Para
Sarjana, Menulislah di Jagat Maya!
Iqbal Aji Daryono ; Esais tanpa
kualifikasi, tinggal di Bantul
|
DETIKNEWS,
16 Januari
2018
Judul tulisan ini beraroma
mulut trainer. Biasanya kalimat senada dilontarkan pada pelatihan-pelatihan
kepenulisan, sebagai motivasi agar para peserta bersemangat menulis sampai
kesetanan. Menulislah maka Anda akan kaya!
Haha. Maaf, bukan itu yang
saya maksud. Ini sesederhana permohonan agar orang-orang sekolahan mengisi
lalu lintas dunia maya dengan gagasan dan perspektif bermutu. Kira-kira
begitu.
***
Pada era ini, informasi di
lini masa selalu menggerakkan kita. Menggerakkan persepsi kita, menggerakkan
imajinasi-imajinasi kita, menggerakkan cara kita menyikapi peristiwa demi
peristiwa. Bahkan, pada satu titik ia mampu menggerakkan fisik kita dalam
tindakan-tindakan kasat mata.
Semangat masyarakat dalam
membaca terbukti melonjak luar biasa. Membaca celotehan di grup Whatsapp,
membaca unggahan di Facebook, membaca caption Instagram, termasuk membaca
tulisan-tulisan dari situs-situs web yang akurasinya ada pada level
wallahualam. Lho, ini bukan sarkas lho. Semua kegiatan itu tetap merupakan aktivitas
membaca, to?
Keriuhan dunia
baca-membaca di zaman ini dihidupi oleh siapa pun. Revolusi media sosial
menyajikan parade kebebasan bersuara ala demokrasi superliberal dalam layar
kecil di genggaman tangan kita. Mulai profesor hukum hingga anak geng motor
yang menyentuh buku saja seumur-umur belum pernah, semua bisa menyajikan
cerita. Semua orang sekarang bisa menulis, dan semua jenis tulisan bisa
terbaca!
Luar biasa, bukan?
Indonesia adalah gudangnya penulis produktif! Ini harus kita rayakan! Cheers!
Nah, setelah bersulang,
mari duduk sebentar. Kita lihat dulu, sebagian besar tulisan yang tersebar
hingga WAG Karang Taruna itu tulisan yang seperti apa? Betulkah sebagian
besar tulisan-tulisan itu mencerdaskan, memberikan data akurat dan
bertanggung jawab, atau minimal mengajarkan pembenahan cara berpikir dan
bersikap?
Tidak? Kenapa begitu? Ya
karena yang lebih tekun menulis adalah populasi "penulis lepas" dan
"penulis liar" yang memang tidak melandasi aktivitas mereka dengan
pertanggungjawaban ilmiah apa pun. Contohnya: saya sendiri.
Bukan, ini bukan omongan
genit sok rendah hati. Tapi saya memang tidak memiliki kualifikasi keilmuan
tertentu. Saya menulis asal sesuai dengan apa yang terlintas di pikiran, asal
merasa bahwa yang saya pikirkan itu benar. Itu thok, tanpa landasan ilmiah
yang sepantasnya. Dan malangnya, spesies seperti saya inilah populasi
terbanyak penulis dunia maya!
Sampai di sini, muncul
pertanyaan pentingnya: lalu di mana para sarjana kita? (Ketika saya menyebut
istilah "sarjana", maksud saya tentu tidak sesederhana lulusan S1
perguruan tinggi, melainkan mereka yang memiliki kualifikasi akademis hebat,
hingga level master dan doktor sekalipun.)
Memang sih, lumayan juga
ada beberapa orang berpendidikan tinggi yang mengisi keriuhan dunia maya.
Namun bisa dibilang cuma itu-itu saja, dan terlalu sedikit jika dibandingkan
dengan angka jumlah sarjana atau master atau doktor kita secara keseluruhan.
Nggak usah jumlah sarjana S1, lah. Di antara para doktor Indonesia yang
jumlahnya cuma 31 ribu orang itu, cuma ada berapa biji yang mendominasi
percakapan di dunia maya?
***
Saya menduga, penyebab
minimnya jumlah sarjana aktivis dunia maya setidaknya ada tiga.
Pertama, para sarjana terlalu
membatasi diri dengan menulis jurnal ilmiah. Harga diri intelektual mereka
ditancapkan semata dengan jurnal.
Tentu saja itu tidak
salah, sebab menulis jurnal wajib hukumnya, dan memang itulah salah satu
tugas utama yang harus dipenuhi oleh para akademisi. Namun jika berhenti di
situ saja, gagasan mereka hanya akan disantap oleh sesama kalangan elite
pengetahuan. Tidak bisa lebih dari itu.
Dalam bahasa yang lebih
kejam, para sarjana yang semata menulis jurnal sekadar mengabdi kepada dunia
keilmuan, tapi lupa mengabdi kepada masyarakat dari mana mereka dilahirkan.
Maka saya agak merasa
nganu, ketika beberapa tahun silam seorang profesor ternama yang mengajar di
sebuah universitas di luar negeri berceramah di hadapan para akademisi UGM
Yogyakarta: "Kalau kalian akademisi, ya jangan nulis di koran. Itu
jatahnya para penulis. Akademisi ya nulis jurnal ilmiah!"
Saya serasa mendengar
sejenis kesombongan, bahkan kampanye sikap antisosial.
Mungkin saya salah, atau
cuma lagi PMS saja. Tapi belakangan muncul di beranda Facebook saya tulisan
Asit Biswas, profesor di National University of Singapore, dan Julian
Kirchherr, peneliti di Oniversity of Oxford. Keduanya membuat pengamatan dan
estimasi bahwa sebuah tulisan di jurnal ilmiah rata-rata hanya dibaca hingga
tuntas oleh 10 orang. Ya, sepuluh orang!
Bayangkan, betapa
elitisnya wacana yang dibagikan dalam jurnal-jurnal, dan betapa terbatas
jangkauannya. Lalu bagaimana gagasan orang-orang pintar di universitas
memberikan faedah berlimpah bagi para jelata sudra pengetahuan macam
kita-kita?
Kedua, kalau toh menulis
untuk publik, banyak sarjana yang masih berpikir bahwa media cetak tetap
lebih berwibawa. Maka mereka terus menulis di media cetak, sembari tak
percaya media online. Ini riil, saya pernah menjumpai beberapa di antaranya.
Mungkin satu-dua masih membawa jargon klasik, "Ah, rasanya bau kertas
tetap romantis, dan tak tergantikan oleh bau layar sentuh semutakhir apa
pun."
Mereka tak sadar, bahwa
salah satu koran cetak terkuat di Indonesia saja oplahnya konon sekarang cuma
300 ribu eksemplar. Anda menulis opini di koran tersebut, belum tentu terbaca
oleh separuh dari ke-300 ribu pelanggan. Sebab terlalu banyak pelanggan yang
tak punya waktu untuk membaca halaman opini.
Bandingkan dengan tulisan
di dunia maya. Sebuah tulisan laris sangat mungkin dibaca oleh lebih dari
sekadar 300 ribu orang. Sebab ada satu mekanisme di dunia online yang tidak
dimiliki dunia cetak, yakni viral. Secara teknis, membagi sebuah tulisan di
dunia maya sangat mudah. Dalam hitungan menit, sebuah gagasan tertulis bisa
tersebar kilat ke puluhan grup Whatsapp, grup BBM, juga dibagi di laman-laman
media sosial.
Anda tak mungkin
menjalankan mekanisme viral pada tulisan di koran cetak, bukan? Atau Anda
punya waktu untuk memfotokopinya, lalu menyebarkannya di masjid-masjid
bersebelahan dengan buletin jumatan?
Maka kadang saya malah
geli kalau ada penulis yang memaksa diri memviralkan tulisan cetak dengan
cara memotretnya, mengunggahnya di akun Facebook, lalu orang-orang membacanya
sambil memicing-micingkan mata hehehe.
Ketiga, karakter dunia
maya yang cair agaknya membuat martabat intelektual para sarjana terluka.
Tulisan-tulisan dunia maya sering diracik dengan enteng, lentur, kadang
sangat dipengaruhi warna tradisi oral. Sementara banyak sarjana yang masih
percaya bahwa tulisan bermutu adalah tulisan yang bisa membikin stroke
pembacanya, dengan tumpukan istilah ilmiah, kutipan-kutipan hebat, serta
nukilan referensi yang menggetarkan hati.
Maka, dunia maya pun
terlalu nista untuk dijadikan wadah gagasan adiluhung mereka.
***
Masyarakat kita ini, saya
rasa, membuat lompatan peradaban yang tidak taat silabus. Kita belum selesai
dengan budaya literasi cetak, tahu-tahu tradisi literasi online sudah
berkuasa dengan begitu cepatnya. Fondasi kita belum cukup kuat untuk
menyaring banyak hal dan menyingkirkan sampah-sampah yang terlalu cepat
memenuhi ruang-ruang akses informasi kita.
Maka di sinilah para
akademisi, para sarjana, para orang pintar yang jelas kualifikasi keilmuannya,
ditantang untuk ngeli ning ora keli,
kalau orang Jawa mengungkapkan. Menghanyutkan diri tapi tidak terhanyut.
Menunggangi arus yang sudah sedemikian tak terlawan, masuk ke dalam pusaran
keributan-keributan dunia maya, namun sembari berjuang agar di atas rapuhnya
fondasi literasi tersebut semua orang bisa terus belajar.
Yaaa, kecuali Anda-Anda
ikhlas pergulatan wacana di tengah publik berhenti di level begini-begini
saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar