Tahun
Politik 2018:
Akankah
Ada Perbaikan pada Demokrasi?
Ahmad Syafii Maarif ; Mantan Ketua Umum
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
|
REPUBLIKA,
16 Januari
2018
Alangkah berat dan malunya,
sebuah bangsa besar di kawasan khatulistiwa gagal membangun sebuah demokrasi
yang memberi harapan yang sudah digagas oleh otak-otak besar anak bangsa jauh
sebelum Indonesia merdeka.
Sekali lagi, literasi
perjalanan bangsa dan negara perlu dibaca ulang dan direnungkan dengan cara
yang lebih mendalam, khususnya oleh kelompok elite yang biasa main di
panggung politik nasional dan lokal. Tanpa asupan bacaan yang luas, pasti
mereka akan gagap dalam berpolitik karena tidak punya tempat berpijak yang kokoh
di kedalaman lautan sejarah bangsa.
Menurut KPU Pusat, biaya
untuk pesta ini dipatok Rp 11,4 triliun, tetapi pada saatnya nanti pasti
melambung di atas angka itu. Energi bangsa selama enam bulan ke depan pasti
akan disedot oleh ingar-bingarnya kompetisi politik yang secara ideologis
tampak sangat cair dan longgar.
Pasangan calon untuk
gubernur, wali kota, dan bupati masih dalam proses gonta-ganti karena sisa
ideologi pascahilangnya Marxisme tidak ada lagi yang solid, baik Islam maupun
nasionalisme. Bahkan, boleh jadi ideologi itu sudah memudar beriringan dengan
arus pragmatisme politik yang semakin menguat di tangan politisi yang sepi
wawasan dan gagasan nasional jangka panjang. Parpol yang sok ideologis,
kelakuannya tidak banyak berbeda dengan mereka yang tunaidelogi.
Demokrasi
harus tumbuh untuk keadilan
Pada sisi teknis dan
prosedur pelaksanaan demokrasi Indonesia relatif sudah teratur. Pemilu sudah
bisa dilangsungkan secara reguler dalam jangka waktu tertentu dalam siklus
lima tahunan. Kenyataan ini patut dihargai sebagai suatu kemajuan dalam
pelaksanaan teknis berdemokrasi. Sekiranya penyakit politik uang bisa
ditiadakan sampai batas yang jauh, maka pemilu Indonesia akan menghasilkan
elite politik yang punya karakter dan potensi sebagai negarawan.
Ibarat kanker, politik
uang pasti akan membinasakan sekujur tubuh demokrasi yang masih belum stabil
ini. Pertanyaan kita: parpol mana yang mau memberi contoh untuk tujuan
bersih-bersih ini?
Mohammad Hatta beberapa
hari sebelum pemilu pertama pada 29 September 1955 dalam suatu pidato radio
berpesan:
Tiap-tiap sekali sekian
tahun ... Dewan Perwakilan Rakyat kita itu akan dibarui, anggota-anggotanya
dipilih kembali oleh rakyat. Hak ini diberikan kepada rakyat, supaya rakyat
dapat mengamat-amati pekerjaan wakil-wakilnya di parlemen dan menguji
kejujurannya dan kesungguhannya melaksanakan cita-cita dan kepentingan
rakyat. Dengan pemilihan berkala itu rakyat nanti mendapat kesempatan untuk
mengganti anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang tidak jujur dan tidak sungguh
kerjanya (Lihat Karya Lengkap Bung Hatta Buku 2: Kemerdekaan dan Demokrasi.
Jakarta: LP3ES, 2000, hlm 413).
Pesan kenegarawanan Hatta
itu nyaris tidak bisa dilaksanakan dalam berbagai pemilu kita karena hati
nurani rakyat pemilih sering tidak berfungsi dengan jujur dan bahkan menjadi
lumpuh lantaran ganas dan maraknya politik uang. Suara dibeli dengan harga
murah.
Ada lagi isu penting yang
patut diperhatikan dengan saksama pada tahun politik ini, yaitu virus
perpecahan akibat Pilkada DKI beberapa waktu yang lalu. Kita sungguh berharap
agar semua pihak mau menyadari bahwa polarisasi sosial dan politik yang tajam
dan kotor sebagai bagian dari ekses Pilkada DKI jangan dibiarkan menular ke
daerah lain.
Jika gagal mencegahnya,
dengan menggunakan ayat suci, perilaku politik kumuh, dan berita hoax (palsu)
secara masif bisa saja akan berulang untuk menggoncangkan Indonesia sampai
jauh ke kawasan udik, seperti yang telah berlaku di Ibu Kota.
Dengan menggunakan
jaringan medsos, gema politik identitas DKI itu dengan sangat kencang telah
menjalar ke seluruh Tanah Air. Segala kemungkinan ini harus diantisipasi dari
sekarang oleh aparat kepolisian, KPU, Bawaslu, dan rakyat banyak selama enam
bulan ke depan.
Polarisasi di atas terasa
sampai ke unit-unit sosial yang paling kecil. Anggota masyarakat saling
mengintip dengan penuh curiga sambil menerka siapa pro siapa. Proses Pilkada
DKI adalah contoh terburuk yang pernah kita alami. Maka pilkada serentak pada
27 Juni 2018 harus terbebas dari virus jahat Pilkada DKI.
Biarlah proses politik itu
berlangsung secara alamiah, teratur, beretika, dan bermartabat. Jangan
dikotori lagi. Selamat memasuki gerbang tahun politik. Hidup dan jayalah
demokrasi Indonesia yang sehat, beretika, dan bermartabat! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar