Sabtu, 17 Februari 2018

Monster Demokrasi

Monster Demokrasi
M Subhan SD  ;    Wartawan Senior Kompas
                                                     KOMPAS, 17 Februari 2018



                                                           
Andai meminjam kata-kata Tan Malaka (1897-1949) ”dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi”, Montesquieu (1689-1755) kira-kira akan berteriak lantang menyaksikan DPR yang makin menjauh dari rakyat. Zaman makin transparan, DPR malah membangun tembok pembatas dengan rakyat. Walaupun bukan penganut ilmu hitam, tetapi ingin punya kekebalan. Meskipun bukan pasukan Romawi kuno, tetapi ingin mengenakan baju zirah berperisai untuk melindungi diri. Aneh jika wakil rakyat ingin punya imunitas dan antikritik. DPR tengah memodifikasi kekuasaan yang semakin tidak demokratis.

Padahal, dengan Trias Politica, Montesquieu membagi sekaligus ada pembatasan kekuasaan. Sebab, ketika kekuasaan berada di satu tangan, makhluk politik bisa menjadi buas, keras, tiranik, lalim, despotis, absolut. Maka, pembagian kekuasaan dengan kewenangan masing-masing (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) membuat kekuasaan dapat dikontrol dan tidak terjadi kesewenang-wenangan. Ketiga pilar demokrasi itu bekerja atas nama kebebasan dan kehormatan. Maka, sikap para ”wakil rakyat” yang membentengi diri itu jauh melenceng dari semangat pencerahan yang digagas Montesquieu.

Keputusan DPR merevisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menyangkut imunitas sungguh memprihatinkan. Dalam revisi UU MD3 yang disetujui pada Senin (12/2), antara lain Pasal 245 menyebutkan pemanggilan anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak ada hubungan dengan tugas harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Namun, untuk kasus korupsi, terorisme, dan narkoba, anggota DPR yang terlibat dapat langsung dipanggil atau dimintai keterangan.

Selama ini, anggota DPR sudah ”langganan” dipanggil KPK. Soalnya publik juga sudah tahu DPR bukan tempat bersih. Bahkan, hasil survei Global Corruption Barometer, yang disusun Transparency International pada 2016, menyimpulkan, masyarakat menilai DPR sebagai lembaga negara paling korup.

DPR mestinya menjadikan sejumlah kasus korupsi yang melibatkan mereka sebagai bahan introspeksi. Sadarilah, tiada yang bahagia dengan citra DPR yang buruk. Untuk itu, DPR mesti optimistis untuk mewujudkan wajah parlemen yang bersih. ”Pesimisme tidak pernah memenangkan pertempuran apa pun,” kata Dwight D Eisenhower, jenderal yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat (1953-1961).

Karena itu, jika DPR mengambil langkah hukum/langkah lain terhadap siapa pun yang merendahkan kehormatan DPR (anggota DPR) sebagaimana revisi Pasal 122, hal itu sesungguhnya merupakan kemunduran paling fatal termasuk dalam pemikiran politik. ”Kebebasan politik warga negara ialah ketenangan pikiran … bahwa tiap-tiap orang berada dalam keadaan aman. Untuk memiliki kebebasan ini, prasyaratnya ialah pemerintahan diberi wewenang sedemikin rupa sehingga tak seorang pun perlu takut kepada orang lain,” tulis Montesquieu dalam Spirit of the Laws (Membatasi Kekuasaan, 1993). Apalagi sampai DPR memiliki hak memaksa memanggil orang dengan tangan kepolisian (seperti revisi Pasal 73) rasanya bukan lagi legislatif, tetapi rasa yudikatif. Sebuah kekacauan dalam Trias Politica.

Runtuhnya kehormatan DPR bukan gara-gara kritik pedas orang lain (rakyat), melainkan bergantung pada seberapa mampu anggota DPR itu menjaga integritas, harga diri, dan marwah mereka. Lagi pula, justru anggota DPR-lah yang sering berkoar-koar dan suka kritik, bahkan sering kali di luar konteks dan forumnya. Becerminlah lebih lama! Jadi, ”jangan buruk rupa, tetapi cermin dibelah”. Kalau pagar pembatas tinggi mengelilingi gedung DPR dan akses ke rumah rakyat itu dibatasi, DPR tengah mengarah absolutisme. Padahal, DPR itu hanya ”wakil rakyat”, tak boleh lebih tinggi dari rakyat?

Coba dengarkan pikiran Montesquieu ini, ”Rakyat jatuh ke dalam kemalangan apabila orang-orang yang mereka percayai—yang ingin menyembunyikan kebobrokan mereka sendiri—berupaya untuk mengorup mereka. Dengan menyembunyikan ambisi mereka sendiri, kepada rakyat mereka bicara mengenai kebesaran negara; dengan menyembunyikan keserakahan mereka sendiri, tiada hentinya mereka mengolok-olok keserakahan rakyat. Korupsi akan meningkat di kalangan para koruptor…”.

Tahun 2018 persis dua dekade reformasi. Pada 1998, DPR menjadi rumah rakyat yang kemudian berhasil menumbangkan Orde Baru. Namun, DPR sekarang malah ingin menutup rumah rakyat dari rakyat. Apakah mereka mewarisi watak Orde Baru atau banyak penunggang reformasi? Jangan-jangan banyak di antara mereka yang tidak punya andil dalam reformasi justru yang memanen hasilnya. Kata orang, itu celaka dua belas! ”Siapa pun yang melawan monster harus memastikan bahwa dalam prosesnya dia tidak menjadi monster,” kata Friedrich Nietzsche (1844-1900). Jadi, jangan membangun ”monumen” yang bakal dikenang sebagai monster demokrasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar