Senin, 08 Januari 2018

Duet Maut Polri-KPK

Duet Maut Polri-KPK
M Subhan SD ;  Wartawan Senior Kompas
                                                      KOMPAS, 04 Januari 2018



                                                           
Polri dan KPK berduet maut. Badan Reserse Kriminal Polri membentuk Satuan Tugas Antipolitik Uang. Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian dan Ketua KPK Agus Rahardjo sudah setuju pada Desember lalu. Ini sinyal keras untuk para politikus yang masih bandel dan masih berpikir primitif untuk memenangi sebuah kontestasi dalam pemilihan kepala daerah dengan mengandalkan politik uang.

Politik uang, ini yang terpaksa harus dituliskan, sudah ”mentradisi” dalam politik di negeri ini. Barangkali tiada—tepatnya sedikit sekali—politikus yang percaya bahwa uang tidak berpengaruh dalam politik. Andai bertahan dengan pandangan seperti itu, mereka bisa goyah juga karena politikus lain akan memilih cara yang mereka tidak pilih. Jadi dilematis. Memilih jalan bersih di politik adalah dunia yang sepi. Tak heran, tidak sedikit politikus tergoda. Sebab, sering kali ada pembenaran bahwa demokrasi sekarang digambarkan sangat mahal.

Sebetulnya politikus yang masih mengandalkan politik uang tidak saja gagal menemukan cara-cara demokratis dalam setiap kontestasi, tetapi justru memperlihatkan nafsu kuasa yang sangat ambisius. Pendek kata, kekuasaan menjadi tujuan, bukan alat untuk mengabdi kepada rakyat. Kalau sudah begitu, kekuasaan harus direbut dengan cara apa pun. Tipikal politikus begini mengarah pada cara-cara Machivellis.

Politikus seperti itulah yang menyuburkan—meminjam guru besar ilmu politik Jeff Haynes—demokrasi permukaan, bukan demokrasi substantif. Menurut Tito Karnavian, politik uang itu berdampak negatif pada proses demokrasi. Hampir dua dekade pascareformasi, demokrasi masih rapuh. Semakin kampanye antipolitik uang digencarkan, justru praktik politik uang tetap saja terjadi. ”Dengan terus mencari uang untuk membiayai kampanye, sistem politik itu tidak dapat berfungsi,” kata filsuf politik John Rawls (1921-2002).

Contoh paling jelas adalah penangkapan sejumlah kepala daerah oleh KPK. Sepanjang tahun 2017, sejumlah kepala daerah dan politikus ditangkap karena terbelit kasus korupsi. Sebut saja, misalnya, Ridwan Mukti (Gubernur Bengkulu), Achmad Syafii (Bupati Pamekasan), Siti Mashita Soeparno (Wali Kota Tegal), OK Arya Zulkarnaen (Bupati Batu Bara), Eddy Rumpoko (Wali Kota Batu), Tubagus Iman Ariyadi (Wali Kota Cilegon ), serta Rita Widyasari (Bupati Kutai Kartanegara). Juga Iwan Rusmali (Ketua DPRD Kota Banjarmasin) bersama Andi Effendi (Wakil Ketua DPRD Banjarmasin ) dan paling menggemparkan Setya Novanto (Ketua DPR).

Tahun 2018 ini ada 171 pilkada yang akan digelar serentak di 39 kota, 115 kabupaten, dan 17 provinsi. Pesta demokrasi serentak itu digelar pada 27 Juni 2018. Hampir bisa dipastikan pesta demokrasi lokal itu akan ramai sehingga tak heran tahun 2018 disebut sebagai tahun politik. Koalisi, aksi, dan manuver politikus dan partai politik akan membuat warna politik tahun ini begitu semarak. Politik uang disinyalir akan masif.

Jika mencermati perhelatan demokrasi tersebut, duet Polri dan KPK diharapkan benar-benar duet maut. Kerja sama dua institusi yang dikenal sebagai penegak hukum dalam pemberantasan korupsi itu dibayangkan akan menyadarkan politikus untuk tidak lagi bermain-main dengan politik uang. Hal ini tentu harus didukung dengan soliditas Polri dan KPK yang kuat. Ingatan lama tentang relasi Polri dan KPK yang ”benci tapi rindu”, semisal kasus cicak versus buaya (2009), dampak pengusutan kasus korupsi SIM di Korlantas (2012), atau kriminalisasi pimpinan KPK (2015), tak menjadi riak-riak yang mengganggu kerja sama itu. Rasanya itu sudah selesai sehingga kali ini duet Polri dan KPK benar-benar maut. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar