Kurangnya
Etika Politik Berbangsa dan Bernegara
Frans H Winarta ; Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia
(Peradin);
Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Pelita Harapan;
Mantan Anggota Governing
Board, Komisi Hukum Nasional Indonesia
|
KORAN
SINDO, 02 Januari 2018
Sering kali kita
bertanya-tanya jika membaca berita mengenai mundurnya seorang politikus
ataupun pejabat negara di Jepang dari jabatannya setelah serangkaian skandal
atau berita mengenai suatu kegagalan yang bersangkutan dalam melaksanakan
tugasnya, antara lain: mengapa “pengunduran diri” merupakan metode yang
banyak ditempuh oleh politisi ataupun pejabat negara di Jepang yang terlibat
skandal, serta apa alasan orang Jepang menempuh metode tersebut. Di dalam
bukunya yang berjudul “Comparing Asian Politics: India, China, and Japan”
(2015), Sue Ellen M Charlton menyebutkan bahwa di era pemerintahan Tokugawa
(zaman Edo) dahulu, orang Jepang terkenal memiliki nilai-nilai pengorbanan
diri dan dedikasi yang tinggi terhadap komunitasnya.
Nilai lain yang dimiliki oleh
mereka adalah loyalitas, di mana seseorang memberikan loyalitasnya kepada
keluarga, kampung halaman, komunitas, serta kepada negara. Di masa tersebut,
loyalitas juga dapat berbentuk tindakan seppuku (harakiri) yang dilakukan
oleh seorang samurai (prajurit) dengan menusuk perutnya menggunakan pedang.
Di era modern Jepang saat ini, nilai-nilai tradisional tersebut diwariskan
dan diwujudkan dalam bentuk lain seperti: kerja keras, rasa hormat,
pelayanan, kinerja nyata, serta moral yang tinggi kepada komunitas dan
negaranya. Nilai-nilai tersebut masih mendarah daging dan sudah menjadi
bagian dari keseharian masyarakat Jepang pada umumnya.
Oleh karena itu, di dalam
etika politik dan pemerintahan dapat dikatakan bahwa metode pengunduran diri
seorang politisi ataupun pejabat negara di Jepang dianggap sebagai bentuk
rasa tanggung jawab yang bersangkutan karena telah merugikan kepentingan
bersama dan malah mengutamakan kepentingan pribadi.
Indonesia
Saat Ini
Indonesia sebenarnya
memiliki nilai-nilai tradisional yang juga ditanamkan sejak dahulu, seperti:
nilai-nilai budaya, agama, dan adat istiadat yang bermacam-macam bentuknya
dari Sabang hingga Merauke. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya antara
lain seperti: kejujuran, keteladanan, sportivitas, toleransi, tanggung jawab,
reputasi, disiplin, etos kerja, gotong royong. Nilai-nilai tersebut sangat
dihormati dan dipatuhi oleh segenap elemen masyarakat hingga saat ini dan
juga diimplementasikan di dalam pemerintahan.
Bahkan mengenai etika
politik dan pemerintahan yang diatur di dalam perundangan, secara khusus ada
juga aturan yang menegaskan bahwa dalam memberikan pelayanan kepada publik,
seorang pejabat negara harus siap mundur dari jabatannya apabila merasa
dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai, ataupun dianggap tidak mampu
memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara. Apa yang terjadi di Indonesia
saat ini masih jauh jika dibandingkan dengan keadaan di negara Jepang.
Meskipun tidak dapat
dibandingkan secara fair (apple to apple ) karena kedua negara memiliki
kondisi ekonomi, sosial, politik, budaya, dan hukum (ekosospolbudhuk) yang
sangat berbeda, namun jika menyoroti secara khusus terkait etika politik dan
pemerintahan di kalangan elite politisi dan pejabat negara di Indonesia,
nilai-nilai tradisional Indonesia yang tertanam yang telah disebutkan tadi
tidak nampak terlihat pada diri mereka seperti apa yang nampak terlihat pada
kalangan politisi dan pejabat negara di Jepang.
Seorang politisi maupun
pejabat negara yang terlibat dalam kasus hukum, hendaknya dengan berjiwa
ksatria dapat menghadapinya sesuai dengan nilai-nilai etika dan budaya yang
tertanam di bangsa ini. Apalagi melihat cita-cita bangsa Indonesia adalah menuju
kepada negara hukum (rechtsstaat ) di mana dalam prosesnya penegakan hukum
harus dilaksanakan secara tegas dan tidak tebang pilih demi mencapai
kepastian hukum. Setiap orang pada dasarnya memiliki hak yang sama di hadapan
hukum (equality before the law ) untuk mendapatkan proses peradilan yang
jujur dan terbuka (fair trial ) serta imparsial, sehingga pada akhirnya tidak
berpotensi melakukan tindakan menghalangi proses hukum (obstruction of
justice ).
Jika kita menyalakan
televisi, ada sebuah kasus hukum yang terjadi akhir-akhir ini yang menjerat
seorang pejabat negara. Yang bersangkutan seharusnya mengikuti proses hukum
yang berlaku, namun pada faktanya dirinya tidak menunjukkan sikap kepatuhan
tersebut. Bahkan atas kasus hukum yang menimpa dirinya, banyak kejadian unik
yang akhirnya menggagalkan proses hukum yang seharusnya bisa dilaksanakan
lebih cepat. Terdengar kabar di media massa bahwa kasus tersebut akan dibawa
penasihat hukumnya kepada Pengadilan HAM Internasional. Pernyataan tersebut
membuat para ahli hukum bertanya-tanya, apalagi melihat bahwa kasus hukum
yang menimpa pejabat negara tersebut bukan merupakan kasus pelanggaran HAM
(seperti kejahatan atas kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, dan agresi
menurut Statuta Roma), melainkan merupakan tuduhan atas tindak pidana korupsi
yang sedang diproses oleh KPK.
Tidak ada pengabaian atas
due process of law antara lain: yang ber-sangkutan dibela oleh penasihat
hukum, diberi kesempatan mengajukan praperadilan, mengajukan saksi fakta dan
ahli dan hak untuk membela diri. Jika yang dipersoalkan adalah hak asasi
manusia, proses praperadilan sendiri pada dasarnya dilaksanakan dengan ruh
penghormatan atas hak asasi manusia terhadap tersangka/terdakwa, dengan lebih
mempersoalkan proses penangkapan, penyidikan, dan penyelidikan dan bukan
buktibukti material perkara.
Secara umum, tuduhan atas
kasus hukum ini tidak berdampak signifikan secara internasional melainkan
merupakan kasus dugaan tindak pidana korupsi yang bisa diselesaikan melalui
pengadilan tipikor di dalam negeri. Masyarakat Indonesia tentunya dapat
menilai melalui apa yang terpapar di media massa, apakah hukum berjalan
dengan sepatutnya ataukah masih berada di titik nadirnya. Hingga kini belum
terdengar berita apakah pejabat negara yang terlibat kasus hukum tersebut
akan mengundurkan diri dari jabatannya sesuai dengan etika politik dan
pemerintahan sebagaimana mestinya.
Melalui banyaknya tayangan
yang menampilkan tingkah akrobatik kalangan elite politisi dan pejabat negara
Indonesia, masyarakat Indonesia dapat segera menyimpulkan bahwa meskipun
nilai-nilai tradisional Indonesia telah tertanam sejak dahulu namun budaya
kepatuhan serta jiwa sportivitas rupanya belum mendarah daging dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika kita melihat kepada apa yang terjadi
pada negara Jepang, memang sepertinya masih terasa jauh bagi politisi serta
pejabat negara ini untuk menuju ke arah sana.
Namun, selalu ada
kesempatan bagi siapa pun yang memiliki keinginan untuk maju demi kepentingan
bangsa dan negara. Atas dasar ketertinggalan dengan bangsa lain, In-donesia
harus bisa mengejar untuk menjadi negara modern yang dapat berpolitik dengan
nilainilai tradisional yang dibanggakan. Tentunya, semua berawal dari niat
yang mulia dari para politisi dan pejabat negara Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar