Sejalan dengan itu, penguatan pasar sekunder
menjadi bagian strategi yang tak terpisahkan. Investor perlu disediakan wadah
untuk bertransaksi SBSN tenor panjang.
Kelembagaan pasar yang efisien
mutlak diperlukan dalam persaingan merebut simpati pemilik dana serta
mencegah migrasi ke instrumen finansial lain. Tanpa inovasi, pola penerbitan
SBN hanya membedaki muka tanpa menyasar sumber bopengnya. Risikonya, SBSN
tidak laku, pelarian modal, kelangkaan likuiditas, dan depresiasi mata uang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar