Senin, 08 Januari 2018

Perebutan (R)uang di Tanah Abang

Perebutan (R)uang di Tanah Abang
Her Pramtama ;  Arsitek dan Perancang Kota
                                                      KOMPAS, 04 Januari 2018



                                                           
Sejarah mencatat kawasan Tanah Abang (kini masuk wilayah Jakarta Pusat) sudah berdiri sejak hampir tiga abad lalu dan terus masih eksis hingga hari ini. Fakta ini menunjukkan adanya perputaran uang yang seakan tidak ada habisnya di tempat tersebut. Sejatinya kawasan ini berhak menyandang status sebagai downtown-nya kota Jakarta. Letaknya strategis di tengah kota dan memiliki jaringan infrastruktur kereta api dari segala wilayah.

Aksesibilitas ini membuat siapa saja dapat menuju Tanah Abang, termasuk wisatawan dan para pedagang dari mancanegara. Indikasinya terlihat dari jumlah penumpang tertinggi keluar masuk Stasiun Tanah Abang telah mencapai 178.000 per hari di tahun 2017, dari sebelumnya hanya 105.000 per hari di tahun 2014.

Perebutan ruang

Kondisi ini yang menyebabkan kawasan Tanah Abang menjadi perebutan ruang, baik secara informal maupun formal. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa perebutan adalah proses, cara dan perbuatan merebut. Bagi pedagang kaki lima (PKL), trotoar dipandang sebagai ruang tanpa pemilik. Ketika banyak orang lalu lalang, perlahan-lahan ruang publik ini mulai direbut dan ketika dilakukan pembiaran oleh pemerintah, PKL lalu membangun tenda/bangunan semipermanen.

Melihat kondisi seperti itu, pemerintah sering menggunakan pendekatan penertiban untuk mengembalikan ruang publik yang diokupasi. Namun, ketika pemerintah mulai lengah, PKL akan datang kembali. Metode pendekatan ini sejatinya tak akan menyelesaikan akar masalahnya apabila mengabaikan fakta sejarah, aksesibilitas transportasi, dan karakteristik pelakunya.

Tahun 2013, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo melakukan keberanian dengan memaksa para PKL yang memenuhi Jalan Kebon Jati untuk pindah ke Pasar Blok G. Beberapa fasilitas baru diberikan, mulai dari akses tangga langsung ke bangunan, tangga eskalator, termasuk promosi iklan yang gencar. Ternyata solusi pasca-penertiban ini tidak mampu membuat para PKL untuk bertahan di sana.

International Council of Shopping Centers secara umum membagi tipologi arsitektur bangunan tempat perbelanjaan dan karakteristik pelaku kegiatan terkait lingkup jangkauan pelayanannya. Hal ini dijabarkan dengan membagi tipe bangunan tempat perbelanjaan yang tertutup dan terbuka. Pembagian ini juga menentukan segmentasi pengunjungnya.

Sebagai contoh, Pasar Blok A dan Blok B Tanah Abang memiliki karakteristik khusus, yaitu pusat grosir, sehingga segmen pembelinya pada umumnya para pedagang yang khusus datang dari domestik dan mancanegara.  Namun, di sisi lain, kawasan Tanah Abang ini juga merupakan pusat perpindahan antar-moda transportasi yang menghubungkan mobilitas warga dari tempat tinggal menuju tempat bekerja/kantor. Alhasil, dapat disimpulkan adanya segmentasi pelaku kegiatan yang berbeda di kawasan Tanah Abang.

Solusi memindahkan para PKL ke Blok G yang kemudian ditempatkan di lantai atas adalah kurang tepat karena karakteristik dan transaksi jual-belinya dikenal dengan istilah impulse buying. Oleh karena itu, teori pengaruh aksesibilitas terhadap bangkitan kegiatan perekonomian terlihat jelas di kawasan Tanah Abang ini. Tidak adanya sistem integrasi antar-moda transportasi yang terpadu telah menciptakan ruang transisi bagi para komuter di sekitar stasiun. Ketika ruang transisi ini tidak diakomodasi secara formal oleh pemangku kepentingan, celah ini  ditangkap bagi para PKL sebagai peluang usaha dengan cara merebut ruang publik.

Atas dasar itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melakukan pendekatan yang berbeda untuk mengakomodasi karakteristik dan segmentasi pelaku kegiatan di kawasan Tanah Abang sehingga pada akhirnya ruang publik dapat direbut secara bertahap tanpa harus berkonfrontasi dengan PKL.

Filosofi pembentukan desa- desa di Jawa pada masa lampau dikenal dengan istilah mancapat. Berasal dari bahasa Sansekerta dan Jawa, panca artinya lima dan mrapat artinya empat dan prapat. Pada tulisan ”Asal Usul Konsep Jawa tentang Mancapat dalam Hubungannya dengan Sistem- sistem Klasifikasi Primitif” (1917), Van Ossenbruggen menerangkan bahwa pembentukan empat desa dengan sebuah titik pusat adalah dimaksudkan untuk menjalin hubungan kerja sama perdagangan dan keamanan.

Pendekatan dengan filosofi mancapat ini masih relevan untuk digunakan dalam menata Tanah Abang. Fakta bahwa kepemilikan tanah di kawasan Tanah Abang yang dikuasai baik oleh pemerintah, pihak swasta, maupun warga menyebabkan kawasan ini memiliki banyak kepentingan. Pihak swasta dengan kepentingan bisnisnya berusaha mencari keuntungan, di sisi lain warga yang telah tinggal bertahun-tahun juga merasa berhak mendapatkan manfaat ekonomi yang berputar. Di sinilah pemerintah mengambil peran sentral untuk memegang kontrol menjadi penengah dan penyeimbang.

Strategi merebut ruang

Solusi menutup sebagian jalan Jati Baru Raya yang diberikan kepada PKL adalah untuk mengakomodasi pelaku (baca: komuter) dengan karakteristik impulse buyer. Kebijakan ini sangat dipengaruhi akibat meningkatnya mobilitas warga menggunakan transportasi publik. Dan, sebagian jalan digunakan untuk shuttle bus sebagai pelayanan memberikan kemudahan mobilitas menuju blok-blok pasar grosir serta menjadi bus pengumpan bagi moda transportasi lanjutan.

Prof Gunawan Tjahyono, Guru Besar Arsitektur UI, mengatakan, menata kota harus bertitik tolak pada manusianya. Indikator tingginya mobilitas manusia di kawasan Tanah Abang dari sektor kereta api telah hampir mencapai angka 39 juta orang per tahun pada 2017, naik pesat dari angka 30,9 juta orang pada 2015.

Fakta ini menunjukkan begitu banyak orang lalu lalang, yang berasal dari pengunjung domestik dan mancanegara, dengan latar belakang yang beragam dan perilaku kepentingannya masing-masing.

Tanah Abang ibarat tubuh yang sedang sakit, kebijakan penataan ini ibarat obat yang tidak dapat dirasakan sekejap. Sebab, mengubah perilaku manusia memerlukan waktu. Solusi memberikan ruang keberpihakan untuk sementara waktu kepada pihak yang lemah sembari menyusun rencana revitalisasi (baca: transit oriented development)yang dapat mengakomodasi semua pihak adalah bagian dari strategi perebutan ruang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar