Tahun
Politik?
Budiarto Shambazy ; Wartawan Kompas 1982-2017
|
KOMPAS,
08 Januari
2018
Judul
di atas diakhiri dengan tanda tanya karena istilah “tahun politik”
mengernyitkan dahi.
Dalam bahasa Inggris,
tidak ada “political year”. Di negara-negara Barat dikenal sebutan “election year”
(tahun pemilihan), merujuk pada pilpres atau pemilu yang diselenggarakan
tahun tertentu.
Di sini bahkan Presiden
Joko Widodo pun sudah beberapa kali mengucapkan kalimat “tahun politik” itu.
Sebagian kalangan langsung teringat judul pidato Presiden Soekarno, “Tahun
Vivere Pericoloso” dalam perayaan Proklamasi 17 Agustus 1964. Ada juga
sejumlah kalangan menyingkat “tahun politik” menjadi “tapol”, entah apa
maksudnya.
Istilah tahun politik
salah kaprah karena 2018 lebih tepat disebut “tahun pilkada”. Ini merujuk
pada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di provinsi dan kabupaten-kota
di 171 lokasi. Beberapa tahun lalu berlangsung pilkada di 260-an lokasi, tapi
ketika itu belum ada istilah “tahun politik”.
Tahun 2019 akan
diselenggarakan pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres)
yang berlangsung serentak 17 April 2019. Kalau 2018 diistilahkan sebagai
tahun politik, lalu 2019 tahun apa?
Kedua tahun tersebut
memang mustahil dipisahkan. Apa yang terjadi pada tahun pilkada 2018,
berkaitan erat dengan prospek pileg-pilpres 2019. Partai-partai yang moncer
pada pilkada tentu berpeluang merebut suara secara signifikan pada pileg
2019, sementara yang kalah makin terpuruk.
Benarkah? Lalu bagaimana
hubungan antara pilkada 2018 dengan pilpres 2019?
Ini masih jadi pertanyaan
menarik, walaupun menurut berbagai survei Joko Widodo berpeluang besar
terpilih lagi sebagai presiden 2019-2024. Jangan lupa, Prabowo Subianto juga
masih berpeluang meskipun hasil beberapa survei masih menempatkan dia di
urutan kedua.
Bisa jadi 2018 disebut
sebagai tahun politik karena spekulasi tentang siapa yang akan menjadi
cawapresnya Jokowi dan Prabowo. Pendaftaran capres-cawapres dijadwalkan
Agustus 2018, atau sekitar 7-8 bulan dari sekarang. Ini waktu yang tidak lama
bagi Jokowi maupun Prabowo, yang mempunyai pilihan cawapres lumayan banyak.
Tapi jangan cepat-cepat
terpukau dengan 2018-2019 karena yang namanya tahun politik sudah terjadi
sejak 16 November 2016, sewaktu Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama
ditersangkakan karena menista agama. Cerita selebihnya, Anda sudah tahu.
Jadi sebenarnya kita sudah
kenyang dengan tahun politik sepanjang 2016-2017. Sebagian warga bahkan sudah
muak dengan gonjang-ganjing politik yang sempat mempermainkan isu-isu SARA.
Rasa bangga dan optimisme terhadap masa depan politik bangsa ini dikubur
dalam-dalam oleh berbagai fitnah serta ujaran kebencian SARA.
Kini ada bahaya politisasi
agama ala Jakarta akan diviralkan ke pilkada 2018, terutama di
provinsi-provinsi di Pulau Jawa.
Kecebong
vs Kampret
Saat ini, gonjang-ganjing
politik sejak 2016 saling menghadap-menghadapkan dua kubu yang membelah
Indonesia, yakni antara kubu pro-Jokowi versus anti-Jokowi. Dalam istilah
media sosial, antara kubu kecebong melawan kubu kampret.
Ya, Indonesia telah
terbelah atas dua kelompok binatang. Dan, keterbelahan itu akan dengan mudah
ditemukan begitu Anda membuka gawai setiap pagi.
Siapa yang bisa mengakhiri
keterbelahan ini? Jawabannya: ya diri kita masing-masing.
Caranya? Ya dengan
meyakini bahwa politik kita belum bangkrut. Relakanlah hak Anda dengan
mengandalkan nurani dan akal sehat saat mencoblos, jangan golput.
Seperti dalam sepak bola, kalau jagoan
Anda menang syukurilah dan jika kalah terima dengan besar hati.
Kita sudah 20 tahun
jungkir-balik bersama mengawali era baru bernama Reformasi sejak 1998. Kita
yakin demokrasi pilihan yang terbaik setelah hidup dalam penindasan 32 tahun
Orde Baru. Memang selama era Reformasi kita masih dalam tahap menjalani
demokrasi yang prosedural, tetapi semakin terkonsolidasi dan berkualitas.
Tentu saja demokrasi
senantiasa menghadapi ancaman, seperti yang terjadi 4 November 2016 ketika
sebuah aksi berusaha dimanipulasi menjadi kerusuhan dengan harapan bisa
berujung pada pemakzulan Presiden. Dan, ingatlah, ancaman serupa bukan tak
mungkin bisa terjadi kembali tahun ini atau tahun-tahun mendatang.
Kinerja pemerintah memang
belum sempurna, masih banyak yang harus dibenahi. Tak semua menteri tampil
sesuai harapan sehingga sering muncul tuntutan merombak kabinet. Sejumlah
kalangan pun, terutama dunia usaha, juga mengungkapkan kekecewaan terhadap
kondisi ekonomi.
Namun, politik kita jauh
dari gejala membusuk. Dari tahun ke tahun ia malah bertambah segar karena
kepemimpinan nasional yang merakyat dan anti-korupsi, yang diamini oleh
berbagai kalangan masyarakat sipil di dalam negeri dan diakui oleh dunia
internasional.
Selamat
menikmati Tahun Politik 2018-2019! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar