Politik
Zigzag Pilkada 2018
Burhanuddin Muhtadi ; Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia;
Dosen FISIP UIN Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Januari 2018
AKHIR-AKHIR ini publik disajikan
drama politik yang tidak lucu berkaitan proses pencalonan kepala daerah dalam
pilkada serentak di 171 wilayah pada Juni 2018. Banyak partai yang melakukan
tarik ulur dukungan kepada bakal calon yang semakin menegaskan diktum politik
lama bahwa yang pasti dalam politik ialah ketidakpastian itu sendiri. Pilkada
Jawa Barat merupakan contoh sempurna. Golkar tiba-tiba mencabut dukungan
kepada Ridwan Kamil sebagai bakal calon gubernur. PKS mendadak balik arah dan
mengalihkan dukungannya dari Deddy Mizwar ke Mayjen (Purn) Sudrajat.
Dalam proses penentuan
calon kepala daerah dan membangun koalisi dalam pilkada, partai-partai
umumnya memakai tiga pertimbangan penting. Pertama, elektabilitas calon
kepala daerah yang akan diusung. Inilah variabel penting yang sering menjadi
dasar partai dalam memberikan rekomendasi. Partai sadar bahwa popularitas
calon lebih menentukan hasil akhir pilkada ketimbang mesin partai.
Dengan tingkat kedekatan
terhadap partai (party ID) yang rendah di Indonesia (survei Indikator Politik
Indonesia terakhir hanya di kisaran 10%) dan keanggotaan partai (party
membership) yang sangat minimalis, politik elektoral kita lebih dipengaruhi
magnet elektoral calon yang diusung partai ketimbang partai. Akibatnya,
dengan dalih elektabilitas kuat, partai sering memberi tiket kepada calon
yang bukan berasal dari partai ketimbang kadernya sendiri. Koalisi dalam
pilkada menjadi sangat cair dan nirideologis.
Kedua, kecukupan syarat
teknis pencalonan kepala daerah juga menjadi pertimbangan krusial. Kita tahu,
dalam UU terbaru, partai atau gabungan partai baru dapat mendaftarkan calon
jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah
kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum
anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Banyak partai yang tak punya
kemewahan mencalonkan tanpa koalisi dengan partai lain.
Akibatnya, banyak di
antara mereka yang bermanuver dalam menjodohkan calon yang digadang-gadang
dengan calon dari partai lain guna memenuhi ambang batas pencalonan yang
tinggi. Jika partai pengusung lebih dari dua, sedangkan jatah posisi calon
kepala daerah dan wakilnya terbatas, proses barter umum dilakukan untuk
'membeli' perahu atau uang mahar. Inilah awal dari kawin paksa politik yang
sering menjadi penyebab pecah kongsi pasangan kepala daerah jika mereka
terpilih.
Terakhir, faktor koalisi
linear pilkada dengan pemilihan presiden dan wakil presiden 2019. Inilah
variabel baru dan aktual yang turut memengaruhi Pilkada serentak 2018.
Sebelum 2018, faktor elektabilitas cenderung mendominasi pertimbangan partai
dalam menentukan pilihan. Kini pertimbangan koalisi pilkada linear dengan
koalisi pilpres jadi penting. Berhubung Pilkada 2018 akan diselenggarakan 9
bulan sebelum pilpres 2019, bahkan hanya 2 bulan sebelum proses nominasi
capres via KPU, aroma pilpres sangat terasa dalam penentuan koalisi pilkada.
Pilkada 2018 adalah
'semifinal' menuju Pilpres 2019 sebagai grand final kompetisi elektoral.
Inilah yang menyebabkan politik zigzag lebih sering terjadi dalam dinamika
pilkada kali ini. Hengkangnya PKS dalam koalisi pendukung Deddy Mizwar tak
bisa dilepaskan dari desain koalisi 2019 yang ingin dipatenkan antara PKS,
Gerindra, dan PAN. Twitwar awal tahun antara Deddy Mizwar dan Hidayat
Nurwahid mengenai kontrak politik yang ditandatangani Deddy terkait
komitmennya menyukseskan capres yang diusung Partai Demokrat merupakan bukti
bahwa pilkada 2018 tak bisa dilepaskan aromanya dari pilpres 2019. Pertemuan
khusus Prabowo Subianto, Shohibul Iman, dan Zulkifli Hasan menjadi pretext
mundurnya PKS dalam barisan pendukung Deddy.
Jika faktor Pilpres 2019
dianggap penting dalam mendesain koalisi pilkada, apakah ada hubungan linear
antara sukses elektoral di pilkada dengan pilpres? Data menunjukkan sejak
rezim pilkada dimulai sejak 2005, tak ada korelasi antara hasil pilkada
dengan pilpres maupun pemilu legislatif. Kemenangan calon dalam pilkada tak
serta merta menjadi garansi sukses partai di pileg atau pilpres. Jawabannya
sederhana, pemilih makin bersifat otonom. Selain itu, calon kepala daerah
yang unggul umumnya juga diusung oleh banyak partai.
Meskipun tak ada hubungan
linear, karena momentum pilkada hanya beberapa bulan sebelum pemilu serentak
2019, secara psikologis hasil pilkada mempengaruhi kesiapan dan kepercayaan
diri partai-partai dan bakal capres yang akan berlaga nantinya. Hasil pilkada
2018 terutama di provinsi-provinsi dengan populasi gemuk seperti Jawa Barat,
Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatra Utara, dan Sulawesi Selatan akan dilihat
sebagai indikator sukses awal jelang hajatan 2019.
Tiga provinsi di Jawa yang
akan menggelar pilkada di 2018 misalnya, menyumbang 47% dari total populasi
pemilih di Indonesia. Lebih khusus lagi Jawa Barat yang selama ini menjadi
barometer pemilu legislatif dan Jawa Timur yang menjadi barometer pilpres,
tentu akan mendapat perhatian tersendiri dari kalangan elite dalam rangka
meraih sukses di pemilu serentak 2019. Inilah pilkada dengan rasa nasional,
dan partai-partai dan bakal capres akan memanaskan mesinnya dengan 'menunggangi'
pilkada serentak 2018 ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar