Reka
Ulang Pembelajaran Sikap
Saifur Rohman ; Pengajar Filsafat di
Universitas Negeri Jakarta
|
KOMPAS,
17 Januari
2018
Kepolisian Daerah Jawa
Barat menangkap komplotan pelaku pembuatan video asusila yang melibatkan
anak-anak di Bandung, Selasa (9/1). Pelakunya lelaki dewasa sebagai sutradara
pembuat video, 2 perempuan dewasa sebagai pemain, 2 ibu korban yang menyuruh,
serta 3 anak: RD (9), DN (9), dan SP (11). Sang ibu dan anak mendapat Rp
500.000.
Ketiga anak-anak itu
diperkirakan masih harus belajar di SD, bagaimana pemerintah menyikapinya?
Secara strategis, bagaimana sistem kebijakan pendidikan nasional mampu
mengantisipasi perilaku tercela dan menyimpang dari peserta didik pada masa
datang?
Mengajar
sikap
Kasus kejahatan dan
asusila yang melibatkan anak-anak peserta didik dapat dijadikan sebagai
konteks logis atas lahirnya cita-cita pendidikan berkarakter tahun lalu.
Setidaknya ihwal pendidikan berkarakter itu satu upaya mendekatkan dengan
amanah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Nomor 20 Tahun 2003).
Dalam kerangka strategis,
Peraturan Presiden RI No 87/ 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)
memberi rincian tentang sifat-sifat positif sebagai rambu-rambu pembelajaran.
Dalam Pasal 3 disebutkan 18 sifat positif: religius, jujur, toleran,
disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu,
semangat kebangsaan, cinta Tanah Air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta
damai, gemar baca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung
jawab.
Persoalan yang kemudian
dihadapi dalam upaya implementasi pendidikan karakter itu terletak pada
kesalahpahaman dalam tingkat pemahaman filosofis dan tingkat praktik dalam
unit satuan pendidikan. Persoalan itu dapat diringkas menjadi tiga hal.
Pertama, selama ini
pemerintah melihat pendidikan karakter didasarkan pada pemahaman pragmatis di
lingkungan sekolah. Proyek itu dapat terbaca sebagai bagian dari Permendikbud
No 49/2014 (Pasal 4) tentang delapan standar. Standar itu mengacu pada standar kompetensi lulusan,
isi pembelajaran, proses pembelajaran, penilaian, dosen dan tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. Kompetensi
lulusan selama ini dominan pada kemampuan menyelesaikan soal, bukan tahapan
pembentukan sikap.
Di antara delapan standar
itu, pemikiran tentang sikap selama ini cukuplah didasarkan pada pembentukan
”disiplin tubuh”, pola pembiasaan, dan pembelajaran nilai-nilai agama secara
kognitif. Persoalannya, pendisiplinan tubuh tak selalu berkorelasi positif
terhadap pembentukan sikap mental peserta didik. Itu sebabnya kasus etis
dalam belajar-mengajar sering terjadi. Contoh, seorang siswa memanggil nama
guru secara langsung sehingga menimbulkan penganiayaan di dalam kelas. Kasus
itu memunculkan persoalan etis di samping persoalan praktik pendidikan secara
metodologis di Indonesia.
Kedua, adanya ironi
pembelajaran sikap. Suka atau tidak, konsep sikap jadi jargon mencolok
terpampang di depan pintu sekolah, tetapi tak mendapat implementasi memadai
dalam belajar-mengajar di kelas. Dengan kata lain, dalam visi-misi sebuah
unit satuan pendidikan akan ditulis eksplisit terkait sikap mulia yang
bersanding dengan kecerdasan lulusan. Hal itu jadi daya tarik orangtua/wali
murid menitipkan anaknya pada institusi yang mementingkan ”sikap mulia” di
ruang publik. Namun, rumusan sikap dalam penilaian pendidikan hanya
diwujudkan dalam skala baik, cukup, dan kurang dalam hasil penilaian satu
semester.
Lingkungan
materialis
Di sisi lain, persoalan di luar sekolah
justru jadi faktor besar dalam pembentukan sikap peserta didik. Dalam kasus
pembuatan video asusila di Bandung, peran serta lingkungan sosial sangat
materialis. Kasus itu memberi pesan betapa penting faktor lingkungan dalam
membentuk mental. Ada indikasi rendahnya pendidikan keluarga dalam trisentra
Ki Hadjar Dewantara: sekolah, keluarga, dan lingkungan.
Ketiga, dalam praktiknya,
penilaian sikap di sekolah justru bersifat umum sehingga tak ada rincian memadai
melihat peningkatan atau penurunan sikap siswa dalam periode tertentu.
Apabila memanfaatkan model berpikir statistik, unsur merinci penilaian sikap
tak mendapat kolom penskoran dari para pemangku kebijakan pendidikan.
Padahal, bersikap dapat dirinci sebagai bentuk kehendak memuat niat baik,
kesungguhan, keikhlasan, dan cinta.
Jika ilustrasi itu dapat diterima, persoalannya kian jelas
bahwa praktisi pendidikan telah abai mewujudkan angan-angan dalam Peraturan
Presiden RI No 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Bukti konkret,
dalam penyusunan nilai rapor di sekolah, penilaian sikap diletakkan secara
umum di dalam baris sikap sosial dan sikap religius. Itu berbeda dengan
penilaian mata pelajaran yang memberi gambaran detail tiap mata pelajaran
melalui skala 0-100 dan hasil capaian. Pendeknya, tak ada penilaian sikap
secara rinci untuk masing-masing mata pelajaran.
Beranjak dari fakta itu,
perlu ada konsep pendidikan menyeluruh apabila pendekatan saintifik masih
tetap dipertahankan. Yang sudah dilakukan selama ini, perubahan hanya di
bagian tertentu sehingga mengesankan reformasi pendidikan hanya tambal sulam.
Contoh tambal sulam adalah penambahan jenis materi ajar dalam buku pegangan
untuk ”menyempurnakan” Kurikulum 2013 tanpa pengubahan pendekatan.
Padahal, dalam kurikulum
kita, pendekatan saintifik yang menekankan pada olah kreativitas yang
pragmatis akan menjerumuskan siapa saja ke dalam upaya berpikir ”di luar
kotak” tanpa landasan etis memadai.
Sifat, sikap, dan berpikir merupakan aktivitas mental yang sama penting dengan aktivitas
pengamatan empiris. Jadi, ketika pemerintah sudah bersungguh-sungguh
menggalakkan pendidikan karakter, perubahan lingkungan yang didukung
perkembangan teknologi dapat jadi konteks utama pengembangan nilai-nilai sikap di masa
datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar