Senin, 08 Januari 2018

Tahun Politik Tanpa Isu SARA

Tahun Politik Tanpa Isu SARA
Syamsuddin Haris ;  Profesor Riset LIPI
                                                      KOMPAS, 06 Januari 2018



                                                           
Tahun 2018 dan 2019 secara populer sering disebut sebagai ”tahun politik”. Momentum Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu Serentak 2019 tampaknya menjadikan penyebutan itu seolah-olah benar adanya. Toh, tak ada yang menggugat. Lalu, apa saja tantangan bangsa kita di tahun politik?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, mungkin perlu sedikit ”pelurusan”. Setiap tahun pada dasarnya merupakan tahun politik, dalam arti bahwa kebijakan dalam bidang atau sektor publik apa pun tak akan terlaksana tanpa keputusan politik. Kehidupan kolektif yang adil, sejahtera, demokratis, dan terkelola secara baik hanya mungkin diwujudkan melalui keputusan politik, baik yang dibuat bersama oleh Presiden dan DPR dalam bentuk perundang-undangan maupun yang diputuskan sendiri oleh lembaga eksekutif selaku pemerintah yang telah memperoleh mandat rakyat melalui pemilihan umum.

Hanya saja, tahun 2018 dan 2019 menjadi ”tahun politik” yang istimewa karena Pilkada 2018 yang diselenggarakan bersamaan di 171 daerah merupakan gelombang ketiga atau terakhir dari tiga tahap pilkada serentak, setelah Pilkada Serentak 2015 dan 2017. Sementara Pemilu 2019 adalah pemilu serentak pertama bagi bangsa Indonesia ketika pemilu presiden dilakukan secara bersamaan pada satu waktu yang sama dengan pemilu legislatif.

Dengan demikian, pada Pemilu 2019 kita bakal memilih lima lembaga demokrasi sekaligus, yakni Presiden dan Wapres serta anggota-anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Seperti sudah diagendakan oleh Komisi Pemilihan Umum, tahapan Pemilu Serentak 2019 pun telah dimulai bahkan sejak akhir 2017 (pendaftaran dan verifikasi partai peserta pemilu) dan berlanjut tanpa henti sepanjang 2018 hingga awal 2019.

Momentum penyelenggaraan yang berimpitan dan bahkan saling beririsan antara pilkada serentak  dan pemilu serentak  itulah yang menjelaskan mengapa para elite parpol begitu percaya bahwa formasi koalisi parpol dalam pilkada akan menentukan keberhasilan formasi koalisi Pilpres 2019 mendatang. Dinamika dan tarik-menarik antarpartai dalam mengusung pasangan calon Pilkada 2018 yang begitu tinggi dan cenderung semakin ”memanas” akhir-akhir ini merefleksikan hal itu. Para elite pemimpin partai yakin, keberhasilan koalisi partai dalam memenangkan pilkada akan menentukan keberhasilan koalisi dalam memenangkan pilpres.

Parpol gagal fokus

Pemilu dan pilkada pada dasarnya adalah momentum untuk merayakan kedaulatan rakyat. Keduanya, bagaimanapun, harus dipandang sebagai peristiwa politik rutin yang membuka peluang sebesar-besarnya bagi publik untuk memilih pasangan calon kepala daerah yang dianggap terbaik, baik dari segi rekam jejak, kapabilitas, visi dan kepemimpinan maupun moralitas dan integritasnya.

Problemnya, parpol sebagai institusi demokrasi yang memiliki otoritas dan tanggung jawab mengusung pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tak pernah benar-benar fokus serta siap dengan kewenangan yang dimilikinya. Terkait pasangan calon yang diusung dalam Pilkada Serentak 2018, misalnya, ada saja alasan partai-partai politik menunda penetapan pasangan calon, menarik ataupun membatalkan dukungan, hingga detik-detik terakhir batas waktu yang ditentukan oleh KPU.

Penjelasan atas realitas politik seperti ini tidak hanya bisa dicari dari belum adanya sistem pengaderan yang jelas, terukur, berkala, dan berkesinambungan dari sebagian parpol kita, tetapi juga tidak adanya keseriusan elite dan pemimpin parpol kita untuk melembagakan tradisi perekrutan politik berbasis kader. Fenomena tarik dukungan Partai Golkar terhadap Ridwan Kamil dalam Pilkada Jawa Barat, misalnya, begitu pula keputusan beberapa elite politik lokal PDI Perjuangan di NTT untuk keluar dari partai, karena pimpinan pusat partai lebih mengusung pasangan calon nonkader ketimbang kader dalam Pilgub NTT, sekurang-kurangnya merefleksikan realitas politik tersebut.

Gagal fokus itu pula yang menjelaskan mengapa Partai Gerindra lebih ingin mengusung Yenny Wahid sebagai calon gubernur Jawa Timur daripada menyiapkan dan mendukung kader mereka. Seperti diketahui, Yenny akhirnya lebih memilih ”tugas sejarah” memperjuangkan ajaran ayahandanya, Gus Dur, daripada berlumur lumpur kekuasaan dalam Pilkada Jatim. Tarik-menarik antara Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat terkait pencalonan Deddy Mizwar dalam Pilkada Jabar bisa pula dibaca dalam konteks yang sama.

Demokrasi yang riang

Tantangan berikut yang dihadapi bangsa kita memasuki tahun politik adalah bagaimana menjadikan penyelenggaraan pilkada di 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota pada 2018 ini tak hanya berlangsung secara bebas dan demokratis, tetapi juga dalam suasana damai dan tanpa gejolak. Terlampau besar ongkos politik yang harus ditanggung bangsa kita jika pilkada yang seharusnya menjadi momentum sirkulasi pemimpin secara damai justru semakin mempertajam konflik dan pembelahan politik di tingkat masyarakat karena berpotensi berlanjut dalam Pemilu Serentak 2019.

Problemnya, pilkada yang berlangsung damai dan tanpa gejolak tidak hanya mensyaratkan berlangsungnya kompetisi yang fair dan sportif, tetapi juga meniscayakan melembaganya saling percaya di antara berbagai elemen, kelompok, dan golongan masyarakat. Sulit dimungkiri bahwa salah satu persoalan besar yang menjadi sumber kekeruhan, kegaduhan politik, dan bahkan konflik politik saat ini adalah masih melembaganya suasana saling curiga di antara berbagai elemen bangsa kita. Akibatnya, seperti terekam dalam Pilkada Jakarta, masyarakat tak bisa menikmati demokrasi dalam suasana riang, gembira, dan damai.

Sebaliknya, masyarakat berada di bawah tekanan mobilisasi politik berbasis identitas asal, khususnya agama dan etnis. Memilih dan/atau tidak memilih pasangan calon tertentu seolah-olah berkaitan dengan suku ataupun agama yang dianut pemilihnya. Pilkada yang seharusnya merupakan kontestasi mencari pemimpin berbasis kinerja seolah-olah berubah menjadi ajang memilih agama berbasiskan persepsi ”bias” terhadap tingkat kesalehan para pasangan calon.

Apabila tidak ada upaya serius negara, parpol, dan masyarakat menghindarinya, realitas politik Pilkada Jakarta bisa terulang di daerah-daerah lain. Pada tingkat negara diperlukan konsistensi penegakan hukum, termasuk penegakan hukum kampanye pilkada berdasarkan UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016. Di dalam Pasal 69 Ayat (b) UU No 10/2016 jelas sekali ada larangan menghina seseorang, agama, suku, ras, dan golongan para calon kepala daerah dan partai politik.

Pada pasal yang sama di ayat berikutnya juga diatur larangan kampanye yang bersifat menghasut, memfitnah, dan mengadu domba parpol, perseorangan, dan kelompok masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah penyalahgunaan rumah ibadah sebagai ajang kampanye, menghasut, memfitnah, dan mengadu domba antarmassa pendukung pasangan calon dan/atau parpol. Ini tentu tanggung jawab Polri dan penyelenggara pemilu dan/atau pilkada, khususnya Badan Pengawas Pemilu.

Pilkada tanpa SARA

Di tingkat parpol, problemnya, kurang sekali kesadaran para pemimpin partai atas daya rusak kompetisi pilkada yang diwarnai oleh politisasi berbasis sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Ini tecermin dari kehadiran sejumlah elite pemimpin parpol dalam ajang mobilisasi massa bernuasa SARA menjelang Pilkada Jakarta pada 2017. Mereka tidak menyadari bahwa luka politik dan sosial yang ditimbulkan oleh pembelahan politik berbasis SARA bukan hanya sulit disembuhkan, melainkan juga berpotensi diwariskan secara turun-temurun oleh para pendukung dan loyalis partai di tingkat akar rumput.

Pada tingkat masyarakat, para elite dan pemimpin masyarakat juga perlu menyadari betapa luas, dalam, dan masif potensi kerusakan yang dialami bangsa kita jika pilkada dan pemilu memfasilitasi konflik berbasis sentimen SARA. Tidak ada kerusakan yang melebihi kerusakan dan kehancuran yang diakibatkan oleh konflik berbasis SARA. Kehancuran yang dialami oleh Suriah dan Irak di Timur Tengah akibat perjuangan mereka yang menamakan diri sebagai Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) merupakan contoh telanjang betapa dahsyat kebinasaan yang diakibatkan konflik berbasis SARA.

Oleh karena itu, tantangan terbesar bangsa kita dalam menyongsong Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu Serentak 2019 bukan sekadar mencari dan memilih pemimpin terbaik, berintegritas, dan bertanggung jawab. Lebih jauh dari itu, tak kalah penting adalah bagaimana agar proses mencari pemimpin terbaik dilakukan secara damai, bermartabat, dan tanpa intervensi sentimen berbasis SARA.

Apalagi, sangat jelas, republik yang disepakati para pendiri bangsa di masa lalu bukanlah negara berbasis agama, suku, ras, atau golongan tertentu, melainkan negara kebangsaan yang berdasarkan Pancasila. Tentu menjadi tanggung jawab moral kita semua untuk turut merawat keberagaman dalam rangka memperkokoh Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar