Tahun
Politik Tanpa Isu SARA
Syamsuddin Haris ; Profesor Riset LIPI
|
KOMPAS,
06 Januari
2018
Tahun 2018 dan 2019 secara
populer sering disebut sebagai ”tahun politik”. Momentum Pilkada Serentak
2018 dan Pemilu Serentak 2019 tampaknya menjadikan penyebutan itu seolah-olah
benar adanya. Toh, tak ada yang menggugat. Lalu, apa saja tantangan bangsa
kita di tahun politik?
Sebelum menjawab
pertanyaan ini, mungkin perlu sedikit ”pelurusan”. Setiap tahun pada dasarnya
merupakan tahun politik, dalam arti bahwa kebijakan dalam bidang atau sektor
publik apa pun tak akan terlaksana tanpa keputusan politik. Kehidupan
kolektif yang adil, sejahtera, demokratis, dan terkelola secara baik hanya mungkin
diwujudkan melalui keputusan politik, baik yang dibuat bersama oleh Presiden
dan DPR dalam bentuk perundang-undangan maupun yang diputuskan sendiri oleh
lembaga eksekutif selaku pemerintah yang telah memperoleh mandat rakyat
melalui pemilihan umum.
Hanya saja, tahun 2018 dan
2019 menjadi ”tahun politik” yang istimewa karena Pilkada 2018 yang
diselenggarakan bersamaan di 171 daerah merupakan gelombang ketiga atau
terakhir dari tiga tahap pilkada serentak, setelah Pilkada Serentak 2015 dan
2017. Sementara Pemilu 2019 adalah pemilu serentak pertama bagi bangsa
Indonesia ketika pemilu presiden dilakukan secara bersamaan pada satu waktu
yang sama dengan pemilu legislatif.
Dengan demikian, pada
Pemilu 2019 kita bakal memilih lima lembaga demokrasi sekaligus, yakni
Presiden dan Wapres serta anggota-anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota. Seperti sudah diagendakan oleh Komisi Pemilihan Umum, tahapan
Pemilu Serentak 2019 pun telah dimulai bahkan sejak akhir 2017 (pendaftaran
dan verifikasi partai peserta pemilu) dan berlanjut tanpa henti sepanjang
2018 hingga awal 2019.
Momentum penyelenggaraan
yang berimpitan dan bahkan saling beririsan antara pilkada serentak dan pemilu serentak itulah yang menjelaskan mengapa para elite
parpol begitu percaya bahwa formasi koalisi parpol dalam pilkada akan
menentukan keberhasilan formasi koalisi Pilpres 2019 mendatang. Dinamika dan
tarik-menarik antarpartai dalam mengusung pasangan calon Pilkada 2018 yang
begitu tinggi dan cenderung semakin ”memanas” akhir-akhir ini merefleksikan
hal itu. Para elite pemimpin partai yakin, keberhasilan koalisi partai dalam
memenangkan pilkada akan menentukan keberhasilan koalisi dalam memenangkan
pilpres.
Parpol
gagal fokus
Pemilu dan pilkada pada
dasarnya adalah momentum untuk merayakan kedaulatan rakyat. Keduanya,
bagaimanapun, harus dipandang sebagai peristiwa politik rutin yang membuka
peluang sebesar-besarnya bagi publik untuk memilih pasangan calon kepala
daerah yang dianggap terbaik, baik dari segi rekam jejak, kapabilitas, visi
dan kepemimpinan maupun moralitas dan integritasnya.
Problemnya, parpol sebagai
institusi demokrasi yang memiliki otoritas dan tanggung jawab mengusung
pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tak pernah benar-benar
fokus serta siap dengan kewenangan yang dimilikinya. Terkait pasangan calon
yang diusung dalam Pilkada Serentak 2018, misalnya, ada saja alasan
partai-partai politik menunda penetapan pasangan calon, menarik ataupun
membatalkan dukungan, hingga detik-detik terakhir batas waktu yang ditentukan
oleh KPU.
Penjelasan atas realitas
politik seperti ini tidak hanya bisa dicari dari belum adanya sistem
pengaderan yang jelas, terukur, berkala, dan berkesinambungan dari sebagian
parpol kita, tetapi juga tidak adanya keseriusan elite dan pemimpin parpol
kita untuk melembagakan tradisi perekrutan politik berbasis kader. Fenomena
tarik dukungan Partai Golkar terhadap Ridwan Kamil dalam Pilkada Jawa Barat,
misalnya, begitu pula keputusan beberapa elite politik lokal PDI Perjuangan di
NTT untuk keluar dari partai, karena pimpinan pusat partai lebih mengusung
pasangan calon nonkader ketimbang kader dalam Pilgub NTT, sekurang-kurangnya
merefleksikan realitas politik tersebut.
Gagal fokus itu pula yang
menjelaskan mengapa Partai Gerindra lebih ingin mengusung Yenny Wahid sebagai
calon gubernur Jawa Timur daripada menyiapkan dan mendukung kader mereka.
Seperti diketahui, Yenny akhirnya lebih memilih ”tugas sejarah”
memperjuangkan ajaran ayahandanya, Gus Dur, daripada berlumur lumpur kekuasaan
dalam Pilkada Jatim. Tarik-menarik antara Partai Keadilan Sejahtera dan
Partai Demokrat terkait pencalonan Deddy Mizwar dalam Pilkada Jabar bisa pula
dibaca dalam konteks yang sama.
Demokrasi
yang riang
Tantangan berikut yang
dihadapi bangsa kita memasuki tahun politik adalah bagaimana menjadikan
penyelenggaraan pilkada di 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota pada 2018
ini tak hanya berlangsung secara bebas dan demokratis, tetapi juga dalam
suasana damai dan tanpa gejolak. Terlampau besar ongkos politik yang harus
ditanggung bangsa kita jika pilkada yang seharusnya menjadi momentum
sirkulasi pemimpin secara damai justru semakin mempertajam konflik dan
pembelahan politik di tingkat masyarakat karena berpotensi berlanjut dalam
Pemilu Serentak 2019.
Problemnya, pilkada yang
berlangsung damai dan tanpa gejolak tidak hanya mensyaratkan berlangsungnya
kompetisi yang fair dan sportif, tetapi juga meniscayakan melembaganya saling
percaya di antara berbagai elemen, kelompok, dan golongan masyarakat. Sulit dimungkiri
bahwa salah satu persoalan besar yang menjadi sumber kekeruhan, kegaduhan
politik, dan bahkan konflik politik saat ini adalah masih melembaganya
suasana saling curiga di antara berbagai elemen bangsa kita. Akibatnya,
seperti terekam dalam Pilkada Jakarta, masyarakat tak bisa menikmati
demokrasi dalam suasana riang, gembira, dan damai.
Sebaliknya, masyarakat
berada di bawah tekanan mobilisasi politik berbasis identitas asal, khususnya
agama dan etnis. Memilih dan/atau tidak memilih pasangan calon tertentu
seolah-olah berkaitan dengan suku ataupun agama yang dianut pemilihnya.
Pilkada yang seharusnya merupakan kontestasi mencari pemimpin berbasis
kinerja seolah-olah berubah menjadi ajang memilih agama berbasiskan persepsi
”bias” terhadap tingkat kesalehan para pasangan calon.
Apabila tidak ada upaya
serius negara, parpol, dan masyarakat menghindarinya, realitas politik
Pilkada Jakarta bisa terulang di daerah-daerah lain. Pada tingkat negara
diperlukan konsistensi penegakan hukum, termasuk penegakan hukum kampanye
pilkada berdasarkan UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016. Di dalam Pasal 69 Ayat
(b) UU No 10/2016 jelas sekali ada larangan menghina seseorang, agama, suku,
ras, dan golongan para calon kepala daerah dan partai politik.
Pada pasal yang sama di ayat
berikutnya juga diatur larangan kampanye yang bersifat menghasut, memfitnah,
dan mengadu domba parpol, perseorangan, dan kelompok masyarakat. Termasuk di
dalamnya adalah penyalahgunaan rumah ibadah sebagai ajang kampanye,
menghasut, memfitnah, dan mengadu domba antarmassa pendukung pasangan calon
dan/atau parpol. Ini tentu tanggung jawab Polri dan penyelenggara pemilu
dan/atau pilkada, khususnya Badan Pengawas Pemilu.
Pilkada
tanpa SARA
Di tingkat parpol,
problemnya, kurang sekali kesadaran para pemimpin partai atas daya rusak
kompetisi pilkada yang diwarnai oleh politisasi berbasis sentimen suku,
agama, ras, dan antargolongan (SARA). Ini tecermin dari kehadiran sejumlah
elite pemimpin parpol dalam ajang mobilisasi massa bernuasa SARA menjelang
Pilkada Jakarta pada 2017. Mereka tidak menyadari bahwa luka politik dan
sosial yang ditimbulkan oleh pembelahan politik berbasis SARA bukan hanya
sulit disembuhkan, melainkan juga berpotensi diwariskan secara turun-temurun
oleh para pendukung dan loyalis partai di tingkat akar rumput.
Pada tingkat masyarakat,
para elite dan pemimpin masyarakat juga perlu menyadari betapa luas, dalam,
dan masif potensi kerusakan yang dialami bangsa kita jika pilkada dan pemilu
memfasilitasi konflik berbasis sentimen SARA. Tidak ada kerusakan yang
melebihi kerusakan dan kehancuran yang diakibatkan oleh konflik berbasis
SARA. Kehancuran yang dialami oleh Suriah dan Irak di Timur Tengah akibat
perjuangan mereka yang menamakan diri sebagai Negara Islam di Irak dan Suriah
(NIIS) merupakan contoh telanjang betapa dahsyat kebinasaan yang diakibatkan
konflik berbasis SARA.
Oleh karena itu, tantangan
terbesar bangsa kita dalam menyongsong Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu
Serentak 2019 bukan sekadar mencari dan memilih pemimpin terbaik, berintegritas,
dan bertanggung jawab. Lebih jauh dari itu, tak kalah penting adalah
bagaimana agar proses mencari pemimpin terbaik dilakukan secara damai,
bermartabat, dan tanpa intervensi sentimen berbasis SARA.
Apalagi, sangat jelas,
republik yang disepakati para pendiri bangsa di masa lalu bukanlah negara
berbasis agama, suku, ras, atau golongan tertentu, melainkan negara
kebangsaan yang berdasarkan Pancasila. Tentu menjadi tanggung jawab moral
kita semua untuk turut merawat keberagaman dalam rangka memperkokoh
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar