Kekumuhan
Politik ”Post-Truth”
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
20 Januari
2018
Di panggung politik tiada
lakon epik penuh kepahlawanan yang menebalkan cinta Tanah Air. Tiada
adegan-adegan heroik yang dapat dicatat menjadi kisah sejarah membanggakan
untuk masa depan. Lakon politik telah disabotase dengan peran-peran antagonis
yang mengalahkan peran-peran protagonis. Karakter para pemain politik rasanya
jauh dari rasa yang patut diteladani. Karakter hipokrit, culas, balas dendam
menjadi tontonan yang tidak menghibur. Politik tidak lagi berakhir happy
ending, tetapi mungkin menjadi tragicomedy.
Praktik politik kemarau
dengan ide-ide dan pikiran jernih. Sebaliknya emosi makin menguasai keputusan
untuk kemaslahatan publik. Partai politik tak selesai-selesai dengan
keributan dan konflik internal. Kasus terbaru Partai Hanura. Partai ini
pecah, pengurusnya pecat-memecat. Masing-masing merasa berada di pihak yang
benar. Kasus lain terdengar pula politik uang atau mahar politik, tetapi
banyak politikus membantah soal mahar politik, yang sudah menjadi rahasia
umum itu. Begitulah karakter era politik pasca-kebenaran (post-truth).
Merujuk kamus Oxford,
post-truth merupakan suatu kondisi ketika emosi dan keyakinan personal justru
lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik ketimbang fakta obyektif.
Emosi dan perasaan mengalahkan nalar pikiran. Istilah yang mengacu pada
pengertian sekarang ini bermula dari Steve Tesich di majalah The Nation
(1992) dalam kasus Perang Teluk. Kemudian Ralph Keyes menulis buku The
Post-truth Era (2004). Dan, tahun 2016 menjadi kata paling mendunia terkait
kasus Brexit dan Pilpres Amerika Serikat. Blogger David Roberts (2010)
mendefinisikan istilah tersebut sebagai budaya politik di mana politik (opini
publik dan narasi media) hampir sepenuhnya terputus dari substansi kebijakan.
Pada era post-truth,
tafsir terhadap fakta justru menjadi kebenaran, bukan fakta itu sendiri.
Kebenaran pun makin menjauh dari faktanya. Donald Trump merupakan contoh
paling mudah. Ia adalah bagian terkemuka dari politik post-truth, yang selalu
merasa benar tetapi tidak memiliki dasar kebenarannya (The Economist,
September 2016). Platform media sosial yang seakan menjadi ”berhala” baru
menjadi pupuk penyubur bagi politik post-truth.
Melihat kasus-kasus yang
muncul, hoaks dan berita palsu (fake news) adalah anak kandung media sosial.
Sebaliknya fakta obyektif menjadi ”anak tiri”. Kebenaran bergantung pada
siapa yang memberi tafsir, bukan pada faktanya. Tafsir terhadap fakta itulah
yang dianggap kebenaran. Sebaliknya fakta ditenggelamkan di dasar laut
terdalam. Orang mengabaikan klarifikasi (tabayyun). Bahkan, tidak jarang juga
media arus utama tergoda atau tergiur ikut-ikutan mereproduksi fake news.
Padahal, ”kebenaran” menjadi elemen pertama jurnalisme yang dikemukan Bill
Kovach dan Tom Rosenstiel (2006).
Apa yang terjadi selama
era politik post-truth adalah politik yang didominasi dengan tafsir-tafsir
terhadap fakta. Paling mencolok adalah sikap-sikap merendahkan atau
menyalahkan pihak lain (lawan politik). Bisa juga balas dendam karena
sebelumnya merasa diperlakukan tidak adil. Dalam suasana demikian, politik
didominasi dengan amarah. Politik tidak menumbuhkan nilai-nilai yang baik
dengan kerja-kerja positif dan konstruktif, tetapi disesaki dengan karakter
negatif yang destruktif.
Alhasil, politik lebih
banyak diwarnai dengan pengungkapan sisi negatif pihak lain daripada
mempromosikan sisi positif yang dimiliki. Banyak yang sibuk dengan
mengorek-ngorek kekurangan pihak lain ketimbang menaburkan benih-benih
keunggulan yang dapat menjadi nilai jual di depan publik. Maka, di era
post-truth ini, dunia bisa terbalik-balik. Ketidakjujuran bisa menjadi
kejujuran. Kekeliruan juga bisa berarti kebenaran. Karena, fakta tidak
dipedulikan. Opini yang dibangun bukan atas dasar fakta kebenaran, melainkan
cara-cara manipulatif. Entah wabah politik apa yang terus menghinggapi negeri
ini ketika politik lebih banyak melahirkan permusuhan, kebencian, atau balas
dendam.
Tampaknya inilah yang
bakal menjadi beban pada pilkada serentak 2018 dan sepertinya bakal terus
berlanjut pada Pilpres 2019. Pesta demokrasi seperti pilkada atau pilpres
tidak lagi menjadi pesta demokrasi yang periodikal, tetapi menjadi peluang
abadi yang harus direbut. Suara-suara terdengar agar pola Pilkada DKI Jakarta
2017 agaknya bakal di-copas (copy paste) dalam Pilkada 2018 dan Pilpres 2019,
terlebih dengan munculnya gejala populisme. Politik tidak menjadi ruang
dialog yang saling memunculkan gagasan-gagasan brilian demi kemaslahatan
publik. Politik bukan sebagai arena membangun kerja sama dan soliditas demi
kemajuan bangsa.
Sebaliknya politik hanya
dipandang sebagai arena pertarungan yang saling mengalahkan demi kekuasaan.
Arena politik tak ubahnya bangunan Koloseum pada zaman Romawi kuno tempat
para gladiator bertarung sampai kucuran darah penghabisan. Di panggung
politik terlihat kekuasaan menjadi tujuan, bukan alat perjuangan untuk
menyejahterakan rakyat. Inilah yang membuat demokrasi di negeri ini goyah.
Pilar-pilar demokrasi tidak bertumpu pada fondasi yang kuat. Betapa bahwa
praktik politik post-truth itu terasa begitu kumuh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar