TNI-Polri
dalam Pilkada
Al Araf ; Direktur Imparsial
|
KOMPAS,
17 Januari
2018
Dinamika pemilihan kepala
daerah pada 2018 diwarnai majunya kandidat kepala daerah berlatar TNI-Polri. Lima
jenderal maju di beberapa wilayah, yakni Jawa Barat, Sumatera Utara,
Kalimantan Timur, Maluku, dan Riau. Di tingkat kabupaten dan kota, beberapa
kandidat kepala daerah berlatar TNI. Majunya para kandidat berlatar TNI-Polri
bukan fenomena baru. Dalam pilkada-pilkada sebelumnya, mereka yang berlatar
TNI-Polri ikut berkontestasi. Sebagian berhasil menang.
Pengunduran
diri
Di dalam negara demokrasi,
semua warga negara memiliki hak yang sama ikut dipilih dalam pemilihan
kekuasaan di daerah (pilkada) ataupun pemilihan kekuasaan di pemerintahan
pusat (pemilu). Namun, anggota TNI dan Polri aktif yang hendak terlibat dalam
politik praktis untuk dapat dipilih dalam pilkada harus mengundurkan diri
terlebih dahulu sebagai anggota TNI dan Polri. Secara prinsip, anggota TNI
dan anggota Polri memang dilarang berpolitik praktis.
Penegasan larangan itu
diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU No
2/2002 tentang Polri. Dalam Pasal 39 angka (2) UU TNI disebutkan, prajurit
dilarang terlibat kegiatan politik praktis. Dalam UU Polri Pasal 28 Ayat (1)
disebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam
kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
Penegasan tentang larangan
itu dalam UU Polri dan UU TNI sesungguhnya mensyaratkan kepada para anggota
TNI dan anggota Polri untuk tidak melakukan langkah politik, seperti
kampanye, sebelum mereka mengundurkan diri. Belakangan ini terdapat kasus
calon kepala daerah berlatar TNI ataupun Polri menempuh langkah-langkah atau
aktivitas politik sebelum mengundurkan diri.
Jauhlah lebih baik apabila
para kandidat sesegera mungkin mengundurkan diri dari keanggotaan TNI dan
Polri jika ingin bersaing dalam pilkada. Dengan pengunduran diri itu, mereka
akan memiliki ruang dan waktu yang lebih leluasa untuk melakukan
langkah-langkah politik.
Meski Pasal 7 huruf t UU
No 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menyebutkan
bahwa pernyataan tertulis pengunduran diri sebagai anggota TNI/Polri dilakukan
setelah ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pemilihan, jauh lebih tepat
jika langkah pengunduran diri dilakukan sejak dini ketika mereka mencalonkan
diri sebagai kandidat kepala daerah. Menurut UU TNI dan UU Polri, anggota TNI
dan Polri aktif dilarang berpolitik praktis.
Majunya para kandidat
kepala daerah berlatar TNI ataupun Polri tentu perlu dipertimbangkan dan
dievaluasi dampaknya terhadap organisasi dan profesionalisme TNI-Polri. Bagi
perwira yang sudah melakukan pengabdian lama, apalagi sudah mau memasuki masa
pensiun, tentu dampaknya tak akan besar bagi organisasi dan profesionalisme
TNI-Polri.
Meski demikian, jika anggota TNI dan Polri yang
maju adalah mereka yang masa pengabdiannya masih baru dan belum lama, serta
jenjang kariernya masih panjang, tentu langkah pengunduran diri mereka untuk
dapat maju dalam pilkada akan sedikit banyak memengaruhi organisasi dan
profesionalisme TNI-Polri.
Secara prinsip, dalam
negara demokrasi, tugas dan fungsi utama militer sejatinya adalah
dipersiapkan untuk perang. Militer direkrut, dididik, dilatih, dan
dipersenjatai dengan fungsi utama menghadapi kemungkinan ancaman militer dari
negara lain. Fungsi utama TNI adalah
alat pertahanan negara. Sementara tugas dan fungsi utama Polri adalah
menegakkan hukum, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, serta
melindungi dan mengayomi masyarakat.
Dalam konteks itu, sangat
disayangkan jika tugas dan fungsi utama TNI dan Polri yang sangat mulia itu
kemudian ditinggalkan para perwira yang masih memiliki karier panjang untuk
maju dalam pilkada ataupun pemilu. Apalagi, pendidikan dan pelatihan di TNI
dan Polri memiliki masa waktu lama dan berjenjang untuk tercapainya
profesionalisme itu. Dengan demikian, sebaiknya mereka lebih berfokus pada
pengabdian di TNI ataupun di Polri.
Netralitas
TNI-Polri
Sulit dibayangkan
pengaruhnya terhadap organisasi dan profesionalisme TNI-Polri apabila nanti
banyak anggota TNI-Polri yang masa pengabdiannya belum lama
berbondong-bondong maju dalam pilkada dan pemilu—lalu mengundurkan diri.
Mereka yang direncanakan menjadi pemimpin di lingkungan TNI dan Polri
akhirnya mundur karena ingin maju dalam pilkada. Meski kondisi demikian kecil
kemungkinan terjadi, pemimpin TNI dan Polri perlu mengantisipasinya. Dalam
konteks itu, perlu ada aturan main internal terkait persoalan ini demi
menjaga roda organisasi tetap berjalan dengan baik dan profesional.
Maraknya kandidat dari
kalangan TNI dan Polri dalam pilkada tentu tantangan besar bagi TNI dan Polri
dalam menjaga netralitasnya. Sikap Panglima TNI dan Kapolri yang menegaskan
bahwa anggota TNI dan Polri netral dalam pilkada merupakan langkah baik.
Sikap tegas pemimpin kedua institusi itu diharapkan ditaati hingga level
paling bawah.
Belajar dari Pilpres 2004,
Pilpres 2014, dan Pilkada Kepulauan Riau lalu, kita tahu terdapat oknum
anggota yang terlibat dalam kegiatan politik praktis dengan berbagai cara.
Mulai dari memberi sarana ataupun fasilitas kepada pasangan calon tertentu
hingga mengajak warga memilih salah satu pasangan calon yang kemudian menimbulkan
gaduh dan kontroversi.
Dalam negara demokrasi,
sudah keharusan bagi aparat TNI dan Polri netral dan profesional menjelang
dan pada saat pelaksanaan pilkada. Pemihakan kepada salah satu kandidat atau
pemanfaatan situasi politik untuk tujuan lain merupakan bentuk penyimpangan
profesionalitas yang harus dihindari. Dalam konteks ini, profesionalisme
aparat sangat penting dan dibutuhkan untuk menjamin serta memastikan proses
pilkada berjalan aman dan damai. Ini harus diwujudkan dengan independensinya
dan berfokus menjamin keamanan sesuai dengan fungsi dan tugasnya.
Keberpihakan aparat terhadap salah satu kandidat tidak hanya bertentangan
dengan prinsip fairness dalam pilkada, tetapi juga akan mengancam keamanan
pelaksanaan pilkada itu sendiri.
Dalam konteks kini,
pemenangan dalam kontestasi politik elektoral perlu dilakukan dengan
mekanisme demokratis dan metode politik ilmiah. Instrumen partai politiklah
yang seharusnya menjadi topangan memenangi pertarungan kekuasaan di pilkada
nanti, bukan berharap kepada dukungan institusi asal mereka, bukan pula
dengan operasi intelijen, atau cara lama lain yang nondemokratis. Kalaupun
nanti ada perselisihan hasil pilkada, semua pihak harus tetap menggunakan
jalur dan mekanisme hukum yang tersedia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar