Sinergi
Riset dan Publikasi
Edy Purwo Saputro ; Dosen Pascasarjana di
Universitas Muhammadiyah Solo
|
KOMPAS,
22 Januari
2018
Berita di Kompas (Rabu, 17 Januari 2018),
tentang riset yang belum optimal menarik dikaji. Tak hanya terkait
kepentingan distribusi dana riset secara nasional, tetapi juga aspek
kepentingan publikasinya, terutama di jurnal internasional terindeks Scopus
atau bereputasi.
Padahal, pemerintah berkepentingan untuk
memacu publikasi, terutama demi mengatasi ketertinggalan dari negara
tetangga. Artinya, pemberian insentif dan juga dana penelitian menjadi
penting untuk bisa mencapai tahapan akumulasi publikasi yang lebih banyak
lagi demi daya saing pendidikan tinggi.
Klusterisasi terkait dengan dana penelitian
juga penting sehingga kelompok kompetisinya lebih terarah,
termasuk—misalnya—klusterisasi dari sejumlah perguruan tinggi swasta (PTS)
yang masuk dalam kelompok mandiri dan juga binaan. Artinya, PTS yang mandiri,
seperti Universitas Muhammadiyah Surakarta-Solo, mampu mengembangkan berbagai
riset unggulan berbasis kompetensi, sementara di sisi lain tetap dimungkinkan
untuk bersaing di skim pendanaan nasional. Selain itu, peran pembina terhadap
PTS kecil juga harus dilakukan secara berkelanjutan agar tahapan untuk
mencapai level yang lebih tinggi bisa dilakukan. Meski demikian, hal ini
harus bersinergi antara PTS mandiri dan PTS binaan.
Besaran dana riset tahun 2017 senilai Rp
153,5 miliar untuk pendanaan 2.288 proposal, sedangkan pada 2018 jadi Rp
138,8 miliar untuk 2.201 proposal. Meski turun 2,1 persen, diharapkan ada
peningkatan terhadap kualitas proposal yang didanai. Oleh karena itu,
implikasi dari pendanaan tersebut ialah tuntutan publikasi sebagai salah satu
luaran (output)
wajib dari proposal yang lolos seleksi. Padahal, setidaknya ada tiga luaran
wajib yang diminta Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dalam
ajuan proposal, yaitu buku ajar, publikasi di jurnal internasional terindeks
atau bereputasi, dan model—paten— kebijakan yang mampu untuk
diimplementasikan secara nyata.
Tuntutan dari ketiganya secara tidak
langsung menegaskan bahwa riset ke depan harus berimplikasi secara nyata
sehingga tidak ada riset yang tanpa tujuan jelas implementasinya. Hal ini
juga berlaku untuk proposal skim pengabdian kepada masyarakat, yang ditambah
dengan tuntutan publikasi di koran nasional.
Artinya, dari ribuan proposal yang didanai
untuk 2018, baik itu skim baru maupun lanjutan, setidaknya akan ada sejumlah
itu pula publikasi di jurnal internasional terindeks atau bereputasi. Karena
itu, beralasan jika periset yang lolos akan dikejar terus terkait tuntutan
luaran atau output dari
proposal yang didanai Kementerian Ristek dan Dikti untuk semua skim pendanaan
riset: riset dasar atau terapan.
Indikasi dana riset dan tuntutan publikasi
sejatinya untuk memacu daya saing PT di republik ini. Hal ini jadi penting
karena publikasi internasional oleh pengajar kita masih rendah, sementara di
sisi lain pemerintah telah memberikan dana sertifikasi kepada dosen yang
nominalnya tidaklah kecil.
Bahkan, untuk guru besar nominalnya lebih
besar lagi meski di sisi lain ada ironi terkait publikasi mereka. Malah ada
juga kritik terkait kinerja guru besar yang belum maksimal. Karena itu, beralasan
jika kemudian pemerintah menuntut agar guru besar dan dosen berpangkat lektor
kepala wajib memiliki publikasi internasional terindeks atau bereputasi
setiap tahunnya.
Kewajiban itu sempat memicu kontroversi,
terutama dikaitkan proses panjang dari penerbitan di jurnal internasional
terindeks atau bereputasi. Padahal, ancaman nyata dari tidak adanya publikasi
oleh guru besar atau dosen berpangkat lektor kepala ialah dicabutnya
tunjangan sertifikasi.
Fakta ini sebenarnya memberikan dua kesempatan: termotivasi
atau justru tereduksi. Pilihan ini tentu mengacu pada kualitas dari keduanya
karena guru besar yang tidak produktif juga banyak, sementara kelompok lektor
kepala yang produktif juga banyak. Artinya, dilema dari kepentingan pendanaan
riset dan tuntutan publikasi memberikan konsekuensi yang tak kecil dan
pemerintah juga berkepentingan dengan hal ini demi daya saing PT.
Pemerintah juga menyadari biaya publikasi
di jurnal internasional terindeks atau bereputasi tidak murah sehingga
beralasan jika dalam pendanaan proposal yang disetujui menyertakan besaran
nominal untuk publikasi internasional. Selain itu, saat ini hampir semua PT
mapan juga menyediakan insentif kepada dosen yang hasil risetnya bisa lolos
publikasi di jurnal internasional terindeks atau bereputasi.
Artinya, ada gayung yang bersambut antara
tuntutan publikasi dari pemerintah (Kemenristekdikti), PT, dan juga dosen
demi peningkatan jenjang karier. Termasuk untuk pengurusan kepangkatan guru
besar yang harus memiliki minimal satu publikasi internasional terindeks atau
bereputasi. Meski aturan ini dirasa berat, tak ada alasan untuk tak terus
mencobanya. Sebab, semua itu untuk daya saing dan kualitas pendidikan di PT
serta mengamankan jatah sertifikasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar