Pekerja
Politik dan Politisi Berkarakter
Biyanto ; Dosen UIN Sunan Ampel; Wakil Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Timur
|
KORAN
SINDO, 02 Januari 2018
Panggung politik nasional
selalu diwarnai munculnya politisi yang selalu berganti-ganti partai.
Tengoklah figur-figur ternama yang mendaftarkan partai politik (parpol) ke
Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sebagian dari mereka
sejatinya merupakan pemain lama dengan baju parpol baru. Alasan mereka
berganti parpol pun sangat beragam. Disebabkan perbedaan idealisme, seorang
politikus keluar dari parpol yang telah membesarkan namanya. Di samping itu,
ada juga alasan yang bersifat pragmatis. Misalnya karena merasa tidak ada
kesempatan untuk tampil sebagai calon anggota legislatif (caleg) atau calon
dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Sebagai kader yang telah berpeluh
keringat membesarkan partai, tentu wajar jika dia ingin memperoleh pembagian
kue kekuasaan.
Sebagai pekerja politik,
dia tidak ingin menghabiskan waktu untuk terus berjuang. Dia juga ingin
menikmati kekuasaan. Tetapi kesempatan yang didambakan tidak pernah datang.
Partai selalu memberi kesempatan pada mereka yang lebih populer dan bergizi
alias beruang. Dampaknya, seorang aktivis partai tidak kerasan di parpol
lama. Dia pindah ke partai baru yang lebih menjanjikan kekuasaan. Begitu
mudahnya seseorang berganti partai menunjukkan bahwa idealisme dalam
berpartai telah tergerus tajam. Sebagian aktivis politik begitu mudah
mendirikan partai baru untuk kepentingan jangka pendek. Apalagi, psikologi
masyarakat selalu menempatkan partai baru sebagai simbol perubahan.
Fenomena pindah partai
menunjukkan kegagalan elit partai melakukan pendidikan politik. Padahal
anggaran pendidikan politik telah dijamin negara. Kegagalan partai melakukan
pendidikan politik disebabkan sistem pengaderan belum berjalan ideal. Proses
pencalonan caleg dalam pemilu sering kali juga tidak mempertimbangkan
kapasitas, rekam jejak, komitmen, dan loyalitas. Kondisi yang sama juga
terjadi saat rekrutmen pasangan calon (paslon) d a l am pilkada. Rekrutmen
caleg dan paslon dalam pilkada lebih sering mengandalkan popularitas.
Penentuan caleg dan paslon dalam pilkada juga didasarkan pada kepemilikan
modal finansialnya.
Calon-calon yang bergizi
lebih diutamakan daripada kader. Proses politik ini mengakibatkan banyak
kader partai terpental. Sistem rekrutmen caleg dan paslon dalam pilkada yang
mengandalkan popularitas dan uang pasti mengakibatkan ketidaknyamanan kader
partai yang tidak beruang. Realitas pindah partai juga menunjukkan kebenaran
doktrin yang menyatakan bahwa politik adalah who gets what, when, and how .
Pernyataan ini menjelaskan bahwa politik itu berkaitan dengan siapa
mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana caranya. Dalam politik juga dikenal
hukum bahwa tidak ada kawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi. Bahkan
di antara aktivis politik menyatakan bahwa perbedaan pendapat itu biasa. Yang
tidak boleh terjadi adalah perbedaan pendapatan.
Dampaknya, fenomena
perpecahan begitu lumrah terjadi dalam partai politik. Kultur “memecah” dan
“berpecah” dalam partai seakan menjadi pemandangan umum. Maka tidak
mengherankan jika banyak aktivis partai yang karena perbedaan pendapat dan
“pendapatan” dengan mudah menyatakan keluar dari partai lama dan mendirikan
partai baru. Dengan partai baru, mereka berharap eksistensinya sebagai
aktivis politik dihargai. Mereka pun bebas memberikan dukungan pada calon
dalam pilkada sepanjang menjanjikan pembagian (sharing ) kekuasaan.
Pada konteks itulah, lahir
budaya kontrak politik yang selalu diakhiri dengan pembayaran “mahar” pada
parpol pengusung dan parpol pendukung. Mahar politik menjadi persoalan serius
bagi calon potensial, namun tidak memiliki modal finansial. Fenomena mahar
politik menjadikan proses-proses politik di negeri tercinta semakin mahal.
Mereka yang tidak memiliki modal finansial besar harus menerima kenyataan
tersingkir dari persaingan. Para pekerja politik ini pun mencari cara agar tetap
eksis di dunia politik. Salah satu cara yang di-lakukan adalah mendirikan
atau bergabung dengan partai baru.
Kenyataan bahwa orang
begitu mudah pindah partai atau mendirikan partai baru mengindikasikan bahwa
mereka merupakan pekerja politik tulen, termasuk pekerja politik adalah
mereka yang terlibat dalam tim sukses calon legislatif atau eksekutif. Mereka
berpandangan bahwa politik merupakan sarana efektif mewujudkan segala sesuatu
dengan lebih mudah. Dampaknya, sebagian aktivis politik terpesona dengan godaan
kekuasaan, kehormatan, dan kekayaan. Mereka meraih semua itu secara instan
melalui jalur politik. Yang terjadi kemudian, kini sangat sulit menemukan
aktivis partai politik yang berkarakter. Politisi berkarakter adalah mereka
yang konsisten berjuang dengan idealisme jelas. Politisi berkarakter juga
senantiasa merawat kata dan perbuatan.
Mereka selalu bekerja
dengan penuh kesungguhan untuk memperjuangkan nilai-nilai yang dianggap
fundamental. Aktivis partai yang berkarakter juga selalu menjaga moralitas
dalam berpolitik. Mereka tidak mudah tergoda bujuk rayu kekuasaan dan
kepentingan politik pragmatis-jangka pendek. Sayangnya masih banyak aktivis
partai yang mampu berpidato lantang saat kampanye dengan mengumbar
janji-janji politik. Tetapi tatkala kursi legislatif dan eksekutif sukses
diraih, janji-janji politik tidak pernah diperjuangkansecara sungguh-sungguh.
Mereka kemudian larut dalam tawarmenawar kekuasaan dan kepentingan politik.
Sementara itu, perbaikan
nasib rakyat sebagaimana yang dijanjikan saat kampanye
seakanmenguapbegitusaja. Berbagai kasus korupsi, suap-menyuap, asusila, dan tindak
pidana lain yang melibatkan oknum politisi menunjukkan bahwa idealisme
berpolitik terus tergerus. Panggung politik nasional pun lebih banyak dihiasi
pekerja politik daripada politisi berkarakter. Semoga di tengah budaya
politik transaksional, koruptif, dan kolutif masih ada politisipolitisi
berkarakter! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar