Para
Profesor dalam Kasus Korupsi
Endang Suryadinata ; Lulusan Erasmus
Universiteit Rotterdam
|
KORAN
JAKARTA, 15 Desember 2017
Kasus korupsi e-KTP diduga
merugikan negara 2,3 triliun rupiah. Kasus ini melibatkan banyak pihak,
termasuk mantan Ketua DPR, Novanto. Menunggu sidang perdana perkara korupsi
proyek e-KTP dengan terdakwa ini, Rabu (13/11), ibarat “menunggu Godot”. Ini
judul naskah drama karangan Samuel Beckett yang meraih Nobel pada 1969.
Publik menunggu sambil berharap-harap cemas. Akhirnya setelah drama tujuh
jam, pada pukul 17.13, Hakim Yanto membacakan dakwaan.
Dakwaannya memperkaya diri
sebanyak 7,3 juta dollar AS dari proyek e-KTP. Dengan dibacakan dakwaan,
otomatis praperadilan yang diajukan gugur. Lagi-lagi, ke depan, masyarakat
masih akan “menunggu Godot” terkait proses persidangan selanjutnya. Jika
drama karya Beckett merupakan refleksi pertanyaan akhir persidangan, rakyat
juga bertanya akhir persidangan ini. Akankah terdakwa dinyatakan bersalah
atau bebas.
Persidangan memang sangat
krusial bagi perjalanan bangsa ini ke depan baik dari sisi politik, moral,
maupun hukum. Kemudian secara lebih spesifik terkait masa depan pemberantasan
korupsi Tanah Air.
Dalam hitungan KPK, kasus
e-KTP diperkirakan merugikan negara 2,3 triliun rupiah. Ini jelas merupakan
bukti nyata kejahatan penyelenggara negara yang sangat serius. Telah terjadi
perampokan uang negara yang dilakukan secara terencana dan sistematis. Selain
itu, ada kolaborasi eksekutif dan legislatif yang ditopang jaringan pebisnis
sebagai klien para oknum politisi dan pejabat.
Dari para terdakwa kasus
e-KTP lain yang sudah diadili, terlihat jelas bahwa kejahatan korupsi luar
biasa ini dimulai dari kesepakatan elite yang hanya melibatkan segelintir
pejabat parpol, boleh disebut sebagai mastermind kejahatan. Ini kemudian
didiktekan atau dikoordinasikan dengan pengambil kebijakan terkait di
Kemendagri. Selanjutnya dijadikan agenda bersama antara pemerintah dan DPR (Korupsi
Politik dalam Kasus e-KTP, Laode Ida, 2017:18-3).
Tentu sangatlah jahat
segelintir elite politik bisa merampok uang negara dengan cara-cara yang
dibuat seakan konstitusional dan tanpa cacat hukum. KPK tidak mudah membawa
terdakwa ini ke persidangan. Kita menyaksikan hukum seperti menjadi “kuda
tunggangan” dalam drama memuakkan bagi orang yang masih punya nurani dan akal
sehat.
Kita ingat, hakim sidang
praperadilan Cepi Iskandar pernah memutuskan status tersangka tidak sah dalam
sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (30/9/2017). Selain itu,
hakim Cepi juga memutuskan, KPK menghentikan penyidikannya.
Rakyat
Terlukai
Anehnya, ketika status
tersangka Setnov dinyakan tidak sah oleh hakim Cepi, tampak orang-orang besar
pendukungnya mulai dari politisi hingga guru besar bergembira-ria. Sementara
itu, rakyat yang hanya wong cilik, namun perhatian pada kasus korupsi di
Tanah Air sungguh merasa terlukai. Sebab kebenaran yang sejati dikalahkan
formalisme hukum yang sebenarnya juga sudah dikorupsi.
Korupsi berasal dari kata
kerja corrumpere (Bahasa Latin) yang berarti membusukkan. Demikian pula telah
terjadi pembusukan di segenap lini kehidupan. Nilai-nilai moral jungkir
balik. Jadinya, para penjahat dipuja. Yang benar malah dimasukkan penjara sebagaimana
menimpa Ahok. Namun kita tidak habis pikir, beberapa guru besar (profesor)
mati-matian mendukung terdakwa atau para penguasa dan pengusaha yang korup.
Boleh jadi para guru besar
melihat ada “sisi baik” atau manfaat dari korupsi. Memang ada pemikir
sekaligus peneliti yang melihat korupsi dari sisi berbeda. Singkatnya, ada
yang menemukan ”sisi baik” dari praktik korupsi. Menurut Sun Yan, ahli
politik Asia di City University of New York, di banyak negara Asia, korupsi
ternyata membuka jalan bagi kelompok-kelompok masyarakat marjinal untuk
mengakses dan memperoleh bagian dari sumber-sumber daya negara.
Britta Hilstrom dalam
Effects of Corruption on Democracies in Asia, Latin America, and Russia (Sept
1997) menulis, ”Korupsi menyajikan ruang gerak dengan menawarkan perangkat
bagi orang-orang yang berada di luar sistem, baik untuk menghindari kontrol
pemerintah maupun mencari keuntungan dari kontrol pemerintah ini.”
Karena dirasa ada
manfaatnya itulah, pendapat Sun Yan lalu dijadikan pembenar, termasuk mungkin
oleh para profesor yang mendukung Setnov. Bahkan boleh jadi gara-gara
pemikiran Sun Yan, hingga 2014 saja, sekitar 10 guru besar dan 200 doktor
terjerat korupsi.
Memikirkan guru besar yang
mendukung koruptor atau bahkan terjerat korupsi tersebut, perlu diketengahkan
kisah Doktor Faust, karya Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832), yang
menjual jiwanya ke setan demi kejayaan dan ilmu pengetahuan. Guru besar
seharusnya punya integritas (satunya kata dengan perbuatan). Namun, jika
setan atau uang sudah menggoda, karakter, integritas, intelektualitas atau
akal sehat bisa dibuang ke tong sampah.
Meski demikian, kita
bersyukur masih banyak guru besar yang antikorupsi. Sebanyak 153 profesor dan
guru besar menyatakan dukungan kepada KPK untuk menghadapi hak angket. Mereka
menggulirkan dukungan tersebut di Universitas Gadjah Mada (UGM), Senin
petang, 19 Juni 2017.
Mereka juga menyatakan
penolakan terhadap usulan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
KPK. Lewat revisi ini, KPK hendak dilemahkan, kalau perlu dibubarkan. Padahal
KPK adalah tulang punggung pemberantasan korupsi.
Maka, KPK justru perlu
diberi wewenang untuk melakukan Operasi Tangan Besi seperti di Italia, bukan
hanya OTT (Operasai Tangkap Tangan) seperti sekarang. Operasi yang dikomandani
hakim Antonio Di Pietro dan mulai dilakukan sejak 1992, hingga kini
disebut-sebut sebagai pemberantas korupsi terbesar di Eropa.
Operasi itu tidak mengenal
istilah tebang pilih. Banyak pejabat tinggi diseret ke pengadilan Mantan
Perdana Menteri Giulio Andreotti yang sudah tujuh kali berkuasa pun diadili.
Perdana Menteri Guiliano Amato pun mengundurkan diri pada Maret 1993.
Banyak sosok yang dianggap
sebagai tokoh kunci korupsi lalu bunuh diri. Raul Gardini, pengusaha
terkemuka Italia pada dekade 1980, bunuh diri karena malu. Ini kasus bunuh
diri ke-12 sejak Operasi Tangan Besi dilancarkan. Para politisi busuk Italia
yang dijuluki maling juga banyak dipenjarakan (The Sunday Times, July, 1993).
Dengan kata lain, sekarang
justru harus ada penguatan terhadap KPK, kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan lewat operasi pencegahan atau pemberantasan korupsi yang lebih
dahsyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar