Selasa, 23 Januari 2018

Kekumuhan Politik ”Post-Truth”

Kekumuhan Politik ”Post-Truth”
M Subhan SD  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                      KOMPAS, 20 Januari 2018



                                                           
Di panggung politik tiada lakon epik penuh kepahlawanan yang menebalkan cinta Tanah Air. Tiada adegan-adegan heroik yang dapat dicatat menjadi kisah sejarah membanggakan untuk masa depan. Lakon politik telah disabotase dengan peran-peran antagonis yang mengalahkan peran-peran protagonis. Karakter para pemain politik rasanya jauh dari rasa yang patut diteladani. Karakter hipokrit, culas, balas dendam menjadi tontonan yang tidak menghibur. Politik tidak lagi berakhir happy ending, tetapi mungkin menjadi tragicomedy.

Praktik politik kemarau dengan ide-ide dan pikiran jernih. Sebaliknya emosi makin menguasai keputusan untuk kemaslahatan publik. Partai politik tak selesai-selesai dengan keributan dan konflik internal. Kasus terbaru Partai Hanura. Partai ini pecah, pengurusnya pecat-memecat. Masing-masing merasa berada di pihak yang benar. Kasus lain terdengar pula politik uang atau mahar politik, tetapi banyak politikus membantah soal mahar politik, yang sudah menjadi rahasia umum itu. Begitulah karakter era politik pasca-kebenaran (post-truth).

Merujuk kamus Oxford, post-truth merupakan suatu kondisi ketika emosi dan keyakinan personal justru lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik ketimbang fakta obyektif. Emosi dan perasaan mengalahkan nalar pikiran. Istilah yang mengacu pada pengertian sekarang ini bermula dari Steve Tesich di majalah The Nation (1992) dalam kasus Perang Teluk. Kemudian Ralph Keyes menulis buku The Post-truth Era (2004). Dan, tahun 2016 menjadi kata paling mendunia terkait kasus Brexit dan Pilpres Amerika Serikat. Blogger David Roberts (2010) mendefinisikan istilah tersebut sebagai budaya politik di mana politik (opini publik dan narasi media) hampir sepenuhnya terputus dari substansi kebijakan.

Pada era post-truth, tafsir terhadap fakta justru menjadi kebenaran, bukan fakta itu sendiri. Kebenaran pun makin menjauh dari faktanya. Donald Trump merupakan contoh paling mudah. Ia adalah bagian terkemuka dari politik post-truth, yang selalu merasa benar tetapi tidak memiliki dasar kebenarannya (The Economist, September 2016). Platform media sosial yang seakan menjadi ”berhala” baru menjadi pupuk penyubur bagi politik post-truth.

Melihat kasus-kasus yang muncul, hoaks dan berita palsu (fake news) adalah anak kandung media sosial. Sebaliknya fakta obyektif menjadi ”anak tiri”. Kebenaran bergantung pada siapa yang memberi tafsir, bukan pada faktanya. Tafsir terhadap fakta itulah yang dianggap kebenaran. Sebaliknya fakta ditenggelamkan di dasar laut terdalam. Orang mengabaikan klarifikasi (tabayyun). Bahkan, tidak jarang juga media arus utama tergoda atau tergiur ikut-ikutan mereproduksi fake news. Padahal, ”kebenaran” menjadi elemen pertama jurnalisme yang dikemukan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2006).

Apa yang terjadi selama era politik post-truth adalah politik yang didominasi dengan tafsir-tafsir terhadap fakta. Paling mencolok adalah sikap-sikap merendahkan atau menyalahkan pihak lain (lawan politik). Bisa juga balas dendam karena sebelumnya merasa diperlakukan tidak adil. Dalam suasana demikian, politik didominasi dengan amarah. Politik tidak menumbuhkan nilai-nilai yang baik dengan kerja-kerja positif dan konstruktif, tetapi disesaki dengan karakter negatif yang destruktif.

Alhasil, politik lebih banyak diwarnai dengan pengungkapan sisi negatif pihak lain daripada mempromosikan sisi positif yang dimiliki. Banyak yang sibuk dengan mengorek-ngorek kekurangan pihak lain ketimbang menaburkan benih-benih keunggulan yang dapat menjadi nilai jual di depan publik. Maka, di era post-truth ini, dunia bisa terbalik-balik. Ketidakjujuran bisa menjadi kejujuran. Kekeliruan juga bisa berarti kebenaran. Karena, fakta tidak dipedulikan. Opini yang dibangun bukan atas dasar fakta kebenaran, melainkan cara-cara manipulatif. Entah wabah politik apa yang terus menghinggapi negeri ini ketika politik lebih banyak melahirkan permusuhan, kebencian, atau balas dendam.

Tampaknya inilah yang bakal menjadi beban pada pilkada serentak 2018 dan sepertinya bakal terus berlanjut pada Pilpres 2019. Pesta demokrasi seperti pilkada atau pilpres tidak lagi menjadi pesta demokrasi yang periodikal, tetapi menjadi peluang abadi yang harus direbut. Suara-suara terdengar agar pola Pilkada DKI Jakarta 2017 agaknya bakal di-copas (copy paste) dalam Pilkada 2018 dan Pilpres 2019, terlebih dengan munculnya gejala populisme. Politik tidak menjadi ruang dialog yang saling memunculkan gagasan-gagasan brilian demi kemaslahatan publik. Politik bukan sebagai arena membangun kerja sama dan soliditas demi kemajuan bangsa.

Sebaliknya politik hanya dipandang sebagai arena pertarungan yang saling mengalahkan demi kekuasaan. Arena politik tak ubahnya bangunan Koloseum pada zaman Romawi kuno tempat para gladiator bertarung sampai kucuran darah penghabisan. Di panggung politik terlihat kekuasaan menjadi tujuan, bukan alat perjuangan untuk menyejahterakan rakyat. Inilah yang membuat demokrasi di negeri ini goyah. Pilar-pilar demokrasi tidak bertumpu pada fondasi yang kuat. Betapa bahwa praktik politik post-truth itu terasa begitu kumuh. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar