Pesan
Umar Ibnu Khattab di Kota Al-Quds
Imam Shamsi Ali ; Presiden Nusantara Foundation
|
KORAN
SINDO, 23 Desember 2017
Sungguh banyak cerita di
balik kota tua yang disucikan itu. Kota Jerusalem atau dalam bahasa Arabnya
"Al-Quds" memiliki seribu satu cerita dalam perjalanan sejarahnya.
Sejarah yang sangat dibanggakan oleh masing-masing pengikut tiga agama
Samawi; Yahudi, Kristen, dan Islam.
Kebesaran Jerusalem di
mata masyarakat Yahudi karena dianggap tanah leluhur mereka. Mereka merasa
bagian dari sejarah Jerusalem berdasarkan nenek moyang, khususnya kebesaran
dan kekuatan kerajaan Daud dan putranya Sulaiman (Alaihima solawatullah).
Keduanya adalah nabi Allah sekaligus.
Dengan kata lain
masyarakat Yahudi dengan Jerusalem terikat oleh ikatan kebesaran sejarah masa
lalu. Dalam Perjanjian Lama juga kita jumpai betapa Daud dan Sulaiman menjadi
figur yang sangat menonjol dan dimuliakan. Bahkan seolah melebihi nabi-nabi
lainnya seperti Ibrahim, Ishak, Ya’qub, dan lain-lain.
Bagi masyarakat Kristiani,
kebesaran dan kesucian Jerusalem sejatinya lebih mendasar dan penting.
Bagaimana tidak, jika sosok Jesus yang diyakini sebagai figur suci (Tuhan
atau anak Tuhan) itu terlahir dari daerah sekitar Jerusalem.
Artinya, bagi umat
Kristiani pusat keagamaan mereka sesungguhnya ada di Kota Jerusalem. Karena
tema utama agama adalah Tuhan. Dan, bagi mereka Jesus tidak dipisahkan dari
ketuhanan yang mereka yakini. Maka hubungan Jerusalem bagi warga Kristiani
adalah ikatan iman.
Bagi umat Islam Jerusalem
juga tidak akan bisa dilepaskan dari kedua hal itu. Ikatan sejarah sekaligus
ikatan iman. Artinya, Jerusalem bagi umat Islam menjadi kota yang mengikat
dalam perjalanan sejarah umat ini, sekaligus menjadi kota yang menghunjam ke
dalam sanubari jiwa mereka yang beriman.
Hubungan masyarakat Muslim
dengan Jerusalem itu dalam sejarah seiring dengan hijrahnya Nabi Ibrahim (AS)
bersama istrinya Sarah dan Hajar dari Babilonia ke kota itu. Sejak itu
sejarah mencatat hubungan masyarakat Muslim dengan kota ini. Sebab, dari
Ibrahim itulah ikatan sejarah berlanjut ke Ishak, Ya'qub, Yusuf, hingga ke
Daud, Sulaiman, Yahya, dan Isa (Alaihim sholawatullah). Ikatan sejarah ini
kemudian direkam secara jelas dan pasti dalam kitab suci orang beriman,
Alquran.
Tapi bagi masyarakat
Muslim, ikatan sejarah bukan segala-galanya. Hal ini kita sebutkan untuk
sekadar menyampaikan bahwa jika ada umat lain yang begitu gigih
mempertahankan Jerusalem karena ikatan sejarah itu maka orang-orang Islam
juga punya hal yang sama. Bahkan, lebih karena ikatan sejarah umat ini
menurun ke perjalanan sejarah yang dipegangi juga oleh warga Kristiani.
Orang-orang Islam meyakini Jesus sebagai sosok keagamaan yang agung (noble
religious figure), bahkan salah seorang rasul yang tinggi dari kalangan ulul
azm.
Artinya, secara sejarah
umat Islam menyatukan kebesaran dan kemuliaan Jerusalem yang ada pada umat
Yahudi dan umat Kristen sekaligus. Tapi di atas dari semua itu, bagi umat
Islam, hubungan itu tidak pada kebesaran sejarah semata. Juga bukan hubungan
geografis, etnis, kesukuan dan ras. Bukan pula hubungan kultur dan
kebangsaan. Tidak pula pada kepentingan politik dan ekonomi sempit. Tapi di
atas segala-galanya adalah karena hubungan iman.
Hubungan imani (alaaqah
imaniyah) ini tidak lepas pertama kali dengan nubuwah dan risalah para nabi
dan rasul. Kebanggaan dan pemuliaan para nabi bagi kita tidak pada hubungan
darah, ras, dan kebangsaan. Tapi pada ikatan jiwa yang di dalamnya bersemayam
keindahan iman.
Hubungan umat ini dengan
Ibrahim dan keturunanya dari sisi Ishak juga adalah hubungan iman. Keimanan
kepada Ibrahim, Ishak, Ya'qub, dan keturunan mereka itulah hubungan yang
mengikat umat ini.
Sehingga konsekuensinya
adalah siapa saja yang memilik iman sebagaimana iman Ibrahim, Ishak, Ismail,
Ya'qub, Musa, Daud, harus, Sulaiman, Yusuf, Yahya, maupun Isa dari kalangan
umat rasul dan nabi terakhir, Muhammad SAW, semuanya memiliki ikatan hati
dengan Jerusalem. Mengingkari kemuliaan Jerusalem bagi umat ini boleh jadi
pengingkaran terhadap kesucian iman kita.
Ikatan imani ini berlanjut
hingga hadirnya nabi dan rasul terakhir, baginda Rasulullah SAW. Perjalanan
Isra Mikraj adalah simbolisasi ikatan iman. Perjalanan yang secara akal
manusia akan lebih praktis secara teknis dari Mekkah langsung ke Al-Bait
al-Ma'mur (langit ketujuh) justru diputar ke Jerusalem lalu ke atas.
Itu berarti bahwa antara
Mekkah dan Jerusalem, dalam iman umat ini, tidak akan pernah terpisahkan. Di
sanalah Rasulullah SAW menemui semua para nabi dan rasul, bahkan menjadi imam
bagi semuanya.
Kenyataan ini di kemudian
hari dideklarasikan dalam sebuah hadits: "Tidak ada perjalanan yang
disengaja kecuali kepada tiga masjid: Al-masjidil Haram, masjidku ini
(Nabawi) dan Masjid Al-Aqsa".
Khalifah Umar dan
Jerusalem
Kota Jerusalem dalam
sejarahnya memang berkali-kali menjadi rebutan kekuasaan. Silih berganti
jatuh ke kekuasaan yang berbeda-beda.
Yang menarik untuk
dicermati adalah pihak mana yang tetap menjaga kemuliaan Jerusalem dan rumah
suci agama-agama di dalamnya? Atau pihak mana justru yang paling memiliki
perilaku destruktif di saat menguasai Jerusalem? Jawabannya bisa didapatkan
dalam catatan sejarah di mana-mana.
Yang ingin saya bahas
adalah ketika Jerusalem jatuh di tangan kekuasaan Islam di bawah kepemimpinan
Khalifah Umar bin Khattab (RA). Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 637 M.
Di bawan komando Abu
Ubaidah ibnu Jarrah mengalahkan tentara Roma di perang yang sengit dan
dikenal dalam sejarah dengan peperangan Yarmuk. Kekalahan Roma di Yarmuk ini
menjadikan Damascus juga diambil alih oleh tentara Islam.
Dari sana kemudian Abu
Ubaidah melakukan pengepungan ke Kota Jerusalem hingga menyerah. Tapi,
bertahan untuk tidak memberikan kunci kota itu kecuali kepada raja sang
pemenang. Tentu yang mereka maksud adalah Umar sebagai khalifah umat saat
itu.
Umar pun meminta pendapat
para sahabat senior dan semua menganjurkan agar Umar berangkat ke Jerusalem
untuk menerima kunci kota suci itu langsung. Beliau pun berangkat dengan
seorang pria pembantunya. Mereka sepakat untuk saling bergantian menaiki onta
yang membawanya ke Jerusalem dari Madinah.
Singkat cerita perjalanan
semakin mendekat ke Jerusalem, dan kini tiba giliran sang pembantu itu yang
naik onta. Sebenarnya sang pembantu itu ingin agar yang menaiki unta sambil
memasuki perbatasan kota adalah Umar. Tujuannya biar nampak karisma Umar
sebagai penguasa. Tapi serta merta Umar menolak karena memang giliran sang
pembantu (servant) itu menaiki untanya.
Tidak ketinggalan panglima
tentara Islam menjemput di perbatasan. Dan, dari perbatasan itu penguasa Roma
membentangkan karpet merah sepanjang dua kilometer. Melihat pakaian Umar yang
lusuh dan berdebu, sang panglima Abu Ubaidah menyarankan agar Umar mengganti
pakaian dengan pakaian kebesaran yang telah disiapkan oleh penguasa Roma.
Mendengar usulan itu, Umar
marah dan menepuk dada Abu Ubaidah sambil berkata:"Wahai saudaraku,
sungguh kita pernah terhinakan hingga Allah memuliakan kita dengan Islam.
Kalau kita mencari kemuliaan selain Islam maka Allah akan menghinakan kita
kembali".
Kata-kata Umar ini
didengar dan disaksikan oleh pemimpin Jerusalem Sophronius. Dia pun terkagum
dan tanpa kata-kata menyerahkan kunci kota suci itu ke pemimpin umat,
Khalifah Umar (RA).
Toleransi Umat
Yang menarik kemudian
adalah ketika mereka berada di dalam kota suci itu, Umar berjalan
mengelilingi kota suci. Didapatkan bahwa lokasi Masjid Al-Aqsa telah menjadi
tempat pembuangan sampah. Maka beliau langsung turun tangan dan
membersihkannya, diikuti oleh panglima dan tentara Muslim. Dalam sejarah
pembangunan besar Masjid Al-Aqsa memang dimulai oleh Umar.
Tapi yang terunik dari
semua itu adalah ketika beliau diajak oleh Patriach Sophronius memasuki
Gereja Spulchre atau dikenal dengan Gereja Hari Kiamat (Kanisah al-Qiyamah).
Di saat beliau berada di gereja itu, tiba-tiba waktu salat tiba. Oleh
Sophronius beliau diminta untuk salat dalam gereja itu. Tapi beliau menolak,
bukan karena alasan agama. Tapi lebih kepada kekhawatiran beliau kalau umat
Islam salah sangka dan mengakui gereja itu sebagai milik.
Beliau kemudian keluar dan
salat di salah satu sudut untuk salat. Di tempat itulah di kemudian hari
didirikan masjid yang disebut Masjid Umar.
Perjalanan berlanjut dan
beliau juga kemudian menemukan tempat di mana orang-orang Yahudi biasa
beribadah. Sebelum itu masyarakat Yahudi memang telah diusir oleh penguasa
Roma dari Jerusalem. Maka ketika Umar melihat rumah ibadah mereka telah penuh
dengan kotoran dan sampah, Umar meminta kepada Patriach Sophronius agar membersihkan
tempat itu, sekaligus Umar mendeklarasikan bahwa orang-orang Yahudi punya hak
untuk kembali dan beribadah di Jerusalem.
Kedua peristiwa di atas
memberikan pesan jelas dan tegas bahwa toleransi dalam Islam itu bukan isu
sosial, melainkan hal yang dijamin secara fundamental oleh agama. Inilah yang
dipraktikkan oleh Rasulullah dan para pemimpin Islam yang lurus. Saya katakan
lurus, karena setelah Khulafaur Rasyidin ada juga pemimpin Islam yang terbuai
oleh kekuasannya.
Maka, Jerusalem bagi umat
ini adalah kota yang suci secara imani dan juga disikapi secara iman. Dengan
iman itu pulalah masyarakat Kristiani dan Yahudi bisa menikmati hidup damai,
tenteram, dan terjamin dalam beragama.
Dengan keaadaan sekarang
ini, harapan kita semoga Jerusalem bisa kembai kepada sejarah keemasannya.
Sejarah di mana kekuasaan memberikan jaminan yang pasti kepada semua pihak
untuk melakukan hak-hak agamanya. Dan, Islam adalah agama yang memiliki
jaminan itu, baik dalam ajaran sebagai 'rahmatan lil-alamin' maupun dalam sejarah tinta emas kemanusiaan kita.
Tapi saya ingin menutup
catatan sederhana ini dengan peringatan penting oleh Umar tadi. "Kita
adalah umat yang pernah hina dan lemah, lalu Allah menguatkan dan memuliakan
kita dengan Islam. Kalau kita mencari kemuliaan selain dengan agama ini,
Allah akan menghinakan kita." (Umar bin Khattab).
Kekhawatiran saya adalah
jangan-jangan kehinaan-kehinaan kolektif yang dialami oleh umat saat ini
memang karena hal di atas. Bahwa umat ini mengalami berbagai hal yang
menyedihkan, bukan karena musuh yang kuat. Bukan orang lain yang punya itikad
jahat atau berbagai makar yang dilancarkan oleh orang lain. Tapi karena umat
ini sendiri yang telah mencari 'keselamatan' dan 'kemuliaan' jauh dari sumber kemuliaan yang
sesungguhnya.
Sumber kemuliaan sejati
itu adalah: "alaa innal izzata lillahi jami'a". Bahwa segala yang
dicari selain Allah, selain ridho-Nya, selain ketentuannya, apa pun bentuknya
mengantar kepada kehinaan.
Oleh karenanya, Palestina
dan Jerusalem, kediaman Masjid Al-Aqsa, hingga saat ini masih terjajah, bukan
pertama kali karena kehebatan dan kekuatan Israel, bukan pula karena dukungan
super power dunia terhadap Israel. Tapi, karena umat ini yang telah
kehilangan pijakan kakinya (Al-urwah
al-wutsqa) yang kuat. Allah a'lam!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar