Selamat
Tinggal Politik Kebencian
Arif Susanto ; Pegiat Lingkaran Jakarta; Analis Politik Exposit Strategic
|
KOMPAS,
09 Januari
2018
Kebencian mengharu biru
politik nasional hampir sepanjang 2017. Tegangan politik tiada henti
menghunuskan sikap permusuhan terhadap yang berbeda sebagai yang harus
dipencilkan.
Pencerdasan politik
kiranya menerbitkan harapan tentang diskursus kritis yang akan menghidupi
pesta demokrasi tahun mendatang sehingga kita bisa menyatakan selamat tinggal
kepada politik kebencian.
Sejak Pemilu 2014, politik
Indonesia semakin akrab dengan mobilisasi kebencian; ia terus- menerus
dipupuk hingga menggunung pada 2017. Kebencian, yang mulanya digerakkan oleh
hasrat perebutan kekuasaan dalam politik, merangsek dalam sisi-sisi lain
kehidupan dan mengancam sosiabilitas kita. Riak-riak konflik meluber
menggenangi ruang-ruang publik menggoyang harmoni sosial.
Politik kebencian
mengguyur energi begitu besar untuk menampik yang berbeda. Di dalamnya
sekat-sekat eksklusi dioperasikan untuk menghasilkan dukungan politik,
terutama dari massa akar rumput. Alih-alih menghasilkan suatu solidaritas,
meluasnya dukungan eksklusif semacam itu hanya menegaskan segregasi yang
dikukuhkan dinding tebal pemilahan antara ”kami” dan ”mereka”.
Dalam pemilahan tersebut,
perbedaan berfungsi bukan sebagai perangkat identifikasi yang memungkinkan
interaksi. Berlawanan dengan interaksi, ini adalah suatu tindakan non-
intercourse; ketika mereka menimbang hanya kesamaan tanpa kesediaan untuk
mendialogkan perbedaan. Aspek resiprokalitas, yang mencirikan interaksi,
justru diringkus lewat suatu pemencilan.
Pelingkupan terhadap yang
serupa sekaligus pemencilan terhadap yang berbeda mengancam sosiabilitas.
Orang cenderung kehilangan sikap ramah terhadap perbedaan karena terhasut
oleh politik kebencian yang dibawa serta dalam permainan kekuasaan. Padahal,
pelingkupan inilah yang menjadi modal solidaritas, pembentuk pilar Bhinneka
Tunggal Ikadalam kehidupan bernegara kita.
Kebinekaan digerus
kepicikan para demagog politik yang berupaya mengidentifikasi diri dengan
kelompok mayoritas, mengesankan diri sebagai pembela kepentingan mereka dan
menjanjikan kebijakan-kebijakan yang seolah anti-elitisme. Gaya populis ini
masih ditambah satu kunci propaganda untuk mengidentifikasi pihak lain
sebagai sumber masalah yang harus dimusuhi.
Marc F Plattner (2010)
menyebut populisme sebagai suatu anatema bagi demokrasi, antara lain karena
ancaman serius yang dibawa oleh gaya politik ini terhadap keberagaman.
Bahkan, ketika populisme mengusung jargon-jargon demokrasi dan keadilan,
sikap permusuhan yang ditunjukkannya telah membuka kedok-kedok politik
kebencian, yang berseberangan dengan kedua nilai tersebut.
Selain persoalan
ketimpangan sosial, lemahnya imajinasi politik telah membuka jalan politik
kebencian yang ditumpangkan populisme. Sebagian elite politik enggan
membayangkan suatu solidaritas inklusif sebagai modal elektoral mereka,
sementara massa pendukung mereka sulit memikirkan pemimpin yang akomodatif
terhadap beragam tuntutan. Kebencian, sedemikian rupa, telah merusak politik.
Politik
harapan
Realitas yang pahit, kata
Mohammad Hatta (1956), sering kali menumbuhkan ideal baru sebagai harapan
bagi masa datang. Demikianlah pahitnya politik kebencian mesti segera
diakhiri agar kita dapat beringsut menyongsong harapan-harapan baru politik
pada masa menjelang. Suatu masa kritis yang membutuhkan lebih banyak kehendak
baik agar politik mampu menumbuhkan harapan segar.
Pada 2018, kita segera
menghadapi momen besar pilkada serentak, yang juga dapat dilihat sebagai
pemanasan menuju Pemilu 2019. Titik ini menjadi begitu krusial bukan sekadar
karena ia ajang pertaruhan kekuasaan, melainkan terutama karena ia strategis
menentukan arah perkembangan demokrasi: apakah akan terkonsolidasi atau malah
berbalik arah.
Politik kebencian telah
meninggalkan celah lebar pembelahan sosial, yang mengindikasikan suatu
kemunduran demokrasi. Tantangan besar memoderasi konflik politik kini
beriringan dengan pertanyaan tentang bagaimana memacak suatu pendidikan
politik yang menghidupkan semangat berdialog, bukan bertikai. Inilah sisi
cerdas yang telah terlalu lama diabaikan segenap elite politik.
Di bawah terang gagasan
permusyawaratan rakyat, tampak bahwa kebebasan minus literasi hanya
menghasilkan partisipasi tanpa kritisi. Begitulah massa tidak kritis yang
enggan untuk berdialog menjadi mudah ditunggangi para demagog. Maka, tugas
penting untuk membangun fundamen kedaulatan rakyat, sesungguhnya, bermula
dari langkah menggugah kesadaran kritis politik massa.
Sebanyak 171 daerah yang
terlibat penyelenggaraan Pilkada 2018 bisa meretas suatu jalan baru
pencerdasan politik sebagai suatu jalur yang berbeda dari pembodohan yang
telah ditempuh dalam kontestasi politik Jakarta 2017. Sebab, tidak ada yang
memberikan nyala lebih nyata bagi jalan permusyawaratan rakyat dibandingkan
massa kritis yang cerdas mengembangkan diskursus politik.
Jika para kandidat hanya
bisa mematut diri sambil mencibir kelemahan lawan, bisa dipastikan proses
politik gagal menghasilkan suatu diskursus. Lebih daripada itu, jika para
kandidat mampu menyodorkan alternatif-alternatif cerdas bagi massa pemilih
dalam suatu diskusi publik penuh wawasan, politik Indonesia dapat menjadi
lahan persemaian harapan yang tiada putus.
Dalam dua dekade usia
reformasi, politik nasional semestinya tak gamang untuk memilih akselerasi
pembaruan harapan. Asa bagi konsolidasi demokrasi tak mungkin digantungkan
pada ambisi kekuasaan elite, tetapi pada kemampuan subyek-subyek politik
untuk mengembangkan partisipasi kritis. Dengan menolak mengebawahkan nalar
untuk diinjak-injak dogma, mari ucapkan selamat tinggal kepada politik
kebencian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar